Sultan Aceh: Akar Masalah Pengungsian Umat Islam Adalah Penjajahan!!
Sejatinya, pengalaman Aceh menerima pengungsi tak hanya terjadi pada orang-orang Rohingya beberapa tahun belakangan. Ratusan tahun yang lalu, Aceh juga pernah menjadi negara tujuan para pencari suaka yang berasal dari banyak wilayah konflik. Ini terjadi di masa Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah di pertengahan abad ke-19. Kesultanan Aceh menjadi satu-satunya harapan bagi banyak orang di Asia Tenggara yang negerinya sudah dirampas para kolonialis.
Di paruh pertama abad ke-19 (1800-1850an), kita menyaksikan peperangan melawan penjajah Belanda berkobar di mana-mana. Mulai dari Perang Paderi (1803-1837) di Minangkabau, Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Perang Menteng (1819) di Palembang, Perang Banjar (1859-1906) pimpinan Pangeran Antasari, Perang Bone (1859-1860) di Sulawesi Selatan, hingga Perang Bali I (1846-1850) yang menyerang kerajaan Buleleng dan Karangasem.
Nyatanya, rentetan perang-perang tersebut mengeluarkan Belanda sebagai pemenang. Mereka berhasil menjajah separuh wilayah negeri-negeri Jawi.
Sementara itu, Sultan Manshur Syah yang memimpin Kesultanan Aceh di masa tersebut masih kuat dan berdaulat. Walhasil, Aceh dipandang sebagai tempat mencari suaka bagi negeri-negeri yang sudah dikalahkan Belanda. Hal ini disebutkan sendiri oleh Sultan Manshur Syah pada 1849 dalam suratnya kepada sang Khalifah ‘Utsmaniyyah:
“Dan sampailah surat kepada Patik ke negeri Aceh daripada segala ulama dan orang besar2 Minangkabau, dia minta tolong bantu kepada Patik.”
Bukan hanya veteran Perang Paderi yang mencari suaka ke Aceh, tapi juga dari negeri Jawa, Bugis, Bali, Borneo, dan Palembang.
“Dikirimlah surat daripada tiap2 orang yang besar2 dalam negeri semuhanya itu kepada Patik ke negeri Aceh.”
Gelombang pengungsi dan pencari suaka yang memenuhi Aceh itu tentu membuat gundah Sultan Manshur Syah. Namun sang Sultan berpandangan, akar masalah dari kedatangan mereka ke Aceh adalah karena penjajahan Belanda. Bukan yang lain.
Oleh sebab itulah, fokus pikiran Sultan Manshur Syah dan pejabat-pejabat kepercayaannya seperti Muhammad Ghauts adalah memfutuhat Batavia, ibukota Pemerintah Kolonial Belanda yang menjadi kepala ular dari setiap penjajahan di negeri Jawi.
Tekad ini didokumentasikan George Kepper dalam De Oorlog Tusschen Nederland en Atchin, yang menyebut bahwa cita-cita Sultan Manshur Syah dan Muhammad Ghauts ialah “de vlag van Atchin te Batavia zou waaien,” yakni “bendera Aceh akan berkibar di Batavia.”
Bagi Sultan, solusi tuntas untuk masalah para pencari suaka di Aceh adalah mengusir penjajah yang telah merebut kampung halaman para pengungsi. Karena itulah, Sultan Manshur Syah menulis surat kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah dalam rangka meminta izin Khalifah untuk berjihad:
“Maka yang diharapkan dari sumber kasih sayang Tuan yang berbahagia, adalah menanugrahi kami sebuah Titah Kesultanan, yang dapat menyatukan seluruh pembesar rakyat kami dari kaum Muslimin, supaya suara mereka bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad fi sabilillah, dan mengusir kaum kafir Nasrani dari negeri-negeri kaum Muslimin.”
Inilah solusi tuntas masalah pencari suaka atau pengungsi yang diteladankan Sultan Aceh yang mulia, Sultan Manshur Syah. Solusi yang fokus di sebab masalah, bukan sekadar berkutat di akibat masalah!!