BudayaEkonomiPolitik

Mengapa Indonesia Diam Atas Penderitaan Muslim Uighur?

Share the idea

“Diamnya Presiden Jokowi jelas menciderai komitmennya terhadap perjuangan umat Islam yang sering beliau dengungkan. Dan lebih jauh, diamnya pemerintah Indonesia terkait isu tersebut jelas telah mengkhianati dasar negara yang selama ini mereka deklarasikan sebagai guardian-nya. Mereka kerap kali mengklaim bahwa pihaknya yang paling ‘Pancasilais’, namun fakta menunjukkan mereka tidak mengejawantahkan amanat dari butir Pancasila yang berbunyi, ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab'”

Muhammad Iskandar Syah

Berbicara tentang diamnya Indonesia terhadap isu Muslim Uighur, berarti berbicara tantang politik luar negeri bangsa ini. Saat kita berdiskusi mengenai politik luar negeri, maka secara teori akan begitu rumit untuk menjabarkan ‘keputusan’ dari suatu negara – diamnya Indonesia merupakan suatu keputusan, yakni keputusan untuk bersikap ‘diam’ – terhadap suatu peristiwa dalam ruang internasional.

Jika kita mengacu pada level analisis (level of analysis) sebagai dasar untuk mengetahui latar belakang keluarnya keputusan tersebut, maka Alex Mintz yang merupakan ilmuan Politik Internasional dari IDC-Herzliya, Israel bersama koleganya Karl DeRouen Jr. dari University of Alabama dalam bukunya yang bertajuk “Understanding Foreign Policy Decision Making (2010)”, menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan analisis untuk menjelaskan politik luar negeri dari suatu negara.

Level pertama berbicara tentang pendekatan “individu”. Pada level ini suatu kebijakan luar negeri dari sebuah negara dilihat dari pendekatan ‘perseorangan’, atau dalam konteks ini pemimpin tertinggi dari suatu negara. Level kedua ialah level “kelompok”. Seperti yang diungkapkan oleh Zeev Maoz dalam karyanya yang bertajuk “Framing the National Interest:The Manipulation of Foreign Policy Decision in Group Settings (1990)”, banyak kebijakan luar negeri suatu negara dibuat oleh sekelompok orang, bukan oleh satu orang. Maka dalam pendekatan level kelompok ini, kebijakan luar negeri suatu negara dibuat oleh sekumpulan individu yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemerintahan dalam suatu negara.

Level terakhir ialah level koalisi. Level ini tidak menghendaki seorang individu pun untuk bersikap unilateral dalam politik luar negeri dari suatu negara. Artinya, politik luar negeri dari suatu negara didisain oleh kelompok koalisi dari pemerintahan resmi negara tersebut.

Jika cara memahami politik luar negeri Indonesia terhadap isu Muslim Uighur mengacu pada metode seperti yang disebutkan di atas, maka perlu kajian yang begitu mendalam dan tentunya harus menghimpun berbagai fakta yang mumpuni. Namun saat ini, dengan minimnya sumber data dan tertutupnya pemerintahan, maka akan mustahil bisa menguraikan sesuai dengan salah satu dari tiga tingkatan tersebut. Maka terkadang baik para ahli maupun masyarakat biasa untuk melihat alasan dari keluarnya kebijakan luar negeri suatu negara mereka hanya bertumpu pada sumber-sumber data kasat mata. Karena hal ini dianggap cepat dan terkadang interpretasinya mendekati kebenaran.

INTERPRETASI DATA KASAT MATA: FAKTOR EKONOMI

Beberapa pihak di Indonesia menyimpulkan bahwa diamnya Indonesia terkait yang apa yang menimpa Muslim Uighur disebabkan karena lemahnya negara ini terhadap Tiongkok yang merupakan salah satu negara kreditor bagi bangsa ini. Mereka (sebagian masyarakat Indonesia) menarik kesimpulan akan hal tersebut tentu saja melihat kenyataan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi begitu mesra dengan Tiongkok.

Hal tersebut juga didukung oleh pendapat dari seorang anggota Tahrir Institute for Middle East Policy, sebuah lembaga think thank yang berbasis di Washington, Hassan Hassan. Dikutip dari Bloomberg (30/08) Hassan mengatakan, “Tiongkok umumnya berteman baik dengan banyak negara Muslim, dan sebagian besar terkait dengan perdagangan“. Omer Kanat, merupakan seorang pemimpin komite eksekutif dari World Uyghur Congress – sebuah kelompok advokasi komunitas Uighur di luar negeri, memaparkan bahwa negara-negara Muslim tidak ingin mengambil resiko akan memburuknya hubungan dengan Tiongkok yang merupakan aliansi potensial yang bertentangan dengan Amerika Serikat dan Barat, maka dari itu, menurut Kanat, negara-negara Muslim memilih diam.

Senada dengan narasi di atas, Michael Clarke seorang ahli tentang kebijakan pemerintah Tiongkok dari Australia National University mengungkapkan kepada ABC News (23/12) bahwa kekuatan ekonomi Tiongkok dan ketakutan akan pembalasan dendam Tiongkok merupakan beberapa faktor terbesar yang mendorong diamnya negara-negara Muslim. Menurut Enterprise Institute (lembaga think thank Amerika), nilai investasi Tiongkok di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (wilayah mayoritas Muslim) dari 2005 hingga 2018 mencapai angka $144,8 miliyar. Tidak jauh beda dengan nilai investasi Tiongkok di dua negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia yang mencapai angka $121,6 miliar.

Nithin Coca dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam laman Foreign Policy dengan tajuk “Islamic Leaders Have Nothing to Say About China’s Internment Camps for Muslim” juga berpendapat demikian. Ia mengungkapkan bahwa Tiongkok telah menjadi partner utama perdagangan negara-negara Muslim. Banyak dari negara-negara Muslim juga tergabung dalam mega proyek One Belt One Road atau dikenal juga dengan nama The Belt and Road Initiative (BRI), yakni sebuah strategi pembangunan ekonomi yang diambil oleh pemerintah Tiongkok yang melibatkan beberapa negara lintas benua untuk membangun jalur sutra laut (maritime silk road) – infrastruktur laut.

LANTAS, MENGAPA INDONESIA DIAM ?

Selain faktor ekonomi, diamnya Indonesia terhadap isu yang terjadi di Uighur menurut pandangan penulis ialah faktor bahwa pada dasarnya negara kita bernafsu untuk “melakukan hal yang sama”. Kata “melakukan hal yang sama” sengaja penulis beri tanda petik supaya tidak diartikan secara literal. Pada dasarnya tabiat dari sebuah apa yang kita kenal sebagai negara ialah “terjaganya keutuhan dan kesatuan” dari berbagai elemen di dalam negara untuk menopang eksistensi dari negara itu sendiri.

Tiongkok yang juga merupakan sebuah negara menginginkan tercipta suatu kondisi di mana masyarakatnya memiliki satu identitas dan satu ‘jiwa’, yakni identitas dan jiwa Tiongkok. Menurut dokumen resmi pemerintah Tiongkok yang dikutip dari tulisan Alexia F. Campbell yang dipublikasikan di laman Vox News (25/10/2018), menyatakan bahwa mereka (pemerintahan Tiongkok) membangun kemp bagi sebagian Muslim Uighur untuk tujuan “membuat warga negara Tiongkok yang lebih baik”, yakni warga negara Tiongkok yang seutuhnya. Kemp re-edukasi tersebut merupakan upaya pemerintah Tiongkok untuk menghancurkan garis silsila, akar, koneksi, dan asal-usul mereka – komunitas Uighur.  

Muslim Uighur diketahui sulit untuk berintegrasi dengan Tiongkok, ditambah lagi sentimen anti-Islam di sana semakin meningkat sejak kampanye perang global Amerika terhadap terorisme yang jelas menyudutkan Islam. Menurut Anna Lipscomb dalam sebuah tulisan yang dimuat US-China Today dengan judul “Culture Clash: Ethnic Unrest In Xinjiang“, menyebutkan bahwa pasca AS resmi menggaungkan kampanye perang global terhadap terorisme, pemerintah Tiongkok seakan memiliki jastifikasi untuk ‘ikut serta’ dalam perang tersebut (war on terrorism) dengan menganggap muslim Uighur sebagai teroris. Munculnya ISIS dan meningginya sentimin Islamopobia di seluruh dunia membuat tensi di sana (Xinjiang) ikut memanas. Dan hingga saat ini, pemerintah Tiongkok menganggap bahwa kelompok Muslim Uighur di wilayah Xinjiang tidak bisa untuk berintegrasi dengan negara Komunis China, maka dari itu pemerintah China membuat kemp re-edukasi bagi mereka yang sulit untuk berintegrasi dengan China.

Kesulitan Muslim di sana untuk berintegrasi dengan Tiongkok secara socio-cultural jelas disebabkan karena “perbedaan nilai” yang dianut oleh Muslim dengan apa yang dianut oleh pemerintah Tiongkok. Perbedaan tersebut di mata pemerintah Tiongkok jelas mengganggu keutuhan dan persatuan negaranya. Maka dari itu, pendidikan/doktrinasi atau propaganda akan nilai-nilai yang dianut pemerintah tidak bisa tidak, mesti dilakukan terhadap mereka yang tidak “sepaham”. Dan kemp re-edukasi tersebut adalah jawabannya.

Hal itu di mata penulis merupakan tabiat dari seluruh pemerintahan di suatu negara. Hanya ‘caranya’ saja yang mungkin berbeda-beda. Ada yang secara halus atau bahkan brutal seperti yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok.

Tak terkecuali bagi Indonesia, negara yang dikenal sebagai negara multietnis dan budaya ini juga pada dasarnya menghendaki penyatuan terhadap nilai yang negara anut. Buktinya mereka (pemerintah Indonesia) melakukan penyortiran terhadap ajaran Islam. Bagi kelompok yang memahami Islam secara utuh (holistik) mereka sebuat sebagai “fundamentalis” atau radikal. Sedangkan bagi kelompok yang tidak terlalu ketat mereka juluki “moderat”. Fundamentalis dan moderat pada dasarnya adalah sebuah perbedaan, dan jika negara menghargai apa itu perbedaan seharusnya mereka tidak menegasikan salah satu pihak dari kedua pihak tersebut. Namun nyatanya justru sebaliknya, kelompok fundamentalis selalu mereka negasikan dan sisihkan (pahami kata fundamentalis secara jernih, bukan berarti bermakna pro akan tindakan teror).

Maka dari itu, penulis percaya bahwa pemerintah Indonesia pada dasarnya ingin menghilangkan orang-orang radikal yang secara nilai bertentangan dengan pemerintah. Dan hal itulah yang saya maksud dengan pemerintah Indonesia bernafsu untuk melakukan hal yang sama untuk menjaga keutuhan dan kesatuan negara. Hal itulah yang saya lihat dan pelajari sebagai latar belakang membisunya pemerintah di negeri ini akan apa yang terjadi di Xinjiang.

Diamnya Indonesia sebagai bangsa tempat ratusan juta Muslim hidup di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo ini jelas begitu mengecewakan sebagaian besar umat Islam di negeri ini. Diamnya Presiden Jokowi jelas menciderai komitmennya terhadap perjuangan umat Islam yang sering ia denguangkan. Dan lebih jauh, diamnya pemerintah Indonesia atas apa yang terjadi terhadap komunitas Uighur di China jelas telah mengkhianati dasar negara yang telah dibangun oleh para Bapak Pendiri. Padahal, selama ini pihak pemerintah kerap kali mengklaim bahwa pihaknya lah yang paling ‘Pancasilais’, namun faktanya mereka tidak mengejawantahkan amanat dari butir Pancasila, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab“. []

Sumber:

Alex Mintz dan Karl De Rouen Jr. 2010. Understanding Foreign Policy Decision Making. Cambridge University Press. New York.

Zeev Maoz. 1990. Framing the National Interest: The Manipulation of Foreign Policy Decision in Group Settings. World Politics 43 (Oct.): 77–110.

ABC News (23 Desember 2018) “Why Muslim nations remain silent as China sends ethnic minorities to re-education camps.” Diakses melalui, https://www.abc.net.au/news/2018-12-23/muslim-governments-stayed-silent-on-chinese-minority-uyghur/10630822.

Alexia Fernández Campbell dalam VOX News (25 Oktober 2018) “China’s reeducation camps for Muslims are beginning to look like concentration camps.” Diakses melalui, https://www.vox.com/2018/10/24/18018282/china-reeducation-camps-uighur-muslims.

Bloomberg News (31 Agustus 2018). “Muslim Governments Silent as China Cracks Down on Uighurs.” Diakses melalui, https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-30/muslim-governments-stay-silent-as-china-cracks-down-on-uighurs.

Nithin Coca dalam Foreign Policy (24 Juli 2018). “Islamic Leaders Have Nothing to Say About China’s Internment Camps for Muslims.” Diakses melalui, https://foreignpolicy.com/2018/07/24/islamic-leaders-have-nothing-to-say-about-chinas-internment-camps-for-muslims/.

USC US-China Institute (19 September 2016) “Culture Clash: Ethnic Unrest In Xinjiang“. Diakses melalui, https://china.usc.edu/culture-clash-ethnic-unrest-xinjiang.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *