Tujuh Kata yang Dikhianati
“Bukan semata-mata lantaran Umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar negara kita. Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin hidup keagamaan atas saling harga-menghargai antar pelbagai golongan didalam negara : kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupun tinggi malah melindungi.”
Moh. Natsir dalam pidato pertama dari Partai Masyumi di Sidang Konstituante. Dikutip dari buku Debat Dasar Negara : Islam dan Pancasila Konstituante 1957. Pustaka Panjimas. Jakarta.
Desember 1957. Di dalam Gedung Merdeka, Dewan Konstituante pilihan rakyat Indonesia hasil Pemilu 1955 sedang berdebat seru membahas rancangan Undang-Undang Negara Indonesia. Di hadapan ratusan peserta sidang konstituante, dengan dada yang meledak-ledak seorang Kasman Singodimedjo menyampaikan, “Saudara Ketua, saya masih ingat bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan Agama Islam dimasukkan ke dalam Mukaddimah dan Undang-Undang Dasar 1945,”
“Begitu ngotot Saudara Ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta pun tak dapat mengatasinya, sampai-sampai Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr.T.M Hasan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus itu untuk menanti,”
“Saudara Ketua, kini juru bicara Islam, Ki Bagus Hadikusumo, itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya!”
“Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta di dalam Dewan Konstituante yang sedang kita hadapi sekarang…. Saudara Ketua, saya sebagai anggota dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut, di dalam Dewan Konsitutante yang terhormat ini, ingin memperingatkan dengan khidmat kompromi atau gentlemen agreement (Mukaddimah dan UUD 1945) itu sama sekali tidak dapat dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan Panitia Kemerdekaan Indonesia itu kepada kami golongan Islam yang berada dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut.”
“Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil; Mr. T Moh. Hasan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran daripada uraian saya ini.”
“Saudara Ketua, ‘janji’ ini dengan resmi telah diucapkan oleh yang terhormat Saudara Sukarno, Kityouu dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, ucapannya dapat juga kita baca dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Prof. Mr. Dr. Notonegoro.”
“Saudara Ketua, secara tegas saya ingin tanya, Saudara Ketua di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua di manakah kami golongan Islam dapat menuntut ‘janji’ tadi itu? Di mana tempatnya?!
“Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait accompli-kan (dipaksa untuk menerima suatu keadaan) dengan suatu janji atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu majelis permusyawaratan rakyat untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru yang permanen.”
“Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante ini di-fait accompli-kan lagi dengan anggapan semacam: Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirobah. Tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait accompli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
“Saudara Ketua, apabila pada waktu itu (tanggal 18 Agustus 1945) pemimpin-pemimpin Islam tidak berkepala batu, tetapi bahkan menerima baik untuk menunda mengenai materi-materi Islam itu, mengingat suasana waktu itu. Saudara Ketua, maka hal ini menjadi bukti untuk kesekian kalinya bahwa umat Islam memang berlapang dada. Semoga pada waktu sekarang ini dada itu tidak harus dilapangkan. Sebab, Saudara Ketua, pelapangan dada itu telah maksimal. Paling banyak dada itu tinggal meledak! AllahuAkbar! AllahuAkbar! AllahuAkbar!”
Orasi berapi-api yang sungguh menggetarkan dada itu, telah menyibak kepingan perjuangan masa lalu. Ya, perjuangan para ulama kala mencoba mencoba merumuskan dasar dari sebuah negara yang sebentar lagi akan merdeka. Di hadapan 67 anggota BPUPKI,
Ki Bagus Hadikusumo dengan tegas menyatakan,
“…Oleh karena itu, Tuan-Tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.”
Orang nomor satu di Muhammadiyah ini paham betul, bahwa tidak semua tokoh bangsa yang hadir saat itu setuju. Indonesia adalah sebuah wilayah yang luas dengan beragam suku bangsa dan agama. Namun, ia betul-betul tak dapat menemukan alternatif lain selain Islam.
Pun kita juga teringat, dahsyatnya perdebatan panjang antara kubu sekuler dengan kubu Islam hingga membuat Sukarno memohon kepada para tokoh Islam untuk melunak dan “mengalah”. Teringat pula, bagaimana hebatnya para alim ulama se-Jawa-Madura mengirim 52.000 surat sebagai bentuk dukungan atas tegaknya syariat Islam. Teringat pula, bagaimana Alexander Andries Maramis yang notabene adalah seorang non-muslim mengatakan “setuju 200 persen” atas ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dan terbayang pula di kepala, bagaimana bijaksananya seorang K.H. Wahid Hasyim sebagai tokoh Nahdlatul Ulama menenangkan kekhawatiran Johannes Latuharhary sebagai orang Maluku atas tercantumnya 7 kata yang dikhawatirkan dapat menyebabkan rakyat harus meninggalkan adat istiadatnya, dan kekhawatiran seorang Wongsonegoro serta Hussein Jayadiningrat bahwa perkara itu akan menimbulkan fanatisme, “Kita tidak usah khawatir dan saya rasa bagi kita masih banyak daya upaya untuk menjaga jangan sampai kejadian hal-hal yang kita khawatirkan, malah saya yakin tidak akan terjadi apa yang dikhawatirkan… Saya kemukakan ini supaya soal ini tidak akan menjadi perbincangan panjang lebar, hingga menimbulkan macam-macam kekhawatiran yang sebenarnya tidak dirasa.”
Demikianlah, memoar perjuangan para ulama dan tokoh bangsa di masa lalu kala mati-matian memperjuangkan Islam. Kenangan itu memang sudah berlalu, namun semangat perjuangan itu layak untuk ditiru.
Bagi setiap muslim, menerapkan syariat Islam adalah sebuah kewajiban agama yang tak dapat ditawar-tawar. Ia juga bukan prasmanan, sehingga dapat mengambil yang suka dan meninggalkan yang tidak suka.
Demikian pentingnya, hingga para tokoh Islam mati-matian memperjuangkannya sebagai rumusan dasar negara. Demikian pentingnya, hingga Ki Bagus Hadikusumo sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah ngotot mempertahankan Agama Islam dimasukkan ke dalam Mukaddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pentingnya, hingga beliau dengan tegas menyatakan bahwa Islam itu mengandung Ideologi negara, sehingga negara tidak bisa dipisahkan dari Islam.
Dan demikian pentingnya, hingga seorang Kasman Singodimedjo menangis menyesal berhambur air mata mengetahui bahwa dirinya ternyata telah terlibat dalam peristiwa penghapusan tujuh kata. []
Sumber:
Debat Dasar Negara : Islam dan Pancasila Konstituante 1957. Pustaka Panjimas: Jakarta.
Rizki Lesus, 2017. Perjuangan yang Dilupakan. Pro-U Media: Yogyakarta.