Mengenal Sosok Syaikh Taqiyuddin di Masa Mudanya
Malam ini saya kembali bersyukur telah diingatkan oleh guru saya. Beliau mengisahkan tentang seseorang yang hari ini gagasan nya menjadi sebuah motor pergerakan. Dikagumi oleh para pembawa ide tersebut, namun ditakuti oleh penentangnya. Itulah sosok Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Sosok beliau lahir pada 1911 M dalam sebuah keluarga dengan iklim keislaman yang ideal.
Mulai dari kesalehan ibu-bapak, hingga tak kurang kakek beliau, Syekh Yusuf an-Nabhani, seorang ulama terkemuka di masa akhir periode ke-khilafah-an Turki Utsmani. Lingkungan itulah yang menjaga beliau di masa pertumbuhan remaja. Dididik secara ideologis di bawah asuhan lingkungan dan mentor terbaik. Menelurkan Syekh Taqiyuddin muda yang hafal qur’an, ber-syakhsiah Islam yang mantap. Berkat titah sang kakek, Syekh Taqiyuddin muda pun berangkat ke Mesir di tahun 1928.
Saat itulah perjumpaan pertamanya melihat dunia luar yang sesungguhnya. Konfrontasi agama dan politik yang begitu terasa. Perlu dicatat, di tahun 1928 inilah puncak dari pertarungan ide antara kubu Al-Azhar dengan kubu Sekuler-nya Thoha Husain, Ali Abdul Raziq serta yang lainnya. Hal ini terjadi setelah keruntuhan Khilafah di tahun 1924. Pada periode inilah Syaikh Taqiyuddin muda berumur 16-17 tahun. Ibarat “anak polos” yang datang langsung gelanggang pertarungan.
Melihat dan merasakan dengan jelas. Beruntung, Syekh Taqiyuddin muda merapat menjadi mad’unya (penerima dakwah) Syekh Muhammad Al-Khidr Husain, salah satu tokoh Azhari yang jua menjadi sosok protagonis (menolak pengapusan Khilafah) dalam konflik intelektual di Mesir saat itu. Inilah qadarullah, Allah Swt turunkan dan tunjukkan suasana konflik pada Syaikh Taqiyuddin muda. Beliau merasakan atmosfir pertarungan itu.
Sebuah hikmah yang mungkin tidak dipahami, sebab Ali Abdul Raziq, Thaha Husein yang menentang dan mendukung pembubaran Khilafah, serta disisi lain berdiri Azhari yang frontal membela Khilafah serta Islam. Allah Swt telah perlihatkan pada Mujadid ini, kelak masa depan perjuangan penegakkan Khilafah di alam pikir nya serta gerak langkahnya. Beliau giat memperdalam ilmu. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk belajar dan berada di dalam perpustakaan di Kairo.
Bahkan ia mengatakan telah membaca 16.000 buku selama di Al-Azhar. Mungkin karena itulah ia tidak bergabung dengan partai ataupun gerakan politik manapun kala memperdalam ilmunya di Al-Azhar. Walau begitu, ia bersama sesama pelajar Palestina, Syekh Ahmad al-Daur sempat menimba ilmu pada pendiri Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al-Banna. Bahkan, Syekh Hasan Al-Banna pun memberi kesan positif pada Syekh Taqiyuddin perihal kecerdasaan dan pandangannya tentang kebangkitan Islam.
Selama di Al-Azhar pula, Syekh Taqiyuddin selain sebagai kutu buku, ia terkenal sebagai debater aktif ihwal perpolitikan di kalangan siswa dan guru-guru di Al-Azhar. Adalah rekan-nya, Prof Jad al-Rabb Ramadan (Kepala Fakultas Syariah dan Hukum pada tahun 1973) menyebutkan bagaimana sepak terjang beliau untuk menekankan perlunya para Ulama untuk mengambil peran aktif dalam kebangkitan Islam.
Bermodalkan kedalaman ilmu sebab giatnya beliau menimba ilmu, iklim pertantangan dan diskusi kelas wahid di saat itu, ditambah berliterasi hingga tak kurang 16 ribu buku yang telah ia lahap, itulah yang dikemudian hari membentuk pemikiran, sikap dan ‘keras kepala’nya ia dalam berjuang dan berkorban. Ia bahkan menjemput kematiannya setelah badannya hancur disiksa, disetrum aliran listrik oleh rezim diktator saat itu.
Bercerita ihwal rekam hidup beliau, membuat saya berpikir dan termenung, “Ternyata sebegitu belum serius nya saya dalam memperdalam ilmu, terkhusus Ilmu Agama yang berpangkal pada masih enggan nya saya untuk membaca dan terus belajar”.
(Sebuah catatan di penghujung hari. Hasil diskusi buku berjudul “Hizb Ut-Tahrir : The Untold History of The Liberation Party” karya Reza Pankhurst di WAG Pengurus Komunitas Literasi Islam)