Mengapa Harus Mudik Ketika Lebaran?
“Mengapa harus mudik ketika lebaran?”
Seringkali hal tersebut menjadi pertanyaan kita ketika melihat fenomena mudik lebaran. Hal ini menjadi sebuah pemandangan yang lumrah di Indonesia, bahkan menjadi sebuah tradisi “wajib” tersediri. Tak jarang yang bahkan rela merogoh tabungan berbulan-bulan dan mengarungi perjalanan antar kota dan pulau demi menjalin silaturahim dengan kerabat, baik yang dekat maupun yang jauh. Tak jarang pula yang rela terjebak kemacetan berjam-jam bahkan berpuluh-puluh jam. Dan herannya, meski menghadapi problem yang sama, mudik masih terus dilaksanakan, baik tahun depan maupun tahun-tahun setelahnya.
Walau sebagian melakukan hal ini karena tradisi, namun tak sedikit pula yang mudik dan ber silaturahim atas dasar ilmu dan mengharap ridho Allah. Jika dipikir-pikir, agaknya dapat disampaikan bahwa tradisi mudik ini, sedikit atau banyak, dipengaruhi oleh ajaran Islam yang mengajarkan pentingnya menjalin hubungan baik dengan kerabat. Dalam QS An-Nisa ayat 36, Allah berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Siapa yang menghendaki dilapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini memang sangat populer, dan seringkali menimbulkan pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan dipanjangkan umurnya? Apakah jika ajal kita tiba pada usia 60 tahun lalu dipanjangkan menjadi 70 tahun? Bukankah ajal seseorang sudah ditetapkan bahkan sebelum ia lahir?”
Menanggapi hal ini, para ulama’ menafsirkan bahwa yang dimaksud “tambahan” tersebut adalah keberkahan pada umur, taufik, dan ketaatan, sehingga ia mengisi waktu hidupnya dengan hal bermanfaat yang dapat mengantarkannya menuju tempat terbaik di akhirat, serta memeliharanya dari kesia-siaan. Sebagian ulama’ yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksud dipanjangkan umurnya adalah ia senantiasa diingat dan didoakan setelah ia meninggal dunia.
Sungguh, perkara menjaga ikatan antar saudara, saling mengunjungi dan tolong menolong, adalah perkara yang berat. Ia membutuhkan banyak pengorbanan, baik waktu, materi, maupun tenaga. Oleh karena itulah, Allah dan Rasulullah senantiasa memberi motivasi agar umat Islam senantiasa bersemangat dan diringankan langkahnya dalam menjaga ikatan tersebut.
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Jika seorang laki-laki mengunjungi saudaranya, maka Allah berfirman kepadanya, “Engkau telah melakukan kebaikan, perjalananmu adalah kebaikan, dan aku akan menyiapkan tempat di Surga.” (HR. Bukhari).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Ada seorang pria yang mengunjungi saudaranya di suatu kota. Lalu, Allah mengutus malaikat untuk menghadang jalannya. Malaikat itu pun bertanya, “Kamu hendak ke mana?” Orang itu menjawab, “Saya hendak ke saudaraku di kota ini.” Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau berhutang budi kepadanya?” Ia menjawab, “Tidak, saya mencintainya karena Allah.” Malaikat itu berkata, “Saya adalah utusan yang diutus Allah untukmu. Sesungguhnya Allah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah diriwayatkan, bahwa Rasululla bersabda, “Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, niscaya ada dua malaikat yang menyerukan, “Kebaikan bagimu, dan kebaikan dalam perjalananmu, serta telah disediakan bagi kamu tempat di Surga.” (HR. Imam Tirmidzi)
Ikatan yang terjalin di antara kerabat ini selayaknya meliputi segala aspek kebaikan, mulai dari kehidupan yang saling menjamin, menghibur, menjaga sifat saling tolong-menolong, dan mengenal satu dengan yang lain hingga muncul sifat saling mencintai dan berkasih sayang. Maka tak heran pula, jika kita sering dikenalkan dengan berbagai anggota keluarga kita, baik yang nasabnya mudah diingat atau yang sulit, baik yang jauh maupun yang dekat. Hal tersebut dilakukan tak lain demi menjaga jalinan ikatan silaturahim.
Begitu pentingnya hubungan kekerabatan, konsep ini juga menyebar untuk menjamin nafkah perempuan. Dalam Islam, nafkah perempuan dijamin penuh oleh laki-laki. Laki-laki bertanggung jawab untuk menafkahi perempuan yang menjadi tanggungannya, baik ibu, saudara perempuan, maupun kerabat perempuan lainnya. Jika seorang perempuan belum menikah, maka ayahnya yang bertanggung jawab atas dirinya. Jika ia telah menikah, maka suaminya yang bertanggung jawab atas dirinya. Jika ia sudah tua renta, maka anak-anaknya yang bertanggung jawab atas dirinya. Jika ayah, suaminya, atau anak-anaknya tak sanggup (disebabkan oleh kondisi yang dibenarkan syara’), maka kerabat laki-lakinya yang menanggung nafkahnya. Jika seluruh kerabatnya juga tak sanggup (disebabkan oleh kondisi yang dibenarkan syara’ seperti semuanya miskin atau meninggal), maka negara diwajibkan untuk menanggung nafkahnya. Begitu istimewanya perempuan dalam Islam, hingga ia sejatinya tidak berkewajiban untuk bekerja dan menafkahi siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Kebiasaan saling mengunjungi ini telah diajarkan oleh Islam sejak dahulu, sebagaimana disampaikan oleh Imam Muslim. Dari Anas bin Malik diriwayatkan, tatkala Rasulullah telah wafat, Abu Bakar mengajak Umar,
“Mari kita berkunjung ke tempat Ummu Aiman, sebagaimana Rasulullah dahulu sering berkunjung ke sana.” Ketika keduanya sampai ke tempat Ummu Aiman, maka menangislah Ummu Aiman. Lantas, keduanya bertanya, “Apa yang menjadikan engkau menangis? Bukankah engkau tahu, bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasulullah itu sangatlah baik?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya menangis bukan karena itu, dan saya tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasul-Nya adalah baik. Akan tetapi, saya menangis karena wahyu dari langit telah terputus.” Ucapan Ummu Aiman itu mendorong keduanya untuk menangis, maka mereka pun menangis bersama-sama.”
Sejak dahulu Rasulullah dan para sahabat telah memberikan teladan untuk saling berkunjung ke rumah sahabat yang lain. Saling mengunjungi sesama muslim karena Allah adalah tradisi generasi salafush shalih. Inilah bentuk keindahan Islam.
Sebaliknya, ketika kita memutus silaturahim, Allah menggolongkannya ke dalam dosa besar. Sebab, perkara ini dapat meretakkan interaksi dan kasih sayang antar manusia, menyebarkan kebencian, permusuhan, perpecahan, dan meningkatkan sifat individualistis di antara kerabat. Allah mengindikasikan keharaman ini dengan peringatan dan laknat, sebagaimana firman-Nya,
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (TQS Muhammad ayat 22-23)
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu sangat disayangkan, ketika kita menemukan bahwa banyak fenomena di negara maju dan atau negara yang dipenuhi gaya hidup sekulerisme tingkat tinggi – yang dianggap memiliki taraf berpikir lebih tinggi – justru memilih tidak merawat orang tuanya dan memutus hubungan kekerabatan dengan keluarga dan sanak saudaranya. Sungguh, sangatlah indah aturan Islam.
Maka, tulisan ini pun dibuat tidak hanya berharap bahwa jalinan silaturahim antar keluarga muslim tidak pernah putus meski berganti generasi. Dari tulisan ini pun kita dapat melihat, bahwa Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur hal ini sedemikian rupa. Bahkan, bagi siapa saja yang melaksanakannya akan diberikan ganjaran pahala, kebaikan, dan berkah yang luar biasa. Sebaliknya, Allah pun tak ragu memberikan laknat bagi siapa saja yang melanggarnya. Wallahu a’lam.[]
Sumber:
Abu Fuad. 2017. Penjelasan Kitab Sistem Pergaulan Dalam Islam. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.
Fathiy Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy. 2018. Fiqih Bertetangga. Al-Azhar Freshzone: Bogor.
Prof. Dr. Raghib As-Sirjani. 2017. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.