Uighur dalam Pusaran Politik Internasional

Share the idea

RESUME KLI ONLINE EVENT:
“UIGHUR DALAM PUSARAN POLITIK INTERNASIONAL”
bersama Muhammad Iskandar Syah

(Penulis konten Uighur di akun @komunitasliterasiislam, Sarjana program studi Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman, saat ini bekerja sebagai jurnalis di salah satu media nasional)

Negara ASEAN, termasuk Indonesia tidak setuju dengan Responsibility to Protect (R2P) atau intervensi yang menjadi salah satu alasan kenapa tidak membantu Uighur, karena menganggap itu urusan internal Tiongkok. Lantas bagaimana menciptakan perdamaian dunia tanpa R2P, seperti salah satu tujuan Indonesia di UUD 1945?

Sebenarnya, ASEAN Way bukan menjadi alasan negara-negara ASEAN tidak melibatkan diri dalam isu Uighur. Hal ini lebih didasarkan pada ketakutan ekonomi-politik. Dalam teori Politik Luar Negeri, ada beberapa faktor bagi negara untuk menentukan politik luar negerinya. Ilmuwan politik termasyhur, Graham T. Allison berpendapat bahwa ada tiga model yang menentukan politik luar negeri suatu negara, yaitu Model Rational Actor; Model Organizational Process; dan Governmental Politics.

Mengacu pada ketiga model ini, jelas bahwa alasan atas diamnya negara ASEAN itu lebih karena Rational Actor Model yang mempertimbangkan cost and benefits, sembari mempertahankan status watch and see atas peristiwa ini. Maka, alasan kenapa negara ASEAN tidak turut campur terhadap isu Uighur, tidak lebih karena di mata mereka cost-nya terlampau besar dan karena ASEAN merupakan pasar bagi investasi Tiongkok.

Kemudian, R2P bukan satu-satunya instrumen untuk menegakkan perdamaian. Prinsip dasar R2P memang mirip dengan prinsip dalam Islam. Yang menjadikannya berbeda adalah, R2P berlandaskan kemanusiaan sedangkan Islam berdasarkan “ukhuwah”/persaudaraan. Dalam konteks tidak adanya Kekhilafahan, maka perdamaian bagi umat Islam adalah sebuah kemustahilan. Karena bukan hanya Uighur yang mengalami hal serupa, namun umat Islam di negara lain juga merasakannya.

PBB juga tidak bisa menekan Tiongkok untuk menghentikan perlakuan biadabnya, karena Tiongkok merupakan salah satu dari lima negara yang memiliki hak veto. Keputusan apapun yang dibuat dalam Dewan Keamanan PBB, jika Tiongkok tidak setuju mereka bisa membatalkannya atau memvetonya. Artinya PBB pun tidak bisa diandalkan.

Bagaimana menanggapi pernyataan orang-orang yang menyatakan harus “tabayyun” dengan cara datang langsung kesana, padahal fakta yang terjadi sudah benar-benar jelas. Apakah untuk membuktikan kejadian di Uighur itu harus datang kesana?

Mengenai fakta di lapangan, memang kita tidak ada yang tahu. Namun media mainstream sudah banyak menceritakan apa yang dilakukan Tiongkok terhadap muslim Uighur. Tidak percaya dengan media mainstream? Perlu diingat, media itu berdasarkan verifikasi di lapangan. Media memang ada yang bias. Namun, yang dimaksud bias adalah media yang memberitakan hanya sepenggal-sepenggal, tanpa melihat konteks keseluruhan.

Jika berdasarkan hal ini kemudian tidak percaya dengan media, lantas kenapa masih baca berita? Kalau tidak percaya dengan media, seharusnya apapun yang dikatakan media ya jangan dipercaya. Yang menjadi masalah adalah, percaya dengan validnya berita atas kasus lain, namun justru menolak kebenaran atas kasus Uighur.

Beberapa bulan yang lalu, teman dari narasumber – bersama beberapa media lain – yang bekerja dengan media nasional dengan spesialisasi berita internasional diundang oleh Pemerintah Tiongkok untuk bertandang ke kamp Uighur. Namun, pemerintah Tiongkok hanya menunjukkan hal-hal yang baik. Pemerintah memiliki guide khusus, sehingga pengunjung tidak dapat menjelajah sendiri. Jika dibolehkan menjelajah mandiri, tentu akan ketahuan belangnya.

Bahkan ada penyintas yang kabur dari sana menceritakan bagaimana kejamnya Tiongkok memperlakukan muslim Uighur. Perlu ditekankan, bahwa media yang memberitakan hal tersebut bukan hanya media lokal, namun juga media Internasional yang proses verifikasinya ketat. Lalu, jika pemerintah Tiongkok memperlakukan Uighur secara baik-baik saja, lantas kenapa perwakilan PBB dan jurnalis dilarang berkunjung ke sana? Logikanya, jika memang baik-baik aja, lantas kenapa dilarang?

Sebenarnya ada apa dengan Uighur?  Mengapa dikatakan bahwa masalah ini adalah masalah politik internasional?

Apa yang terjadi di Uighur menurut versi Pemerintah Tiongkok adalah kamp pendidikan ulang agar masyarakat muslim di sana bisa berintegrasi dengan budaya yang Pemerintah Tiongkok hendaki. Masalahnya, kamp-kamp tersebut dioperasikan secara rahasia dan berada di luar sistem hukum yang berlaku. Di sana, orang dapat dikurung tanpa pengadilan apa pun.

Pemerintah Tiongkok bahkan menahan ratusan ribu orang Uighur dan Muslim dari etnis minoritas lainnya di kamp-kamp pendidikan ulang ini, mengklaim bahwa penahanan adalah upaya untuk melawan ekstremisme dan terorisme. Yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok ini dikenal dengan “Genosida Budaya” karena berusaha menghilangkan budaya asli Uighur yang lekat dengan Islam dan menggantinya dengan budaya Tiongkok mayoritas, yakni budaya Han. Karena ada sesuatu yang tidak baik-baik saja dan melibatkan jutaan umat Islam di sana, tentu masalah ini menjadi masalah politik internasional. Alasan lainnya adalah, bahwa hal ini juga merupakan masalah kemanusiaan hingga merebut simpati berbagai masyarakat lintas negara, karena tidak sedikit sumber yang mengatakan bahwa mereka mengalami penyiksaan dan perilaku keji lainnya.

Apakah hanya HAM (kedaulatan) yang bisa menghukum negara yang hidup dalam lingkungan anarki? Mampukah Khilafah menjadi aktor tunggal untuk menjadi pusat kedaulatan umat Islam?

Konsep negara yang kita kenal saat ini disebut nation-state atau negara bangsa. Konsep ini baru ada usai Perang 30 Tahun antar kerajaan di Eropa (konflik agama pula antara Katolik dan Protestan). Pada tahun 1846, perang itu berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Westphalia yang juga menandai berakhirnya kekuasaan Imperium Roma. Pasca peristiwa itu, muncullah konsep negara bangsa yang menggantikan konsep imperium.

Perlu diingat, bahwa kekhilafahan itu juga identik dengan konsep imperium. Yang membedakannya adalah aspek kedaulatannya. Dalam Khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’, sedangkan imperium berada di tangan kaisar. Andaikata ada kekhilafahan, pasukan Khilafah wajib turun tangan dalam membantu umat Islam yang didzolimi. Maka, saya cukup skeptis bahwa ada aktor selain kekhilafahan yang dapat mengentaskan penderitaan yang dialami umat Islam di seluruh dunia. Buktinya, apa yang terjadi di Palestina tidak kunjung selesai sampai sekarang. Itu baru Uighur dan Palestina. Bagaimana dengan Rohingya, Yaman, Kashmir, Libya, Sudan, Afghanistan, dan umat Islam di belahan dunia lainnya?

Mengapa etnis Han, Hui, dan Uighur diperlakukan berbeda? Saya pernah mendapat jawaban, bahwa suku Han dan Hui adalah Islam ideal menurut Tiongkok. Seperti apa Islam ideal versi Tiongkok Ini? Apakah hal ini bersinggungan dengan isu moderasi?

Masalah ini tidak berhubungan dengan isu moderasi, karena moderasi itu hanya topeng untuk melancarkan jalan menuju suatu tujuan yang terganjal oleh aturan atau tradisi Islam.

Selanjutnya, kita harus jelas dalam mengklasifikasikan mana Han, mana Hui dan mana Uighur. Yang dimaksud suku Han adalah bangsa Tiongkok original dan mayoritas. Jadi, yang disebut sebagai Tiongkok saat ini adalah Han. Agama mereka lebih banyak ke Buddha dan Khonghucu. Sementara Hui merupakan perpaduan atau asimilasi antara Han dengan kelompok ras dari Persia dan Arab. Dan Uighur merupakan suku tersendiri yang berakar dari Ural Altai.

Hui dan Uighur ini sama-sama menggambarkan corak Islam. Paling tidak mayoritasnya Islam, namun pembedanya adalah masalah “beragama”. Islam Hui dengan Islam Uighur itu berbeda. Hui lebih berislam pada kearifan lokal yang khas dengan Konfusianisme, sedangkan Uighur cenderung pada Islam khas Timur Tengah. Hal ini pula lah yang membuat Islam bangsa Hui cenderung diterima oleh Pemerintah Beijing. Di samping itu, Hui juga berbahasa Tiongkok layaknya Han, meski ada juga yang masih mempertahankan serapan bahasa Persia dan Arab.

Hui juga memiliki tradisi yang jauh lebih lama dalam mensintesis ajaran Konfusianisme dengan ajaran Al Quran, atau pencampuran antara budaya lokal dengan agama. Selain itu, alasan kenapa Hui cenderung diterima oleh Otoritas Tiongkok karena mereka tidak “bandel” alias selalu patuh terhadap Beijing. Jadi, Hui itu saudaranya Han (Tiongkok) namun beda agama. Hui ini sangat loyal dengan Tiongkok. Maka, di mata bangsa Uighur, Hui ini bonekanya Tiongkok.

Pada Perang Dunia kedua, pernah terjadi perpecahan antar Hui dengan Uighur. Hui ada di barisan Tiongkok, sedangkan Uighur membela Jepang. Berbeda dengan Hui, bangsa Uighur memiliki tradisi Islam yang kuat seperti di dunia Arab. Mereka juga memiliki bahasa yang berbeda dengan orang Tiongkok pada umumnya. Secara tradisi pun mereka berbeda. Artinya secara agama maupun budaya bangsa Uighur tidak terintegritasi dengan Tiongkok.

Inilah alasan mengapa Pemerintah Tiongkok ingin mendoktrinasi ulang Uighur supaya sejalan dengan Tiongkok. Terlebih lagi DNA Uighur itu memberontak dengan otoritas Tiongkok, sehingga seringkali kita mendengar Uighur dicap sebagai teroris. Uighur memang sangat getol untuk memerdekakan diri dan menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Bangsa Tiongkok yang mayoritas Han.

Jika melihat akar historis Bangsa Uighur, maka Uighur merupakan bangsa tersendiri yang sudah memiliki wilayah sendiri dan kemudian ditaklukkan oleh Tiongkok di bawah Dinasti Qing. Jadi, dari sudut pandang Uighur, apa yang mereka lakukan adalah hendak mengklaim akar warisan sejarahnya yang memang berbeda dengan Tiongkok. Mereka ingin melepaskan diri dari penguasaan Tiongkok, karena di bawah rezim komunis mereka tidak leluasa untuk mempraktekkan ajaran Islam. Namun di mata Tiongkok, apa yang dilakukan Uighur adalah pemberontakan.

Kondisi di Uighur, Suriah, Rohingya, Kashmir, dan berbagai wilayah lain, adalah kondisi umat Islam yang sedang didzalimi oleh pemimpin yang dzalim di dalam sistem yang juga dzalim. Sehingga, segala bentuk perlawanan untuk melepaskan diri dari kedzaliman yang mereka alami untuk keselamatan jiwa dan agamanya adalah suatu kewajaran sebagaimana perjuangan para pahlawan Indonesia melawan kedzaliman penjajah Belanda.

Banyak yang membuka saluran donasi untuk Uighur. Apakah donasi tersebut tepat dan sampai kepada mereka? Bukankah mereka berada di dalam kamp?

Pemerintah Tiongkok menutup akses siapa pun untuk ke sana. Saya juga tidak tahu pasti, tapi kemungkinan besar donasi ini masuk melalui masyarakat Uighur yang telah melarikan diri ke beberapa negara. Untuk mengetahui hal ini, kita bisa melihat kredibilitas lembaga yang menyalurkan bantuan dan donasi. Sama halnya dengan masalah donasi ke Palestina. Jadi, bismillah kita yakin bahwa bantuannya sampai. Kemungkinan besar, bantuan itu masuk ke pengungsi Uighur yang berada di luar Tiongkok, seperti di Turki.

Bagaimana awal mula sejarah Uighur hingga akhirnya berada di bawah kekuasaan pemerintah Tiongkok?

Etnis ini masih satu keluarga dengan Ular Altai yang membentuk bangsa Turki dan bahkan Korea. Etnis ini dahulu memiliki kerajaan tersendiri, yang dikenal dengan Kerajaan Uighur Khaganate. Kerajaan ini pada tahun 840 runtuh. Pasca itu, mereka mengalami asimilasi dengan ras Indo-Eropa seperti Rusia. Pada era Imperium Mongol, etnis ini banyak dipekerjakan sebagai pegawai sipil di pemerintahan. Maka, saat Imperium Mongol ditaklukkan oleh Dinasti Qing (kelak menjadi penerus Republik Rakyat Tiongkok), Uighur yang saat itu berada dalam kekuasaan Mongol otomatis ikut diokupasi oleh Tiongkok.

Lalu, ketika terjadi peristiwa pendudukan oleh Dinasti Qing, jutaan penduduk Uighur dibantai. Pada tahun 1864, terjadi revolusi bangsa Uighur terhadap Dinasti Qing, sehingga mereka mendirikan kerajaan yang dikenal dengan Kashgaria yang independen dari Qing atau dikenal pula dengan sebutan Yettishar atau yang berarti negeri dengan tujuh kota.

Kerajaan ini berada di bawah kepemimpinan Yakub Beg dan diakui oleh Khilafah Utsmaniyah, Tsar Rusia, dan Britania Raya. Di sinilah awal mulanya. Di bawah kepemimpinan Yakub, Uighur diminta untuk berjihad melawan Tiongkok muslim (Hui) yang bermazhab Syafi’i, sedangkan Uighur bermazhab Hanafi. Singkatnya, Yakub kemudian dikalahkan oleh Dinasti Qing di bawah kekuasaan Jenderal Zuo Zongtang yang menyerang Ibu Kota negeri itu di Kashgaria pada 1876. Ekspansi Dinasti Qing dibiayai oleh Bank Inggris untuk menghalau Rusia. Karena berhasil ditaklukkan, maka wilayah Turkistan Timur diberikan nama oleh Tiongkok (yang meneruskan kekuasaan Dinasti Qing) dengan sebutan Xinjiang yang bermakna “Wilayah Baru”. Sejak saat itu, wilayah Xinjiang diokupasi oleh Tiongkok.

Menurut sejarah, bangsa Uighur merupakan keturunan klan dari Turki. Lantas mengapa Turki hanya diam saja atas apa yang menimpa klan yang masih bertalian erat dengannya? Apakah hal ini dapat dikaitkan dengan permasalahan politik luar negeri?

Benar bahwa Uighur masih satu akar dengan Turki. Lantas kenapa Turki diam saja? Terdapat satu asumsi, yaitu Turki merupakan sebuah negara yang notabene memiliki instrumen kebijakan luar negeri yang ditentukan oleh banyak faktor. Ada beliefs system (sistem keyakinan), ada cost and benefit (untung dan rugi), Partai Politik yang berkuasa, serta tekanan internasional maupun nasional dan lainnya.

Saat ini, partai yang berkuasa di Turki adalah AKP yang masih dikuasai Erdogan. Di dunia Arab, Erdogan begitu populer. Kebijakannya yang seakan melakukan desekulerisasi membuat para pihak yang terlanjur “sakit hati” dengan omong kosong sekulerisme, menaruh harapan penuh kepada Erdogan. Terlebih lagi sikap Erdogan yang keras terhadap Israel dan Barat, terutama AS, membuat sebagian besar umat Islam yang membenci AS bersimpati dengan sosok ini.

Namun, justru di sinilah jebakannya. Karena Erdogan menjaga jarak dengan Barat, maka otomatis ia mencari sekutu ke blok Timur. Siapa saja poros utamanya? Tentu Rusia dan Tiongkok. Turki begitu vokal terhadap isu Palestina, tapi kaum muslim terlalu naif mengharapkan hal yang sama terjadi pada Uighur. Pisau bedah paling tajam untuk menganalisis semua ini lagi-lagi dari aspek ekonomi-politik. Erdogan merepresentasikan dirinya sebagai pembela Muslim yang tertindas di seluruh dunia. Lihatlah saat isu Rohingya, Palestina, maupun Yaman, Turki begitu vokal. Tapi Uighur? Erdogan bak anak kucing melihat Bulldog.

Lebih parahnya Erdogan menyebutkan bahwa etnis Uighur di Xinjiang dalam keadaan baik-baik saja. Ucapannya itu dikatakan tanpa melakukan verifikasi ke lapangan. Ia hanya mendengarnya dari Pemerintah Tiongkok saat kunjungan dirinya beberapa bulan lalu. Motif ekonomi-politik menjadi latar belakang sikap Turki yang seperti ini. Dia yang sudah menjaga jarak dengan Barat, maka tidak mungkin menjaga jarak juga dengan Tiongkok selaku pemain terbesar ekonomi dan keamanan di dunia.

Hubungan baik yang selama ini telah dijalin antara Turki dengan berbagai negara di dunia, menyebabkan mereka ketakutan. Bukan takut untuk diserang, tapi takut terhadap implikasi ekonomi atas sikap mereka. Sebenarnya, Turki pernah melakukan kritik keras atas tindakan Beijing tersebut. Pada Februari lalu, Turki mengatakan bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran HAM  yang memalukan atas etnis Uighur. Pada 2009, Erdogan juga pernah mengatakan bahwa apa yang menimpa etnis Uighur adalah salah satu bentuk “Genosida”. Pada 2015, Erdogan juga menawarkan shelter bagi pengungsi Uighur.

Artinya, sebelum Erdogan bertandang ke Tiongkok Turki begitu keras mengkritik Beijing. Nampaknya Erdogan itu dilematis. Di satu sisi dia ingin membantu Uighur, tapi di sisi lain juga mau menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Dari mana asumsi tersebut datang? Turki merupakan tujuan utama para pencari suaka dari Uighur. Bahkan menurut laporan Reuters, diplomat Turki membantu para pencari suaka Uighur untuk menyiapkan dokumen jika hendak mengungsi ke suatu negara. Menurut data Reuters juga, ada sekitar 35.000 pengungsi Uighur di Turki. Artinya, secara sikap Turki baik terhadap Uighur. Lalu apakah Erdogan berubah? Banyak pihak yang mengatakan kalau perubahan sikap Erdogan ini dikarenakan keterlibatannya dalam proyek OBOR Tiongkok. Proyek ini mengalirkan investasi yang deras dari Tiongkok ke negara-negara muslim yang terlibat, termasuk Indonesia. []

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *