Sejarah

Sejarah Munculnya Berbagai Organisasi Islam di Indonesia

Share the idea

Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari rangkaian artikel dengan subtema:  “Perjuangan Khilafah di Masa Pra-Kemerdekaan”

Perubahan besar di Indonesia pada awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan yang didirikan oleh kaum pribumi. Identitas mereka tidak semua sama, yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3 kelompok: Islam, Sekuler, dan Komunis. Organisasi Islam yang paling awal lahir pada abad ini adalah Muhammadiyah yang berdiri di Yoyakarta pada 1912 oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Semangat awal Muhammadiyah adalah mengembalikan pusat rujukan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Hadits serta memahamkan Islam kepada anggota-angotanya.

Dalam perjalanannya, Muhammadiyah ternyata tidak sendiri. Muncul juga organisasi Al-Irsyad yang didirikan oleh Ahmad Surkati. Kedua organisasi ini sering disebut sebagai organisasi pembaharu dan terlibat dalam berbagai perbincangan seputar pendirian kembali Khilafah pasca keruntuhannya. Namun, organisasi Islam yang paling menonjol pada masa tersebut sehingga layak mendapat perhatian lebih adalah Sarekat Islam.

Selain golongan pembaharu, terdapat juga golongan tradisional dengan ujung tombaknya yaitu K. H. Abdul Wahab yang berasal dari Surabaya dan K.H. Asnawi dari Kudus. Pada awalnya, golongan tradisional ini tidak terorganisir, hingga kemudian terhimpun dalam organisasi Nahdhatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926.

Meskipun pergerakan organisasi-organisasi ini lebih banyak diarahkan untuk merespon kondisi sosial di dalam negeri (yaitu munculnya tekanan penjajahan dan harapan untuk memajukan pribumi), tak jarang organisasi Islam tersebut memantau perkembangan umat Islam di luar negeri. Mereka tidak hanya mencukupkan persoalan di sekitar kehidupan mereka, namun juga mengikuti perkembangan dunia Islam secara global.

Momen puncak perhatian umat Islam Nusantara terhadap dunia Islam Internasional adalah ketika Majelis Nasional Turki secara resmi menghapus Khilafah Turki Utsmani. Berita tentang penghapusan ini segera menyebar dan mengejutkan dunia Islam. Kondisi ini tidak terlepas dari paham Pan-Islamisme yang mulai digaungkan kembali oleh Sultan Abdul Hamid II.

Pan-Islamisme bertujuan untuk menyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik, agama, dan satu kepemimpinan yang hanya dipimpin oleh seorang khalifah. Maka, saat jabatan khalifah ditiadakan, banyak umat Islam dari berbagai penjuru dunia merespon dan memperjuangkannya agar tegak kembali.

Kala itu, di Indonesia jumlah organisasi Islam sudah banyak. Umumnya, respon mereka adalah kekecewaan atas penghapusan sistem khilafah di Turki sehingga kemudian mereka berupaya untuk terlibat mencari pengganti jabatan khalifah.

Persoalan penghapusan ini bukanlah persoalan orang Turki semata, tetapi telah menjadi persoalan umat Islam di seluruh dunia karena selama ini lembaga khilafah telah berdiri bersama umat lebih dari seribu tahun. Mengenai hubungan antara umat Islam dengan khilafah dan penyebab persoalan penghapusan ini menjadi ramai diperbincangkan, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo menuturkan,

Sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun. Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini. Oleh karena itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang.

Di bawah pimpinan Syekh Al-Azhar, pada Maret 1924 para ulama segera menyelenggarakan pertemuan di Kairo dan menghasilkan kesepakatan bahwa keberadaan Khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keharusan. Mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah Abdul Majid sudah tidak sah lagi setelah dirinya dilengserkan oleh Mustafa Kemal. Maka, untuk membahas siapa yang layak memegang jabatan khalifah selanjutnya, mereka memutuskan untuk mengadakan kongres di Kairo yang direncanakan berlangsung pada Maret 1925 dengan mengundang wakil-wakil umat Islam di seluruh dunia.

Hal serupa juga dilakukan oleh umat Islam di Mekkah. Pada April 1924, Syarif Husein yang menjadi Amir Mekkah saat itu membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya untuk menegakkan kembali jabatan khalifah. Namun, Dewan Khilafah tidak berumur panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya. []

[BERSAMBUNG KE BAGIAN 2 – PERJUANGAN KHILAFAH DI MASA PRA-KEMERDEKAAN: PERJUANGAN INDONESIA DALAM MENEGAKKAN KEMBALI KHILAFAH]

Sumber:

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996).

Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995).

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES,  1996).

Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, Islam dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *