PolitikSejarah

Apakah Israel Memiliki Hak untuk Ada?

Share the idea

“Ucapan ‘Jangan merasa benar sendiri!’ seharusnya diucapkan oleh seseorang yang telah melakukan penggalian dan pencarian suatu informasi, bukan oleh orang yang hanya duduk dan membaca sebuah susunan kata yang tak lebih dari lima baris.”

—Luz Lazarus

Konflik yang terjadi antara Israel dan bangsa Palestina sudah berlangsung cukup lama. Peperangan bukan hanya terjadi secara fisik, namun juga secara opini untuk memperebutkan posisi siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang menjadi protagonis dan siapa yang menjadi antagonis. Perang opini nampaknya dimenangkan oleh Palestina dengan berbagai dukungan dari media-media independen dan media-media milik kaum muslim. Namun hal ini tidak terjadi di Barat, terutama Amerika Serikat. Sebelum mengungkap kejahatan-kejahatan Israel, seharusnya ada pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab, yaitu “Apakah negara Israel memiliki hak untuk ada?”

Istilah Israel “right to exist” merupakan salah satu metode negara tersebut dalam memenangkan perang opini dengan bangsa Palestina. Right to exist menjadi eksklusivitas milik Israel dan menegasikan hak yang dimiliki bangsa Palestina. Padahal penggunaan istilah tersebut sebenarnya kuranglah tepat, karena sebuah bangsa tidaklah memiliki sebuah hak, namun manusialah yang memiliki hak. Manusia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination), dan diskusi mengenai right to exist-nya Israel selayaknya berangkat dari konsepsi tersebut.

Faktanya, bukan bangsa Arab yang menegasikan Israel. Sebaliknya, Israel-lah yang meniadakan bangsa Arab dan melanggar hak-haknya dengan memanfaatkan propaganda bahwa Israel right to exist. Hal ini mereka lakukan karena sejak awal Israel sadar, bahwa mereka sama sekali tak memiliki hak untuk ada.

Bermula pada tanggal 14 Mei 1948, tatkala kelompok Zionis secara sepihak dan dengan ilegal mendeklarasikan berdirinya sebuah negara Israel—dengan tanpa spesifikasi tapal batas wilayahnya. Pada saat itu, Zionis menyatakan bahwa bangsa Arab tidak lagi memiliki hak atas tanahnya, sehingga tanah Palestina menjadi milik bangsa Yahudi. Di saat yang sama, bangsa Arab Palestina dianggap sebagai warga kelas dua (second-class citizen) di “negara Yahudi baru” tersebut.

Menanggapi hal tersebut, bangsa Arab tidaklah berdiam diri. Di saat yang sama, negara-negara Arab menyatakan perang terhadap rezim Zionis untuk mencegah ketidakadilan yang menimpa mayoritas bangsa Palestina. Perang tersebut kemudian diberitakan oleh sebagian besar media sebagai serangan bangsa Arab terhadap negara Israel. Padahal sesungguhnya, aksi tersebut merupakan respon dari bangsa Arab untuk melindungi (acting of defense) hak-hak bangsanya, dan untuk mencegat tindakan Zionis yang secara ilegal mengambil tanah Arab.

Saat perang terjadi, Israel memberlakukan sebuah kebijakan ‘ethnic cleansing’. Hal ini menyebabkan ratusan ribu bangsa Arab Palestina terusir dari tanahnya, baik karena dipaksa untuk meninggalkannya maupun karena ketakutan akan pembantaian massal, seperti yang terjadi di perkampungan Deir Yasin. Saat peperangan telah usai, bangsa Palestina tidak diizinkan untuk kembali ke tanahnya, meskipun secara legal (hukum internasional) mereka mempunyai hak untuk kembali—right to return.

Bangsa Palestina tidak akan pernah bersedia untuk menyetujui permintaan dari Israel dan sekutu dekatnya, Amerika Serikat untuk mengakui bahwa “Israel right to exist”. Jika hal tersebut terjadi, justru semakin menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk mengambil tanah Arab, sementara bangsa Arab tidak memiliki hak terhadap tanahnya. Hal ini berarti Israel memiliki hak untuk melakukan pembantaian terhadap bangsa Arab Palestina, sementara bangsa Palestina tidak memiliki hak untuk memiliki kehidupan yang bebas dan sejahtera di tanahnya.

Terakhir, bangsa Palestina pada dasarnya bukanlah memerangi Yahudi, karena sudah sejak lama mereka hidup berdampingan di sana. Yang mereka perangi adalah “entitas politik zionis”, yaitu negara Israel yang dengan sewenang-wenang melakukan pembantaian dan merebut tanah Palestina. Wallahu a’lam.[]

Sumber :

Hammond, Jeremy R. 2016. The Israel-Palestine Conflict: A Collection of Essays. Worldview Publication.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *