Mengapa Kita Seharusnya Tidak Menggunakan Istilah “Nusantara”?
Penyebutan istilah Islam Nusantara yang ramai beberapa tahun belakangan, sesungguhnya tidak memiliki landasan historis yang kuat. Bahkan istilah Nusantara itu sendiri, juga tidak pernah dikenal di masa kejayaan peradaban Islam di negeri ini. Sebab pada masa tersebut, kaum muslimin negeri ini justru menyebut diri mereka berasal dari “Diyar al-Jawi” (negeri-negeri Jawi) atau “Bilad al-Jawi” (negeri Jawi).
Kaum muslimin negeri ini yang menggunakan kata “al-Jawi” untuk menunjukkan asal-usulnya, ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang Jawa. Tapi juga kaum muslimin se-Asia Tenggara; termasuk Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Semenanjung Melayu, Thailand, hingga Filipina. Istilah ini bahkan sangat populer dan sering digunakan dalam kitab para ulama yang berasal dari Asia Tenggara.
Kenapa kita tidak seharusnya menggunakan istilah Islam Nusantara?
Di masa peradaban Islam, istilah Nusantara tak pernah dikenal dan digunakan oleh kaum muslimin di negeri ini. Ketika mereka ingin menisbatkan atau mengenalkan dirinya kepada orang-orang Arab, Persia, maupun Mesir, maka mereka akan menyebut dirinya sebagai “Al-Jawi”, yakni dari negeri Jawi. Tak pernah ada dari mereka yang menggunakan laqob “Al-Nusantari”.
Nusantara sendiri adalah istilah yang justru populer digunakan dalam berbagai manuskrip kuno di zaman Hindu-Buddha, khususnya di masa Singosari dan Majapahit. Kata Nusantara berasal dari bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno) yang berasal dari 2 suku kata: Nusa (pulau/kepulauan) dan Antara (seberang).
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan hierarki wilayah Hindu Majapahit yang berkuasa setelah Singasari. Majapahit membagi wilayah taklukannya (Mandala) dengan tiga level. Pertama, Negara Agung. Yakni daerah sekeliling ibukota sebagai pusat kekuasaan Majapahit, yakni di Trowulan, Jawa Timur.
Level kedua adalah Mancanegara, yakni wilayah di luar teritori negara Agung namun budayanya masih mirip dengannya. Wilayah ini meliputi daerah Jawa dan sekitarnya, seperti Madura, Bali, sampai ke Sumatra bagian selatan khususnya Lampung dan Palembang.
Level ketiga dinamakan sebagai Nusantara. Maknanya adalah pulau lain, yakni daerah di luar budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan. Para penguasa wilayah ini, harus membayar upeti.
Walhasil, selain menyandang kasta terendah wilayah Majapahit, penyebutan Nusantara adalah bagian dari penyebutan wilayah yang sangat Jawa sentris. Inilah gambaran orang-orang Majapahit yang menunjukkan cara pandang primordial kejawaannya, atau kejayaan atas suku tertentu dan hegemoni kerajaannya untuk suku-suku atau kerajaan-kerajaan taklukan yang ada di pulau Jawa. Maka, istilah Nusantara pun sebenarnya bukanlah istilah yang egaliter.
Tak heran, ketika nama Nusantara mencuat sebagai nama ibukota baru, para sejarawan dan arkeolog yang berkutat pada sejarah Majapahit, justru mengkritisi penyebutan Nusantara karena sangat Jawa sentris dan beraroma Hindu Singasari dan Majapahit. Sebab, istilah Nusantara itu pertama kali hadir di kitabnya Mpu Prapanca yang berjudul, “Negara Kertagama”.
Lantas, apa istilah yang lebih dekat dengan Islam?
Dua istilah lain yang populer dan sering diasosiasikan untuk menyebut kaum muslimin di Asia Tenggara adalah Jawi dan Melayu. Bahkan dalam sejarah, istilah “masuk Melayu” adalah istilah lain yang digunakan kepada orang-orang Tiongkok dan orang Asia Tenggara lainnya ketika mereka masuk Islam.
Namun, penggunaan istilah Melayu itu ternyata tidak terlalu luas. Anthony Reid (sejarawan kelahiran Selandia Baru) dalam tulisannya menyebutkan, bahwa istilah “masuk Melayu” di sebagian wilayah Timur Indonesia, justru digunakan sebagai istilah untuk menyebut orang yang “masuk Kristen”. Kenapa? Karena para misionaris yang dibiayai oleh penjajah, baik Portugis maupun Belanda, mereka menyebarkan pesan-pesan Kristus dan Injil juga dengan bahasa Melayu. Sebab, bahasa Melayu saat itu memang menjadi “lingua franca”, yakni bahasa yang dipakai oleh masyarakat seantero Asia Tenggara.
Reid kemudian menambahkan, “Jawi lack of ambiguity partly stems from its probable origins in Arabic and Muslim usage”.
Maksudnya, istilah “masuk Jawi” itu justru lebih masyhur dipahami oleh seluruh orang di Asia Tenggara sebagai kata lain untuk “masuk Islam” dibanding “masuk Melayu”. Sebab, Jawi adalah istilah yang lebih umum digunakan dalam bahasa Arab dan penggunaan kaum muslimin.
Michael Laffan, seorang profesor sejarah di AS menambahkan. Bahwa Jawi, merupakan sebab dari persatuan etnis (bangsa Asia Tenggara) yang bahasanya digunakan oleh orang-orang Arab yang datang dari luar, dan menjadi budaya yang sangat berkaitan dengan Islam bagi orang-orang lokal.
Maka, jika harus memilih antara istilah Melayu atau istilah Jawi, maka Jawi adalah istilah yang lebih layak digunakan.
Butuh setidaknya 11 tahun bagi Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock untuk meneliti hubungan antara Khilafah ‘Utsmaniyyah dengan kaum muslimin di Asia Tenggara. Hasil penelitian itu kemudian diurai dalam 2 jilid buku arsip “Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives” yang jika dibeli, keduanya merogoh kocek hingga $321.06 atau sekitar 4,7 juta rupiah.
Beruntungnya, kita tak perlu membeli semahal itu untuk menikmati isinya. Sebab, KLI telah menerjemahkan arsip-arsip berbahasa Inggris, Turki, adan Arab tersebut dan menerbitkan arsip-arsip pilihannya dalam 2 jilid buku: “Dafatir Sulthaniyah” dan “Siyasah Sulthaniyah”
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Nicko Pandawa, Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah ‘Utsmaniyah, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)
Nicko Pandawa, Siyasah Sulthaniyah: Aktivitas Politik Muslimin Jawi dan Khilafah ‘Utsmaniyah Menentang Penjajah Eropa, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)
Syed Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972)
Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)
Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives, (Leiden: Brill, 2020)
Michael Laffan, “Finding Java: Muslim Nomenclature of Insular Southeast Asia from Srivijaya to Snouck Hurgronje”, ARI Working Paper Series, No. 52 (Nov 2005)
Muhammad Syukri Rosli dan Ahnaf Wali Alias, Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi, (Kuala Lumpur: Akademi Jawi Malaysia, 2022)
Philip Bruckmayr, Cambodia’s Muslims and the Malay World: Malay Languange, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present, (Leiden: Brill, 2019)
Ibn Bathuthah, Tuhfah an-Nuzhzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ‘Aja’ib al-Asfar, manuskrip koleksi Bibliotheque Nationale de France.