Snouck Hurgronje: Mengenal Lembaga Think-Tank Di Era Kolonial
Penulis: Ibnu Aghniya
Salah satu alasan yang membuat kekuasaan Belanda awet di Hindia-Belanda adalah karena mereka menggunakan anasir-anasir tertentu di dalam masyarakat pribumi untuk turut serta di dalam roda pemerintahan.
Anasir tersebut umumnya ialah kelompok bangsawan pribumi yang berperanan sebagai “kepanjangan tangan” Pemerintah Kolonial Belanda dalam menjalankan kekuasaannya di Hindia-Belanda. Kelak, setelah Indonesia merdeka, kelompok kecil pribumi ini dicap sebagai “antek Belanda”, “londo ireng” (Belanda Hitam), dan pelabelan peyoratif lainnya.
Namun, selain menggunakan “antek lokal”, faktor lain yang membuat kekuasaan kolonial mampu bertahan lama adalah perhatian yang besar terhadap masalah-masalah pribumi. Dengan memahami seluk-beluk adat-istiadat, agama, kepercayaan, pandangan hidup, dan bahasa, Belanda selalu mampu menjinakkan setiap usaha melepaskan diri dari penjajahan.
Dengan pemahaman yang mumpuni mengenai persoalan pribumi, Belanda selalu mampu menetralisir setiap potensi bahaya yang muncul. Hal itu terbukti dalam beberapa peristiwa seperti takluknya Aceh pada awal 1900-an, meredupnya popularitas Sarekat Islam di awal 1920-an, hingga tercerai-berainya kaum pergerakan nasional yang berujung penangkapan tokoh-tokoh utamanya pada 1930-an. Bahkan, runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Hindia-Belanda pun bukan karena tidak mampu menahan tekanan kuat dari pergerakan rakyat pribumi, melainkan karena datangnya serangan dari luar, yakni serbuan Jepang pada tahun 1942.
Perhatian Belanda untuk mempelajari seluk-beluk urusan pribumi setidaknya tercermin dari dibentuknya dua lembaga, yakni jurusan Indologie Universitas Leiden dan Kantoor voor Inlandsche Zaken. Pada artikel kali ini, pembahasan hanya akan difokuskan pada lembaga Kantoor voor Inlandsche Zaken, sebuah lembaga yang disebut-sebut sebagai “think thank”-nya pemerintah kolonial Belanda.
Secara resmi, Kantoor voor Inlandsche Zaken didirikan pada 1922. Namun demikian, pada dasarnya tugas dan wewenang kantor ini sudah ada sejak tahun 1899, yang ditandai dengan diangkatnya Snouck Hurgronje sebagai Adviseur Kantoor voor Inlandsche Zaken oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Secara umum kantor ini bertugas untuk meneliti lembaga-lembaga pribumi (khususnya Islam) dan memberikan nasihat serta masukan kepada pemerintah kolonial dalam urusan pribumi. Selama perkembangannya, tugas kantor ini bertambah luas dengan pekerjaannya untuk meneliti bahasa pribumi dan etnografinya.
Namun, pada dasarnya kantor ini didirikan untuk mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keislaman yang ada di Hindia-Belanda.
Karena sebagian besar rakyat pribumi di Hindia-Belanda beragama Islam, menjadi logis jika kantor ini bertugas untuk terus memantau segala sesuatu yang berkaitan dengan soal-soal keislaman. Alasan lain yang menjadikan Islam seakan menjadi “target” operasi dari kantor ini adalah karena sejak lama Islam di Hindia-Belanda sangat sering menjadi bahan bakar bagi setiap usaha pemberontakan dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
Sebelum kantor ini muncul dan beroperasi di lingkungan pemerintahan, pihak kolonial Belanda selalu over-thinking, curiga, ketakutan, dan paranoid, yang berakhir dengan tidak mau campur-tangan sama sekali terhadap urusan Islam di Hindia-Belanda. Dalam urusan haji misalnya, dahulu pemerintah kolonial senantiasa berupaya keras untuk menghambat keberangkatan jamaah haji ke Mekkah. Alasannya, karena ibadah haji adalah momen bertemunya berbagai komunitas muslim dunia, pusat ilmu dan pertukaran berbagai pemikiran. Efek langsungnya, semakin keraslah perlawanan kaum muslimin hingga dianggap menjadi fanatik agama dan ekstrim.
Namun, semua berubah ketika Snouck Hurgronje hadir dan mengubah pandangan tersebut dengan nasihat-nasihatnya mengenai Islam.
Salah satu saran paling masyhur adalah Politiek Islam ala Snouck yang membagi Islam menjadi 3 bagian; pertama, Islam sebagai agama ritual, kedua, Islam sebagai sistem sosial-kemasyarakatan, dan ketiga Islam sebagai ideologi politik. Menurut Snouck, terhadap Islam nomor satu hendaknya pemerintah kolonial memberikan kebebasan seluas-luasnya dan jika mungkin didorong agar lebih semarak. Terhadap Islam nomor dua, Snouck memberi masukan agar pemerintah bersikap mengawasi dan mengarahkan. Sedangkan terhadap Islam nomor tiga, Snouck merekomendasikan kepada pemerintah untuk tidak memberikan ruang sedikitpun, alias dihancurkan.
Kantoor voor Inlandsche Zaken menikmati status sebagai lembaga independen yang bebas bergerak bagaimanapun dan di manapun. Kantor ini rutin menjalin komunikasi dengan konsulat-konsulat Hindia-Belanda di berbagai negara, seperti Jeddah, Istanbul, Kairo, Singapura, dan Kalkutta. Komunikasi itu dijalankan semata-mata untuk senantiasa memonitor pergerakan warga negara Hindia-Belanda yang ada di luar negeri, dengan siapa mereka berkomunikasi, ideologi apa yang mereka anut, dan bagaimana hubungan mereka dengan tanah air.
Tidak berhenti sampai di situ, lembaga think-thank ini juga mengemban misi “menggembosi” setiap pergerakan rakyat pribumi secara tidak langsung. Berbeda dengan pendekatan pemerintah kolonial sebelumnya yang menggunakan kekerasan dan hukum, dengan cerdik kantor ini menggunakan pendekatan humanis yang pada dasarnya bertujuan sama: melanggengkan kekuasaan Belanda.
Contoh dari misi ini tercermin dari upaya beberapa Adviseur Kantoor voor Inlandsche Zaken dalam membendung kalangan pergerakan, misalnya usul Charles Olke van der Plas untuk memberi beasiswa belajar di perguruan tinggi kepada para pemuda pribumi. Menurutnya, kalangan pemuda harus ditarik ke ranah sosial-budaya dan mengeluarkan mereka dari kesibukan politik, sehingga lambat-laun pergerakan rakyat akan meredup. Strategi ini dikenal sebagai strategi canalizing dan netralisasi.
Contoh lainnya adalah pendekatan personal yang dilakukan oleh G.F. Pijper kepada Abikusno Tjokrosujoso, pimpinan PSII yang menggulirkan ide Indonesia Berparlemen. Dengan pendekatan personal tersebut, Pijper berhasil melemahkan gagasan Indonesia Berparlemen sehingga mampu memperpanjang “napas” kekuasaan kolonial Belanda.
Uniknya, operasional Kantoor voor Inlandsche Zaken ini tidak semata-mata dijalankan oleh orang Belanda, tetapi juga dibantu oleh orang-orang pribumi dan Arab yang memiliki reputasi tinggi di hadapan rakyat pribumi. Salah satu tokoh yang ditarik oleh Kantoor voor Inlandsche Zaken untuk bekerja sama adalah Sayyid Oethman bin Abdallah bin Akiel bin Yahya Al-Alawi (1822-1914), ulama besar Batavia yang memiliki reputasi sebagai keturunan alawiyyin dan keilmuannya yang dalam.
Tercatat Sayyid Oethman pernah “berjasa” bagi pemerintah kolonial lewat beragam nasihatnya kepada Kantoor voor Inlandsche Zaken. Ia pernah membuat do’a khusus bagi Ratu Wilhelmina dan membacakannya di masjid-masjid pada tahun 1897. Bahkan ia juga pernah mencetuskan ide “brilian” agar pemerintah kolonial membuka sekolah khusus bagi anak-anak Arab di Batavia. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang Arab yang ada di Batavia tidak lagi mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di pusat kekhilafahan di Istanbul.
Sayyid Oethman juga pernah dianugerahi Salib Singa Belanda oleh Residen Batavia pada 5 Desember 1899 sebagai wujud apresiasi pemerintah kolonial Belanda terhadap pengabdiannya.
Selama kiprahnya yang relatif panjang sejak tahun 1899 hingga 1942, Kantoor voor Inlandsche Zaken dipimpin oleh kalangan intelektual jebolan Universitas Leiden yang pemikiran-pemikirannya masih bisa dirasakan hingga kini. Mereka antara lain Snouck Hurgronje, G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, E. Gobee, dan G.F. Pijper. Kantoor voor Inlandsche Zaken resmi bubar pada tahun 1942 menyusul runtuhnya kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda di tangan Jepang pada 8 Maret 1942.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan:
Bruinessen, Martin van, “Muslims of the Dutch East Indies and the Caliphate Question”, Studia Islamika, Vol. 3, No. 2, 1995.
Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Terj:
Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: UGM Press).
Suminto, H. Aqib. 1985. Politik Islam Hindia-Belanda (Jakarta: LP3ES).