Refleksi Reuni 212: Sebuah Taktik Psikis Berbahaya
Siapapun yang menyaksikan secara langsung momen reuni 212, sudah selayaknya berdecak kagum. Tidak peduli lagi latar belakang harakah, tidak peduli lagi berasal dari mana, tidak peduli lagi pilihan politik di masa lalu dan masa depan. Apapun alasan yang menyebabkan dirinya ikut, peristiwa tersebut telah menjadi sebuah simbol, bahwa jutaan umat Islam kini semakin merindukan persatuan.
Namun, gerakan menuju kebangkitan Islam ini masih saja dicederai oleh pihak-pihak yang tidak suka. Kemudian, muncullah ungkapan-ungkapan seperti,
“Udahlah, di rumah aja. Ngapain sih panas-panasan.”
“Wanita itu tempatnya di rumah! Bukan ikutan aksi!”
“Ada reuni buat apa? Penista agama kan sudah ditangkap”
“Ga usah ikut, nanti ditunggangi sama kampanye-kampanye politik”
“Kalo mau mengkritik penguasa, ga usah ngadain yang begitu laah. Kan bisa audiensi langsung, sampaikan dengan baik”
Berbagai sindiran serta ungkapan-ungkapan sinis lainnya, seolah ingin menghipnotis umat Islam untuk berpikiran pesimis dan bermental pragmatis. Sayangnya, pihak yang paling vokal memunculkan perasaan sinis ini justru nampak dari orang-orang yang mengaku muslim. Sedih, sangat sedih. Jikalau momen kebangkitan umat Islam saja tidak disukai, lantas pada momen seperti apa ia akan berjuang? (jujur saja, sikap sikap sinis dan penuh rasa pesimis ini mengingatkan penulis kepada pimpinan kaum munafik Madinah, Abdullah bin Ubay).
Serangan-serangan psikologis dan taktik psikis seperti ini memang sederhana, namun ternyata berdampak sangat luar biasa. Jika bergeraknya seseorang sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan motivasinya, maka serangan-serangan sinis dari media sangatlah mempengaruhi mental umat Islam. Dampak buruknya, pihak-pihak yang awalnya semangat, mulai merasa pesimis.
Terlebih pasca reuni 212, sangatlah sedikit – jika tidak ingin dikatakan tak ada – media mainstream yang memberitakan kemegahan momen reuni 212. Tentu ini sungguh berbahaya, karena tanpa disadari, apa yang media lakukan telah berupaya untuk mengaburkan sejarah!
Padahal, sejarah telah banyak sekali mencatat, kondisi mental umat Islam sangatlah penting, bahkan menjadi salah satu faktor kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh umat terbaik ini. Kaum muslimin berulang kali dimotivasi oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, janji dan bisyarah dari Allah dan Rasulullah, mengenai kemuliaan, besarnya pahala, dan mewahnya Surga bagi siapa saja yang berjihad dan membela agama Allah.
Hal ini pula lah yang menjadi jawaban, atas berbagai perasaan heran bagi siapapun yang menyaksikan sebuah gerakan yang dihadiri jutaan jiwa, dengan tetap menunjukkan superioritas umat Islam yang tertib dan terkendali,
“Atas dasar apa mereka (umat Islam) dapat melakukan hal luar biasa seperti itu? Bagaimana mungkin umat Islam memiliki semangat yang luar biasa dan demikian fanatik dengan agamanya? Dari mana energi luar biasa besar itu berasal? Bukankah perjuangan yang mereka lakukan menuntut pengorbanan harta, waktu, jiwa, dan tenaga yang sangat besar? Bukankah mereka tidak mendapatkan keuntungan?”
Maka sungguh, upaya-upaya untuk mengerdilkan berbagai pergerakan yang dilakukan umat Islam adalah wujud dari ketakutan musuh-musuh Islam. Itulah usaha mereka untuk menurunkan mental kaum muslimin, sehingga mereka tidak memiliki keinginan lagi untuk berjuang.
Kekhawatiran mengenai kemenangan umat Islam, bahkan telah digambarkan oleh Al-Qur’an 14 abad yang lalu, “Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh). Jika kalian menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit (pula), sebagaimana kalian menderita sakit tersebut, sedang kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (TQS An-Nisa : 104).
Sudah selayaknya umat Islam berada dalam mentalitas yang stabil dan tinggi karena kaum muslimin mendapat dukungan dari Allah yang tidak pernah melanggar janji-Nya. Namun terkadang, kita sebagai manusia mengalami kerapuhan mental dan terus menerus terjebak dalam kelemahan. Akibatnya, kita melupakan hal-hal yang tidak boleh kita lupakan. Ketika itulah, jiwa kita tergoncang dan dilanda kecemasan. Padahal, perkara ini tidaklah mungkin terjadi pada mereka yang memiliki kondisi iman yang kuat.
Jika kita merasa pesimis dan cemas, maka sungguh, kondisi mental musuh-musuh Islam jauh lebih buruk dari itu! Siang malam mereka cemas memikirkan strategi menghancurkan dan mencegah kebangkitan Islam. Namun, sebesar apapun usaha yang dilakukan, jika Allah telah berkehendak, niscaya janji kemenangan itu akan tiba. Jauh sebelum umat Islam menjadi kuat, Allah telah berjanji memberikan kemenangan umat Islam atas berbagai wilayah dunia, mulai dari Persia, Yaman, Konstantinopel, bahkan Roma.
“Ketika kami duduk bersama dengan Abdullah bin Amru bin Al-Ash, beliau ditanya tentang kota manakah yang akan (futuh) dikuasai, Konstantinopel atau Roma? Abdullah bin Amru bin Al-Ash meminta diambilkan kotak miliknya yang ada lubangnya dan mengeluarkan kitab dari dalamnya dan berkata, “bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, tiba-tiba beliau SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW menjawab, “Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel)” (HR Ahmad).
Setelah 825 tahun penantian, akhirnya janji Allah terwujud. Konstantinopel berhasil ditaklukkan! Tidak peduli, berapa lama waktu yang dihabiskan, berapa besar pengorbanan yang dilakukan, janji itu kelak akan terwujud, di tangan orang-orang yang yakin dan bermental besar!
Kondisi mental dan iman yang kuat inilah yang juga ditunjukkan oleh pasukan Islam ketika menyongsong kemenangan. Bahkan, sikap umat Islam yang harus menjauhi rasa pesimis juga digambarkan oleh Zaghanos Pasha, salah satu pemimpin militer Khilafah Utsmani dalam misi penaklukkan Konstantinopel. Dengan berani ia membantah usulan senior militernya, Halil Pasha, yang mengusulkan untuk memberhentikan pengepungan Konstantinopel dan Khilafah menerima tawaran Kaisar Byzantium berupa pembayaran pajak sebesar 70.000 keping emas setiap tahunnya.
Zaghanos Pasha secara tegas berkata, “Sekali-kali tidak wahai Sultan! Saya tidak akan menerima selamanya apa yang dikatakan oleh Halil Pasha. Tidaklah kita datang ke tempat ini melainkan untuk mati, bukan untuk kembali… sesungguhnya Halil Pasha dengan kata-katanya itu hendak memadamkan api semangat kalian, mematikan keberanian kalian, tetapi ia tidak kembali kecuali dengan kehampaan dan kerugian. Sesungguhnya Iskandar Agung yang berangkat dari Yunani dan berjalan hingga India serta menaklukkan separo Asia yang begitu besar dan luas tidak lebih besar jumlah pasukannya ketimbang pasukan kita. Maka, jika pasukannya itu mampu menguasai bumi yang luas, apakah pasukan kita tidak mampu melangkahi seonggok tanah di balik batu-batu yang bertumpuk ini?”
Ia kemudian mengakhiri pendapatnya, “Wahai pemilik kekuasaan, Anda telah menanyakan pendapat saya, maka saya menyampaikannya dengan kata-kata yang jelas. Sepatutnya hati kita kokoh seperti batu karang dan suatu keharusan bagi kita untuk meneruskan perang tanpa menunjukkan kelemahan sedikit pun. Kita telah memulai urusan ini, maka wajib bagi kita untuk menuntaskannya. Harus kita tingkatkan lagi serbuan yang kuat dan keras, membuat lagi lubang yang baru, dan merobohkan musuh dengan keberanian. Saya tidak mengetahui sesuatu selain dari ini.”
Jika penaklukkan Konstantinopel membutuhkan pemimpin dan pasukan terbaik, bukankah penaklukkan Roma membutuhkan pemimpin dan pasukan yang jauh lebih baik? Percayalah, janji Allah hanya dapat terwujud di tangan orang-orang terbaik!
Boleh jadi, Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, Tiongkok, Jepang, saat ini terlihat sebagai bangsa yang besar. Namun percayalah, umat Islam adalah umat yang lebih besar!
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ditengah-tengah manusia agar kalian menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran sementara kalian beriman kepada Allah.” (TQS. Ali Imran : 110)
Jika janji Allah adalah hal yang pasti, lantas alasan apalagi yang membuat kita tidak beranjak berjuang dari tempat kita saat ini? Bukankah Islam sudah selayaknya kita jadikan perkara hidup dan mati?
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduksatu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang dudukdengan pahala yang besar. (TQS an-Nisaa : 95)
Sumber:
Ahmad ‘Athiyat. 2017. Jalan Baru Islam: Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Alwi Alatas. 2005. Al Fatih Sang Penakluk Konstantinopel. Zikrul Hakim. Jakarta.
Muhammad Sayiid Al-Wakil. 2005. Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.