Sejarah

Ambisi Tersembunyi Di Balik Perang Salib

Share the idea

Motif utama Perang Salib dapat dilihat melalui kejelian Paus Urbanus II (Pemimpin Kristen Katolik di Eropa Barat) dalam mengamati dinamika politik eropa dan Khilafah saat itu. Kondisi politik inilah yang menyebabkan berbagai kepentingan ikut menyatu, seperti faktor politik, ekonomi, dan sosial, dengan menjadikan agama sebagai bahan bakar utama pergerakannya.

Timbangan kekuatan yang dimenangkan oleh Eropa Barat dan diiringi dengan semakin lemahnya kepemimpinan Kaisar Byzantium akibat serangan bertubi-tubi Dinasti Saljuk, membuat Paus Urbanus melihat peluang untuk meningkatkan pengaruhnya di Eropa. Ia kemudian memanfaatkan hal itu untuk meleburkan gereja Ortodoks di Eropa Timur dengan gereja Katolik di Eropa Barat di bawah kepemimpinannya. Semua itu dilakukan di bawah semboyan memerangi umat Islam, menjaga kekaisaran Byzantium dari Dinasti Saljuk, serta merebut kembali Tanah Suci Palestina.

Di sisi lain, ia berambisi untuk menundukkan tokoh-tokoh feodal di bawah kepemimpinannya, sehingga dapat mengakhiri pertikaian di antara mereka sekaligus mengeksploitasi mereka. Ambisi tersebut semakin didukung dengan tingginya semangat religiusitas di kalangan umat Kristen. Oleh karena itu, momen tersebut merupakan situasi sempurna untuk melakukan ekspansi ekonomi dan memperoleh kekayaan yang dibalut dengan semangat agama.

Motif agama

Bagi umat Kristen, Yerusalem merupakan kota suci yang penuh dengan momen agung. Ia merupakan tempat wafat, dibangkitkannya, dan turunnya Yesus. Selain itu, Yerusalem menjadi lokasi penebusan dosa dan panjatan do’a. Gerakan menghidupkan ajaran agama Kristen yang sedang berkembang kala itu dimanfaatkan oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat umat Kristen dalam melakukan perang salib – perang suci. Pidato-pidato Paus berhasil menghipnotis masyarakat dan berkobarlah teriakan, “Deus Vult (demikianlah Allah menghendaki)” sebagai wujud bahwa perang tersebut direstui oleh Tuhan.Menggambarkan hal ini, pakar sejarah Eropa, Gustav Lobon menyebutkan, “Khutbah tersebut menyebabkan kegilaan”.

Mereka mengatasnamakan perang salib sebagai gerakan untuk membersihkan Al-Quds dari kekuasaan umat Islam. Kedengkian Paus yang sedemikian besar terhadap umat Islam mendorongnya untuk menularkan kebenciannya, hingga umat Islam difitnah telah melakukan penindasan kepada masyarakat Kristen di Eropa Timur dan menghancurkan gereja-gereja mereka. Paus pun tak ragu menyebut umat Islam sebagai bangsa terkutuk dan najis. Efek dari fitnah ini bahkan masih terus terasa, baik dalam perjalanan pasukan salib menuju lokasi perang hingga peperangan berlangsung.

Tentu ini fitnah yang keji, penuh dengan kebohongan dan kesesatan. Realita yang terjadi justru sebaliknya. Mereka diperbolehkan menjaga, merawat, bahkan membangun gereja-gereja, rumah peribadatan dan lembaga-lembaga pendidikan yang baru, yang memiliki sejumlah besar perpustakaan dengan buku-buku keagaaman yang beragam tentang ketuhanan. Mengenai hal ini, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi mengomentari, “Bahwa kaum Kristen yang tunduk di bawah pemerintahan Dinasti Saljuk lebih berbahagia dan lebih makmur dibandingkan saudara-saudara mereka yang hidup di bawah naungan Kekaisaran Byzantium sendiri. Tiada bukti yang menunjukkan adanya penindasan Dinasti Saljuk terhadap kaum Kristen di dunia Timur.”

Gumpalan kedengkian tersebut kemudian ditambahkan dengan janji penghapusan hukuman atas dosa dan pembebasan dari pajak bagi mereka yang ikut serta dalam perang. Urbanus juga menjanjikan penjagaan dan keamanaan oleh gereja atas keluarga yang mereka tinggalkan selama kepergian mereka.

Belum cukup, gereja juga menambahkan propaganda bahwa turunnya Isa ke bumi hampir tiba waktunya. Oleh karena itu, umat manusia harus memohon ampun, banyak melakukan kebaikan, dan merebut kembali tanah suci sebelum Al-Masih turun ke bumi.

Paus Urbanus II menyadari bahwa semangat keagamaan ini tidak akan berlangsung lama. Oleh karena itu, ia menyerukan keharusan pengambilan sumpah, melakukan ibadat, atau berdoa di Gereja Al-Qiyamah. Ia pun menyebarkan isu adanya azab bagi umat yang dihinggapi rasa takut, lemah, dan tidak bersemangat. Belum cukup atas semua itu, ia juga mengancam siapa saja yang tidak bergabung dalam serangan ke wilayah-wilayah Islam tidak akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan Gereja.

Mengapa kaum Salib kala itu sangat membenci Islam?

Umat Islam berhasil merebut pemerintahan dan wilayah-wilayah mereka, serta membebaskan budah-budak yang berada di bawah kekuasaan mereka. Berkurangnya wilayah tentunya mengurangi pengaruh, pemasukan ekonomi, dan berbagai kenikmatan duniawi lainnya.

Namun, penyebab terbesar dari kedengkian tersebut adalah mayoritas masyarakat Kristen lebih memilih Islam sebagai agama barunya ketika hidup di bawah perlindungan Khilafah. Hal ini tentu menyayat hati mereka. Seorang Orientalis, Sir Lion Kitane, bahkan memperkirakan jumlah mereka mencapai jutaan.

Motif Politik

Di abad pertengahan, Eropa sangat berkaitan dengan sistem feodalisme. Perluasan kepemilikan tanah pada sebuah wilayah feodal tergantung pada kedudukan kepala negara dan kehormatannya di masyarakat. Namun, persaingan dan ambisi antar pemimpin (meliputi kesatria dan komandan militer) menyebabkan tidak semua pemimpin mendapat tanah feodal.

Untuk mendapatkan tanah, mereka menggunakan cara premanisme dan perang. Motif ini kemudian semakin sempurna ketika Kekaisaran Byzantium meminta bantuan Eropa Barat untuk mengalahkan pasukan Dinasti Saljuk. Eropa Barat bersedia membantu dengan niat memperluas area kekuasaan feodalnya dan menguasai gereja-gereja Timur.

Motif Sosial dan Ekonomi

Masyarakat Eropa abad pertengahan hidup dalam klasifikasi kelas sosial yang nyata. Kaum agamawan dan ahli perang digolongkan sebagai kelompok terhormat dan memiliki kekuasaan. Golongan selainnya, terutama kaum petani yang merupakan golongan terbesar, selalu tertindas. Krisis ekonomi yang demikian parah memaksa mereka mengonsumsi rerumputan dan sejenisnya. Individunya berkorban dan bekerja keras memenuhi kebutuhan golongan di atasnya. Bahkan, mereka juga tidak berhak memiliki harta pribadi.

Paus yang sangat memahami penderitaan mereka, memanfaatkan hal itu dengan menjanjikan pembebasan kewajiban-kewajiban mereka dari majikannya serta kemakmuran yang didapat dari sumberdaya wilayah Islam. Inilah kesempatan emas mereka untuk membebaskan diri. Dalam khotbahnya, Paus menyampaikan, “… Sesungguhnya Yerusalem merupakan tanah yang tiada duanya dengan hasil-hasil buminya, dan bahkan merupakan surga yang menyenangkan.”

Catatan: Karena itu, prosentase peserta perang salib dengan motif ekonomi lebih tinggi dibanding motif lainnya. Inilah realita yang menjelaskan komposisi pasukan salib serta tindakan perampokan dan penjarahan yang dilakukan oleh mereka. 

Kembali, kita disuguhkan kondisi Eropa di abad pertengahan, “The Dark Age”. Kedengkian terhadap Islam serta ambisi memperluas pengaruh dan kekuasaan, telah menjadi ambisi umum masyarakat Eropa kala itu. Andaikan mereka tidak berinteraksi dengan Islam, mereka akan terus menerus terpuruk dalam peradaban kegelapannya. Semua itu bermula, setelah kekalahan mereka dalam perang salib, dan munculnya rasa kagum mereka atas peradaban Islam.

Sumber:

Ali Muhammad Ash-Shallabi. 2014. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.

Geoffrey Hindley. 2012. Saladin Pahlawan Islam. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 

Muhammad Sayiid Al-Wakil. 2005. Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *