Sejarah

Respon “Indonesia” Terhadap Runtuhnya Khilafah

Share the idea

Aneksasi Aceh Darussalam oleh kolonialis Belanda memicu kepedihan mendalam hingga Istanbul. Daulah Utsmaniyah berupaya sekuat tenaga untuk membantu satelitnya di kawasan Asia Timur tersebut meskipun di saat yang sama, Utsmani sedang dilanda krisis. Sultan Abdul Hamid II, yang dibaiat menjadi Khalifah pada tahun 1876 mengampanyekan Pan Islamisme atau persatuan Islam untuk membendung kolonialisme yang mengancam negeri-negeri muslim. Untuk wilayah Jawi, Sultan membuka kantor konsulat Utsmani di Singapura dan Batavia. Konsulat Utsmani secara ajek melaporkan kondisi Nusantara kepada Khalifah.

Konsul Utsmani di Batavia membantu semaksimal mungkin kaum muslimin di Hindia Timur, salah satunya dengan mem-back up Jamiatul Khaer, yaitu sebuah wadah pergerakan para ulama’ di Hindia Timur. Pada tahun 1903, Jamiatul Khaer mengadakan Muktamar Khilafah yang dihadiri oleh Muhammad Amin Bey, sebagai utusan dari Daulah Khilafah Utsmaniyah. Dalam muktamar tersebut, Muhammad Amin Bey di hadapan para ulama’ menyerukan bahwa wajib hukumnya kaum muslimin di Hindia Timur memerdekakan diri dari kolonialis Kristen Belanda. Inilah untuk pertama kalinya cita kemerdekaan berkumandang. Melihat bahaya yang ditimbulkan, pemerintah kolonial Belanda membubarkan Jamiatul Khaer dan menutup konsulat Utsmani di Batavia.

Pada 1914, Perang Dunia I melanda Eropa. Kerajaan Belanda memilih netral namun merasakan bahaya dari dampak PD I. Pada November 1914, Khilafah Utsmani memasuki kancah perang dengan bersekutu pada Jerman dan Austro-Hongaria. Sultan Muhammad V melalui Syaikhul Islam mengeluarkan seruan jihad akbar bagi seluruh kaum muslimin untuk melawan kekuatan Barat.

Seruan ini selain untuk memobilisasi kaum muslimin di Anatolia dan Timur Tengah juga ditujukan untuk kaum muslimin di Afrika Utara yang diduduki Prancis, di Mesir, India dan Malaya yang berada di bawah Inggris, serta Kaukasus yang berada pada pendudukan Russia. Namun seruan ini juga memanaskan kaum muslimin di Hindia Timur yang berada di bawah Belanda. Dalam pandangan kaum muslimin di Hindia Timur, Turki Utsmani adalah satu-satunya pemimpin dan pembela kaum muslimin seluruh dunia. Turki Utsmani adalah satu-satunya negeri kaum muslimin yang tidak terjajah bahkan mampu mengancam bangsa Eropa.

Berita mengenai Perang Dunia I dengan cepat dapat terdengar oleh kaum muslimin Hindia Timur. Belanda sebisa mungkin menutup seruan jihad Utsmani hingga melarang keberangkatan ibadah haji selama PD I, karena takut munculnya perlawanan yang dipicu oleh seruan jihad. Di dalam negeri, Belanda juga mulai direpotkan oleh Syarikat Islam yang dimotori oleh HOS Tjokroaminoto yang menyerukan kemerdekaan dari Belanda.

Kabar kekalahan Utsmani-Jerman-Hongaria jelas memicu keresahan pada kaum muslimin di Hindia Timur. Para ulama’ dan tokoh-tokoh umat mulai menkaji akibat terburuk dari kekalahan Turki Utsmani dalam kancah PD I. Puncaknya adalah pada 3 Maret 1924, ketika Majelis Tinggi Turki mengeluarkan dekrit pembubaran institusi Khilafah dan pengusiran Sultan Abdul Majid II beserta para keluarga Utsman dari Turki. Mustafa Kamal sebagai pimpinan Majelis Tinggi Turki mengubah Turki menjadi Republik. Kabar ini sampai ke Hindia Timur keesokan harinya dan menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Pada 4–5 Oktober 1924, bertempat di MI Tarbiyatul Aitam Genteng, Surabaya, para ulama berkumpul untuk membicarakan undangan Kongres Khilafah yang segera akan diadakan oleh Al-Azhar di Kairo.

Kaum muslimin menyambut gembira kabar ini dan berharap Daulah Khilafah bisa segera tegak kembali. Muktamar Khilafah diadakan di berbagai tempat dengan tujuan untuk mendukung undangan ini serta menggalang dana untuk membiayai para wakil-wakil dari Hindia Timur. Muslim Hindia Timur membentuk Komite Khilafah dan menyerahkan rekomendasi-rekomendasi terkait konsep Kekhilafahan yang hendak dibangun kembali. Namun, Kongres Al-Azhar tidak pernah terwujud karena kuatnya pengaruh Inggris di Mesir. Deklarasi Khilafah Syarif Hussein bin Ali di Makkah tidak mendapat tanggapan dari kaum muslimin, dikarenakan sepak terjang beliau selama PD I yang menusuk Daulah Utsmaniyyah dari belakang dan mendukung invasi Inggris di Jazirah Arab.

Perkembangan politik di Timur Tengah dengan sangat cepat berubah pasca Perang Dunia I. Segera setelah komandan Turki terakhir (Fahri Pasha) terusir dari Madinah (pada 1919), tak lama kemudian seluruh Jazirah Arab jatuh ke tangan pasukan Syarif Hussein. Namun, setahun kemudian Syarif Hussein kehilangan sebagian besar kekuasaannya, kecuali wilayah Jordania yang hingga sekarang dipegang oleh keturunan Abdullah bin Hussein. Kekuasaan Syarif Hussein di Hijaz pada 1923 jatuh oleh kekuatan Abdul Aziz bin Saud dari Nejd. Ibnu Saud yang bermazhab Hanbali mendeklarasikan Kerajaan Saudi Arabia yang berdasarkan mazhab Hanbali.

Pada 1925, Ibnu Saud mengundang kaum muslimin untuk mengikuti Kongres Al-Islam yang akan diadakan di Makkah. Undangan ini mengundang perpecahan pada tubuh kaum muslimin di Hindia Timur. Kaum pembaharu yang dimotori SI dan Muhammadiyyah cenderung pada Ibnu Saud, sedangkan kaum tradisional melihat gerakan Ibnu Saud yang menutup kajian-kajian Mazhab di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta memaksakan mazhabnya sebagai sebuah ancaman bagi persatuan Islam.

Maka kaum tradisional mengirimkan utusan tersendiri untuk melobi Ibnu Saud agar membuka kembali kajian-kajian Islam dan memberikan kebebasan bermazhab di Tanah Suci. Utusan yang dikenal sebagai Komite Merembuk Hijaz” tersebut merupakan embrio dari organisasi massa Islam terbesar Indonesia, Nahdlatul Ulama’.

Kaum muslimin, khususnya yang berada jauh dari wilayah Timur Tengah seperti Hindia Timur kembali menelan kekecewaan. Kongres Al-Islam yang diadakan oleh Ibnu Saud sama sekali tidak membahas masalah Khilafah dan hanya fokus untuk mencari legitimasi kaum muslimin atas tindakannya di kawasan Tanah Suci. Kaum muslimin di Hindia Timur pada akhirnya fokus pada perjuangan masing-masing.

Pemerintah kolonial Belanda semakin meningkatkan tekanannya pada gerakan Islam yang ditengarai membawa misi kemerdekaan. SI diinfiltrasi oleh gerakan komunis sedangkan Muhammadiyah dan NU menghadapi ancaman UU Pendidikan yang mengancam lembaga pendidikan Islam yang mereka bina. Di sisi lain, angin pergerakan di Hindia Timur lebih berfokus pada upaya memerdekakan diri dari Belanda. Di sisi lain, keadaan Eropa kembali memanas. []

Sumber:

A. C. S. Peacock, dkk. 2015. From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia (Proceeding of the British Academy).

British Academy Publication: London.

Ahmad Mansur Suryanegara. 2009. Api Sejarah jilid 1-2. Salamadani Pustaka Semesta: Jakarta.

A. H. Nasution. 2013. Pokok-Pokok Gerilya. Narasi: Yogyakarta.

Azyumardi Azra. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Kencana: Jakarta.

Beggy Rizkiansyah, dkk. 2017. Dari Kata Menjadi Senjata. Jurnalis Islam Bersatu: Jakarta.

Editor Kompas. 2018. Kita Hari Ini 20 Tahun yang Lalu. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

Eugene Rogan. 2016. The Fall of Khilafah. Serambi: Jakarta.

Eugene Rogan. 2017. Dari Puncak Khilafah. Serambi: Jakarta.

Frial Ramadhan Supratman. Makalah, “Rafet Bey, The Last Ottoman Consul in Batavia The First During World War 1911-1924”.

Frial Ramadhan Supratman. Makalah, “Makam Sayyid Husein bin Abu Bakar al-Aydarus: Jaringan Spiritual Usmani di Indonesia akhir abad ke-19.”

Frial Ramadhan Supratman. Makalah, “Before the Ethical Policy: The Ottoman State, Pan-Islamism and Modernisation in Indonesia 1898-1901.”

Madawi Al Rasheed, dkk. 2012. Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts. Oxford University Press: Oxford.

Majalah Tempo (edisi khusus) H. Agus Salim.

Majalah Tempo (edisi khusus) Panglima Sudirman.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Islam di Indonesia.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Menjadi Muslim Di Amerika.

M. C. Ricklefs. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Serambi: Jakarta.

M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Serambi: Jakarta.

M. C. Ricklefs. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1742 – 1749: Sejarah Pembagian Jawa. Mata Bangsa: Yogyakarta.

Moeflich Hasbullah. 2017. Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara. Kencana: Jakarta.

MR Kurnia, dkk. 2013. Menjadi Pemikir dan Politisi Islam. Al Azhar Press: Bogor

Peter Carey. 2011. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785 –

1855. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

Reza Pankhurst. 2013. The Inevitable Caliphate?: The History of The Struggle for Global Islamic Union, 1924 to the present. Oxford University Press: Oxford.

Rizki Lesus. 2017. Perjuangan yang Dilupakan. Pro-U Media: Yogyakarta.

Septian AW. 2013. Peran Surat Kabar Bendera Islam Dalam Perjuangan Khilafah 1924 [Skripsi]. Universitas Indonesia: Depok.

Taqiyuddin An Nabhani. 2009. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir. HTI Press: Jakarta.

Taqiyuddin An Nabhani. 2009. Mafahim Hizbut Tahrir. HTI Press: Jakarta.

Taqiyuddin An Nabhani. 2009. Pembentukan Partai Politik Islam. HTI Press: Jakarta.

Taqiyuddin An Nabhani. 2014. Terjun ke Masyarakat. Khilafah Press: Jakarta

Widji Saksono. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Mizan: Bandung.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *