Kepanikan Eropa ketika Aceh Meminta Bantuan Khilafah
“Hamba yang taat ini akan menurut apapun yang Sri Baginda titahkan karena rakyat hamba yang beriman yang sudah 25 tahun ditindas oleh kekerasan Belanda yang lalim”
Surat Sultan Aceh ‘Alauddin Muhammad Dawud Syah kepada Sultan Abdul Hamid II pada 1898.
Khilafah ‘Utsmaniyyah seringkali disebut sebagai“tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya.” Walau kenyataannya, pada kasus Aceh, Jambi, dan beberapa penguasa Muslim lain di Melayu yang selalu mengirim surat permohonan bantuan kepada Khilafah, bantuan secara resmi yang diinginkan hampir tidak pernah tersampaikan. Karena toh Konstantinopel sebagai pusat Khilafah sudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan Barat. Namun tetap saja, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalifah turun tangan untuk menyelesaikannya.
Salah Satunya adalah kesultanan Aceh. Belanda seringkali memanas-manasi beberapa penguasa Sumatera yang berada dalam protektorat Kesultanan Aceh untuk memberontak dan mengalihkan loyalitasnya kepada Belanda. Bahkan serdadu-serdadu Belanda mulai ditempatkan di Pariaman, Barus, Tapanuli, Natal, Airbangis, Singkel, hingga terjadi pertumpahan darah. Kekurang-ajaran Belanda membuat Aceh naik pitam.
Aceh segera melakukan berbagai langkah preventif untuk mencegah kerakusan Belanda, seperti mempergalak patroli di semua perairan sebelah Timur dan Barat Sumatera, mendirikan benteng-benteng di daerah pesisir, juga mencari dukungan dari luar negeri. Sultan ‘Alauddin Ibrahim Manshur Syah (k. 1841-1870) tentu tidak melihat penguasa yang lebih tinggi kedudukannya dari dia kecuali Khalifah ‘Utsmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Maka Sultan Ibrahim Manshur Syah segera mengirim surat kepada Khalifah yang saat itu dijabat oleh Sultan Abdülmecid I.
Sultan Ibrahim Aceh mengirim dua surat kepada Khalifah secara berturut-turut. Yang pertama dikirim pada tahun 1849 dan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu, sedangkan yang kedua dikirim setahun kemudian yang ditulis dalam bahasa Arab fushha serta dilampirkan juga sebuah peta kepulauan dan jazirah Melayu, dan sebagian dataran India. Setelah pembukaan berisikan doa dan pujian dalam surat yang dikirim tahun 1850, Sultan Ibrahim menulis,
Saya istimewakan dengan semua itu Hadarat Sultan yang agung dan Khaqan yang besar; Pewaris Khilafah, Kesultanan dan Kerajaan; Sultan orang-orang Arab, ‘Ajam dan Turki; Pembela panji-panji keagamaan; Penghancur orang-orang yang bersikap keras kepala terhadap Agama Muhammad; Pembela Iman dan Islam; Pembentang hamparan kedamaian dan keamanan, Hadarat yang Berbahagia Tuan kami Sultan ‘Abdul Majid Khan; semoga Allah mengekalkan kerajaan dan kesultanannya, menjadikan segenap penjuru dunia sebagai kerajaan dan wilayahnya, dan semoga senantiasa panji keadilannya yang bertebaran kekal abadi sampai dengan hari dibangkitkan, amin.
Dalam surat ini, Sultan Ibrahim Aceh menjelaskan kepada Sultan Abdülmecid I bahwa “sesungguhnya kami seluruh penduduk Negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk Pulau Sumatera tergolong ke dalam rakyat Daulah ‘Aliyyah ‘Utsmaniyyah, dari generasi ke generasi semenjak Tuan kami al-Marhum Sultan Salim Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Sulaiman Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Salim Abu al-Futuh Khan (Abu al-Futuh: bapak pembebasan)”. Yang dimaksud Sultan Ibrahim Aceh sebagai Sultan Salim yang pertama disebutnya adalah Sultan Selim II (k. 1566-1574) , putra Sultan Süleyman al-Qanuni. Memang, hubungan resmi antara Kesultanan Aceh dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah pertama kali terjalin di masa Selim II, sedang sultan Aceh yang menyatakan ketundukan kepada Selim II sebagai Khalifah adalah Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (k. 1537-1571)
Ketika ancaman Belanda makin mengganas di tahun-tahun sebelum meletusnya Perang Aceh pada 1873, sekali lagi Kesultanan Aceh mengutus utusan untuk menemui Khalifah di Konstantinopel. Seorang Arab Hadhrami, Sayyid Habib Abdurrahman al-Zahir, dipercaya oleh Sultan Aceh untuk meminta bantuan kepada Khalifah dan dikuatkan lagi dengan petisi dari 65 pemuka-pemuka nanggore Aceh. Desember 1868, petisi tersebut disampaikan kepada Khalifah Utsmani yang baru, Sultan Abdulaziz. Namun sayang, semenjak masa Abdülmecid I, Khilafah Utsmani memberlakukan sistem Tanzimat (reformasi), dimana kekuasaan Khalifah tidak lagi bersifat mutlak karena harus berbagi dengan Dewan Kementrian (Majlis-i Vukela) yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (Sadrazam). Akhirnya figur Khalifah menjadi hanya sekedar simbolis kepala negara, sementara kekuasaan sesungguhnya ada pada sosok Sadrazam, layaknya model negara monarki konstitusional. Sadrazam saat itu keberatan dengan petisi yang dibawa oleh Abdurrahman al-Zahir, karena saat itu hubungan Khilafah dengan Belanda sedang hangat, dan petisi orang-orang Aceh itu akan merusak hubungan baik antara kedua negara.
Namun begitu, kehadiran Abdurrahman al-Zahir di Konstantinopel menarik perhatian pers di sana. Mayoritas pers di sana seperti al-Jawa’ib yang berbahasa Arab, Basiret yang berbahasa Turki, dan La Turquie yang terbit baik di Prancis maupun di Turki mendukung tujuan Abdurrahman al-Zahir tentang urgensi Khilafah membantu Aceh. Tatkala Basiret pada tanggal 9 Juli 1873 menulis artikel yang memberitakan bahwa Khilafah akan mengirim delapan kapal perang ke Sumatera, para duta besar Eropa yang berada di Konstantinopel panik dan segera mendatangi kantor Sadrazam untuk mengklarifikasi berita itu. Sadrazam menilai bahwa itu adalah berita yang mengada-ada, dan kemudian menindak Basiret dengan men-banned-nya selama lima hari. Namun begitu, berita palsu tersebut dikutip oleh agen berita Reuters dan sampai ke Penang. Seorang Aceh yang berada di Penang pun menyampaikan berita tersebut kepada khalayak Aceh sehingga menghebohkan seluruh nanggore.
Negara-negara Barat seperti Inggris, Belanda, Rusia, Austria, Prancis, Jerman, dan Italia senantiasa berusaha menghasut Majlis-i Vukela melalui Menteri Luar Negeri-nya Safvet Pasha, dan dilanjutkan nantinya oleh Rashed Pasha untuk tidak menolong Aceh. Inggris berusaha meyakinkan mereka bahwa permasalahan Aceh bukanlah permasalahan agama; ini hanyalah sengketa politik biasa antara pihak Belanda dengan Aceh, dan Khilafah tak sepatutnya mencampuri urusan orang lain. Alasan-alasan absurd itu dipercaya begitu saja oleh Kementrian Luar Negeri Khilafah di bawah pimpinan Safvet Pasha dan Rashed Pasha.
Pada akhirnya, jawaban Khilafah ‘Utsmaniyyah di masa Sultan Abdulaziz terhadap permintaan Aceh hanya sebatas penghargaan tanpa memenuhi permintaan yang substansial. Namun begitu, menurut sumber dari Barat diketahui ada beberapa orang dari Khilafah Utsmaniyah yang secara diam-diam pergi ke Aceh, membantu kaum Muslim di sana berjuang melawan Belanda. Kemudian pada tahun 1876, di Singapura ada laporan bahwasanya dua orang ahli senjata dari Khilafah sedang dalam perjalanan menuju Aceh.[]
Sumber:
Anthony Reid, Pan-Islamisme Abad XIX di Indonesia dan Malaysia dalam Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan Tentang Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2003.
Başbakanlık Osmanlı Arşivi (Arsip Perdana Menteri Utsmani), Istanbul, İ.HR. 73/23511; disajikan oleh Dr. İsmail Hakkı Kadı, Dr. Annabel Teh Gallop and Dr. Andrew Peacock dalam Islam, Trade, and Politics Across The Indian Ocean. (London: The British Academy, 2009).
Eugene Rogan. Dari Puncak Khilafah. Jakarta: Serambi, 2017.
İsmail Hakkı Göksoy, Ottoman-Aceh Relations as Documented in Turkish Sources dalam Mapping The Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011).
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013).