Konstituante: Menagih Janji Syariat Islam
Di tengah perdebatan antar kubu yang berlangsung panas dalam sidang PPKI, Bung Karno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berkata: “UUD yang kita buat sekarang ini (yang dimaksud ialah UUD 1945) adalah Undang Undang Dasar sementara. Kalau saja boleh memakai perkataan, ini Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majlis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna. … Tuan-tuan mesti mengerti, ini sekedar Undang-Undang Dasar sementara, undang-undang sementara, Undang-Undang Dasar kilat bahkan barangkali boleh dikatakan, inilah revolusi grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingatkan oleh Tuan-tuan betul-betul agar supaya hari ini bisa diselesaikan Undang-Undang Dasar ini.”
Setahun, dua tahun, tiga tahun, sampai 12 tahun menunggu untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna hingga membuat umat Islam kecewa. Hari demi hari berganti. Sampailah pada momen yang dinantikan. Dewan Konstituante digunakan sebagai metode menagih janji Kemerdekaan itu. 2 Desember 1957, Kasman Singodimedjo berpidato di Sidang Dewan Konstituante, “Saudara ketua, saya masih ingat bagaimana ngotot-nya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota PPKI mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Ki Bagus Hadukusumo pun ‘mengalah’ dengan jaminan bahwa enam bulan kemudian akan dibentuk tim perumus. Ia melanjutkan, “Kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau menanti dengan sabarnya, bukan menanti enam bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…”
Kasman pun kembali mengingatkan, “Semoga pada waktu sekarang ini di Dewan Konstituante sini dada itu tidak harus dilapangkan lagi. Sebab, Saudara Ketua, pelapangan dada itu telah maksimal. Paling banjak dada itu tinggal meledak!”. Pidato pun ditutup dengan pekikan takbir Kasman Singodimedjo di Podium Dewan Konstituante, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”. Namun, ‘awan mendung’ menghampiri di Ahad, 5 Juli 1959. Istana Bogor menjadi saksi bisu “palu godam kekuasaan”.
Sore itu, Soekarno mengatakan, “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan negara proklamasi!”. Yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ringkasnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisikan tiga pokok. (1) Pembubaran Sidang Konstituante. (2) Pemberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. (3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit Presiden menandakan pembubaran Dewan Konstituante. Padahal, di Dewan Konstituante itulah Kaum Muslimin sedang menagih janji Soekarno sekaligus sebagai wadah dalam memperjuangan dasar Islam. Namun, jalan sejarah tidaklah sesuai yang diinginkan dan diusahakan. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 laksana “palu godam kekuasaan”. Adalah Soekarno yang telah menasbihkan diri menjadi seorang otoriter sejati! [].
Sumber:
Naskah pidato Prawoto Mangkusasmito (Partai Masyumi) dalam sidang Konstituante pada tanggal 4 Mei 1959 berjudul, “Jiwa dan Semangat 1945 Masyumi Menolak Suatu Machtsstaat”.
Artawijaya, 2014. Belajar Dari Partai Masjumi. Pustaka Al-Kautsar.
Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 1. Indonesia.
Gambar: https://harakah.id/wp-content/uploads/2020/07/IMG-e1594269676884.jpg