Mungkinkah Masyarakat Komunis yang Tanpa Kelas Bisa Terwujud?
Penulis: Muhammad Fatkhurrozi
Karl Marx mencita-citakan masyarakat dimana tidak ada penguasaan alat produksi oleh segelintir manusia. Baginya, model masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak ada perampasan hasil kerja oleh satu kelompok dengan kelompok lain. Masyarakat seperti ini akan ‘mendekatkan’ manusia dengan hasil kerjanya, bukan alienasi manusia dari hasil kerjanya. Inilah kira-kira landasan bagi tegaknya masyarakat yang tanpa kelas itu.
Namun, cita-cita itu tak pernah terwujud. Uni Soviet yang harus runtuh dan kalah bersaing dengan kapitalisme, pun menyebut dirinya sebagai “negara sosialis”, bukan negara komunis yang benar-benar tanpa kelas di dalamnya. Apa yang sebenarnya terjadi hanyalah kelas pengganti kelas borjuis, yakni negara yang diwakili oleh partai komunis. Negara menjadi kelas penindas yang tidak kalah kejamnya dibanding kelas kapitalis. Kepemilikan bersama atas alat-alat produksi juga tidak pernah ada. Dibayangkan pun sulit.
Sebaliknya, kapitalisme ‘menawarkan’ suatu model hidup yang tidak jelimet dan lebih pas dengan ‘fitrah’ manusia. Sekelompok manusia dengan modalnya, sedangkan kelompok yang lain dengan keringatnya. Fitrah bahwa setiap manusia ingin memiliki sesuatu dan berkompetisi satu sama lain. Setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang sudah dia usahakan.
Menurut kapitalisme, ketidaksetaraan adalah sebuah kebajikan yang mengkatalisasi pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya akan ikut memperkaya si miskin (trickle down effect). Segala bentuk usaha untuk membuat masyarakat semakin setara adalah kontraproduktif dan ‘merusak moral’.
Namun, kapitalisme tetaplah sebuah produk manusia. Sistem tersebut telah melahirkan berbagai macam kerusakan sosial maupun lingkungan. Kesenjangan ekonomi justru menimbulkan konflik sosial yang berujung huru-hara. Produksi membabi buta telah merusak lingkungan sedemikian parah. Kapitalisme beserta demokrasi liberal kini diragukan sebagai model hidup yang paling akhir bertahan.
Model bermasyarakat terbaik tidak semata-mata ditentukan oleh keunggulannya dalam pentas sejarah. Kapitalisme bukan bagus karena dia masih bercokol hingga hari ini. Uni Soviet dengan sosialismenya juga bukan berarti bahwa sosialisme adalah alternatif terbaik dari kapitalisme. Riwayat kerusakan kapitalisme dan sosialisme juga bukan dalil utama untuk mencampakkan sistem-sistem tersebut. Sejarah bukanlah sumber hukum.
Dalam kitabnya yang berjudul “Nidhom al-Islam”, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan, “Perlu diperhatikan juga bahwa sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sumber rujukan bagi peraturan dan fiqih. Peraturan hanya diambil dari sumber-sumber fiqih, bukan dari sejarah, sebab sejarah bukanlah sumber fiqih.”
Melihat konteks historis peda era Karl Marx membangun idenya, kita dapat melihat bahwa dunia ketika itu sedang berada di bawah cengkraman kapitalisme. Sebuah sistem yang bersifat ekstraktif yang begitu menindas hak-hak buruh yang dipadu dengan sistem politik sekuler yang meminggirkan peran agama. Sebagai sebuah peraturan hidup produk manusia, kapitalisme jelas tidak menawarkan solusi hakiki. Kritik demi kritik terus bermunculan. Kapitalisme pun juga mengalami ‘revisi’ yang tidak berkesudahan, bahkan hingga kini.
Islam telah memiliki seperangkat aturan yang berlaku sepanjang zaman. Seperangkat aturan tersebut dinilai unggul hanya karena ia adalah wahyu dari Sang Pencipta alam semesta dan manusia.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” [TQS Al Maidah: 50]
Islam memiliki metode yang khas dalam mengonstruksi aturan kehidupan. Masyarakat yang bagus, menurut Islam bukanlah soal di dalamnya terdapat kelas maupun tidak. Juga bukan soal alienasi manusia terhadap hasil kerjanya. Tetapi masyarakat terbaik adalah masyarakat yang diatur dengan cara Islam, karena demikianlah hakikat tujuan hidup manusia. “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Q.S adz-Dzaariyaat: 56).
Era Nabi memang jauh berbeda dengan zaman Marx. Relasi produksi ala kapitalisme jelas tidak ditemui di zaman Nabi. Namun, Islam telah menggelari dirinya sebagai aturan sepanjang zaman yang sesuai kebutuhan jasmani dan naluri manusia. Islam hadir dalam bentuk-bentuk umum yang hukum-hukum rincinya digali dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Untuk menyelesaikan hal-hal baru (sains, teknologi, dll) dibutuhkan ijtihad para ilmuwan dan ahli fiqih. Maka, jamaklah kita bahwa pengambilan sumber hukum dalam Islam dilakukan melalui 4 sumber: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
Rasul mengajarkan agar tidak terjadi pendzaliman antara sang majikan dengan pekerja. Sejak zaman Nabi, para pemilik budak diperintahkan untuk berbuat baik.
Rasul bersabda, “Barangsiapa yang menampar budaknya atau memukulnya tanpa tujuan memberi pelajaran dan pendidikan, maka dendanya adalah memerdekakan budak tersebut.”
Sedangkan Ekonomi Islam tidak hanya soal zakat. Islam juga mengatur kepemilikan. Dalam Islam, kepemilikian individu adalah fitrah yang juga diakui. Setiap orang dipersilakan bekerja, berkebun, berburu, bermuamalah, ber-syirkah, serta mengembangkan modal sebesar-besarnya. Hasil dari semua itu adalah kepemilikan individu yang sah menurut Islam, disamping hadiah dan waris. Jika seseorang melanggarnya (mencuri, merampok, dll), maka dia digolongkan telah berbuat dzalim kepada sesama dan layak dijatuhi hukuman.
Selain kepemilikan individu (al-milikiyyah al-fardiyyah), Islam juga mengakui kepemilikan negara (milikiyyah al-dawlah), dan kepemilikian rakyat (al-milikiyyah al-ammah).
Kepemilikan negara ialah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khilafah, seperti, harta fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Sedangkan kepemilikian rakyat, ia termasuk barang-barang berikut:
1) Fasilitas umum (apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Jika barang tersebut tidak ada di tengah masyarakat akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mendapatkannya). Misalnya dalam hadits: “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud);
2) Bahan tambang yang sifatnya tidak terbatas.
3) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu, misalnya air, jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Pembagian kepemilikan dalam Islam inilah yang dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya, “Sistem Ekonomi Islam”.
Dalam hubungan antara “pemilik modal” dengan “buruh”, Islam jelas punya perspektif tersendiri yang jauh dari sifat penindasan satu sama lain. Dalam Islam, hubungan kerja antara buruh dan majikan (ijarah), hanya berjalan jika terdapat kesepakatan. Terlebih lagi, dalam konsep syirkah mudhorobah (kerjasama antara pemilik modal dengan pekerja), baik pemilik modal (shahibul maal) maupun pekerja (mudhorib) sudah punya pengorbanan dan risiko masing-masing.
Pemilik modal berkorban harta sedangkan mudhorib berkorban ‘keringat’. Pemilik modal punya risiko gagal bisnis, dimana dia akan kehilangan modalnya. Sedangkan mudhorib, ketika bisnis gagal, dia tidak kehilangan modal. Tapi cukup hasil jerih payahnya saja yang tidak terbayar. Hal ini senafas dengan kritik Eugen Böhm von Bawerk (pakar ekonomi Austria) terhadap Marx.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang unik, yang tidak menyandarkan baik-buruk, bangkit-terjajah, mulia-hinanya pada perspektif manusia. Mulia tidaknya suatu masyarakat atau individu di dalam suatu masyarakat hanya dinilai dari ketaqwaannya (QS Al Hujurat 13).
Si kaya yang tidak menggunakan hartanya untuk amal salih maka hartanya akan mengantarkannya pada kesulitan di Hari Akhir. Sedangkan si miskin diwanti-wanti bahwa dia dekat pada kekufuran. Sebaliknya, pedagang jujur (termasuk orang kaya) akan dijanjikan bersama Nabi di Hari Kiamat. Orang kaya juga berpeluang melakukan banyak amal salih yang ganjarannya luar biasa besarnya (naik haji, membiayai jihad, dsb). Sedangkan si miskin akan dipermudah hisabnya kelak di hari akhir sehingga masuk surga lebih dulu daripada orang kaya.
Menjadi kaya atau miskin bagi muslim hanyalah soal qadha’-Nya. Yang pasti, seorang muslim haruslah mengusahakan amal salih yang terbaik untuk mendapat predikat mulia melalui ketaqwaannya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa Islam memang bukan kapitalis dan bukan sosialis. Islam adalah seperangkat aturan yang unik yang dibangun dari sebuah cara berpikir yang islami. Hubungan antara majikan dengan buruh telah diatur sedemikian rupa dengan adilnya. Landasan moral dalam Islam hanya disandarkan pada halal dan haram sesuai syariat-Nya, yang mana manusia tidak sampai akal untuk menjangkaunya. Kita hanya diperintah untuk sami’na wa atho’na.
Islam telah memberi goal yang jelas bagi sebuah peradaban. Suatu peradaban tidak sekedar bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi manusia-manusianya. Peradaban tersebut juga tidak bicara soal bagaimana menghilangkan alienasi manusia dari hasil kerjanya. Tapi lebih dari itu, peradaban tersebut memiliki visi besar yang mulia, yakni mengusahakan dakwah Islam untuk seluruh alam, yang tidak ada sekat-sekat kelas dalam mewujudkannya. Karena Islam bukanlah rahmat bagi muslim saja, tapi untuk semua.[]
Sumber:
Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat (edisi revisi). Mizan: Bandung.
Prof. Miriam Budiardjo. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Cetakan ke-6). Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2001. Peraturan Hidup Dalam Islam (Cetakan ke-6). HTI Press: Jakarta.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2015. Sistem Ekonomi Islam (Cetakan ke-3). HTI Press: Jakarta.