Situasi Politik Jawa Sebelum Pecahnya Perang Diponegoro
Sebagai sebuah entitas kolonial, Belanda menggunakan berbagai cara untuk menaklukkan rakyat dan wilayah yang menjadi jajahannya. Di Nusantara, salah satu wilayah tersulit yang ditaklukkan oleh Belanda adalah Jawa.
Secara ekonomi, Jawa yang subur dan dihuni oleh banyak manusia menawarkan sumber daya alam dan tenaga kerja yang menggiurkan. Secara geografis, wilayah Jawa menawarkan banyak pelabuhan alami dan topografi alam yang cocok untuk investasi baik di bidang pertanian, perkebunan, dan (nantinya) industri. Adapun secara politik, Jawa adalah kunci untuk menaklukkan Nusantara secara keseluruhan.
Berbeda dengan anggapan yang muncul di buku-buku sejarah, penaklukan total terhadap Jawa justru baru terjadi pada era 1830-an dan seabad kemudian, Belanda harus rela menyerahkan Nusantara kepada bala tentara Jepang. Juga berbeda di wilayah lain di Nusantara, dalam penaklukan Jawa, Belanda lebih banyak menggunakan jasa intelektual ketimbang ahli strategi militer.
Salah satu langkah awal Belanda untuk menaklukkan Jawa dimotori oleh VOC, yang berhasil mendapatkan Jayakarta pada 1619 setelah merebutnya dari Kesultanan Banten. Pasca mendapat pijakan awal di Jawa, Belanda langsung mendapat tantangan. Bukan dari Kesultanan Banten, tapi justru dari Kesultanan Mataram yang menguasasi ¾ pulau Jawa. Dua kali serbuan besar ke Batavia di era Sultan Agung, menjadi pertanda bahwa wangsa inilah yang akan jadi batu sandungan besar bagi ambisi Belanda.
Menggunakan momen perebutan kekuasaan yang terjadi di Kesultanan Mataram dan kemurahan hati orang Jawa, Belanda sedikit demi sedikit mampu menggerogoti Mataram dan memperoleh rampasan wilayah. Dimulai dari Priangan, Cirebon, pantai utara Jawa, dan sebagian besar Bang Wetan dari Surabaya hingga Blambangan. Belanda juga mendapatkan wilayah Sukadana di Kalimantan dan Bangka-Belitung serta berhasil mengisolir Mataram dari sekutu-sekutunya seperti Palembang, Aceh, Makassar, dan terutama Khilafah Turki Utsmani.
Namun, langkah ini bukanlah tanpa resiko. Belanda terlalu berambisi menghabisi Mataram dan mulai sibuk mengikuti berbagai perang saudara di Jawa. Termasuk dalam Perang Palihan Nagari yang membuat Mataram terpecah menjadi dua kerajaan besar, yaitu Kasunanan di Surakarta dan Kesultanan di Ngayogyakarta.
Perang ini adalah salah satu perang terberat Belanda selain serbuan Mataram ke Batavia dan Perang Diponegoro. Bahkan, perang yang harus diakhiri dengan perjanjian Giyanti ini menyebabkan VOC, perusahaan terkaya di dunia saat itu, tutup buku. VOC terlalu banyak ikut campur urusan kesultanan di Nusantara demi nafsu monopoli perdagangannya dan banyak memicu peperangan yang menimbulkan instabilitas ekonomi perusahaan. Tahun 1799, VOC resmi dibubarkan dan seluruh asetnya dikuasai Kerajaan Belanda.
Nicolaas Hartingh, mantan Gubernur VOC di Semarang dalam kepulangannya ke Belanda berujar, “Ah, andai saja Kompeni dulu tetap menjadi pedagang!”.
Di sisi lain, Revolusi Prancis memicu penggulingan raja-raja Eropa, termasuk penggulingan Penguasa Belanda, Raja William V, oleh patriot Belanda pro Prancis dan mengubah kerajaan menjadi Republik Batavia. Tak lama kemudian, Belanda jatuh ke tangan Napoleon Bonaparte yang mengubahnya menjadi Kerajaan Hollandia. Raja William sendiri mengungsi ke Inggris dan menyerahkan perwalian kerajaan kepada Inggris. Akibatnya, wilayah jajahan Belanda di Nusantara (khususnya Jawa), menjadi ladang perebutan antara Prancis dan Inggris.
Napoleon kemudian mengirimkan komandan terbaiknya, Marsekal Herman Willem Daendels ke Jawa pada tahun 1808. Ia mengemban misi melindungi Jawa dari ancaman Inggris.
Inggris, tentu saja tidak ingin Prancis mengganggu sepak terjangnya di Asia. Maka pembuat keputusan di London memerintahkan Lord Minto (gubernur Inggris di India) untuk menyerbu Jawa, menghancurkan kekuatan Prancis-Belanda, lalu menyerahkan Jawa kepada pribumi yang kompeten untuk mengelolanya. Suksesnya penyerbuan ini tak lepas dari kecerdikan Inggris yang telah lama mempelajari situasi di Nusantara sejak diamanahi menjadi wali Belanda.
Namun para komandan lapangan, khususnya Thomas Stanford Raffles, memiliki ambisi lain. Dengan alasan keselamatan warga asing di Jawa, ketakutan akan adanya kekuatan asing di masa depan yang akan menguasai Jawa, serta ketamakan pribadi (tiga alasan utama yang hingga hari ini menjadi alasan negeri-negeri penjajah untuk menginvasi negeri-negeri dunia ketiga, khususnya negeri muslim), Inggris atau dalam hal ini Raffles, bertindak lain di Jawa.
Awalnya, perintah dijalankan sesuai dengan arahan London dan Kalkutta (pusat pemerintahan Inggris di India), namun jauhnya jarak memicu para komandan Inggris di Jawa bertindak semau mereka.
Apalagi Raffles mulai tersinggung dengan tindak-tanduk raja-raja Jawa. Hal ini sebenarnya lumrah, karena selama ini raja-raja Jawa hanya berinteraksi dengan orang berpangkat Gubernur Jenderal, pangkat pimpinan yang berada langsung di bawah Raja Belanda. Adapun Raffles adalah bawahan Gubernur Inggris di India dan ia hanya berpangkat Letnan, pantas raja-raja Jawa meremehkannya.
Situasi ini juga sangat wajar, mengingat pada dekade 1810-an, ternyata tidak semua daerah Jawa jatuh kepada penjajah. Masih terdapat kekuasaan merdeka yang sejajar dengan penguasa kolonial Belanda, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat – yang keduanya merupakan penerus dari Kesultanan Mataram.
Raffles yang murka, merespon dengan tindakan yang di luar dugaan. Demi menundukkan raja-raja Jawa, ia menggerakkan pasukan untuk menyerbu Yogyakarta. Yogyakarta dibombardir selama beberapa hari dan menyebabkan kerusakan hebat hingga memaksa pihak Kraton untuk menyerah. Selanjutnya adalah penjarahan besar-besaran harta Kesultanan oleh bala tentara Inggris. Sebagian pusaka Kraton, khususnya naskah-naskah kuno diangkut dan baru dikembalikan baru-baru ini.
Upaya Raffles dalam hal ini bukan tanpa maksud. Penyerbuan ini jelas membuat tetangga Yogyakarta yang lebih tua, yaitu Surakarta, ketakutan. Selain untuk “menghukum” Hamengkubuwana II, penyerbuan ini juga ditujukan untuk membuka sistem ekonomi baru yang akan mengubah wajah Jawa selamanya. Raffles dan Inggris memaksakan sistem sewa tanah dan membuka tanah-tanah bangsawan, menyewakannya kepada pengusaha perkebunan Eropa untuk ditanami kopi, kina, dan tanaman komoditi lainnya.
Langkah ini tentu saja sangat menguntungkan, karena pemerintah kolonial dapat meraih hasil dari penanaman komoditi internasional dan tidak lagi bergantung pada pembelian produk hasil panen yang harganya sangat fluktuatif.
Dalam sistem sewa tanah, Raffles juga memberikan kewenangan lebih besar kepada komunitas Tionghoa. Sistem sewa tanah menyebabkan berkurangnya area persawahan warga dan memicu migrasi serta kelaparan. Apalagi petani penggarap dipaksa untuk mengelola perkebunan dan melalaikan pertanian. Lebih parah lagi pengelolaan tol yang jatuh kepada etnis Tionghoa semakin ketat dan mencekik warga. Hal ini juga memicu renggangnya hubungan antara orang Jawa dan Tionghoa.
Hal terakhir yang juga dikacaukan Raffles adalah pemikiran, yaitu ketika Raffles menghidupkan Kelompok Studi yang dulu digagas oleh Radermacher (pendiri Freemason di Hindia Belanda) di masa VOC. Walhasil, kalangan intelektual berperan sebagai pemberi nasehat kepada para penguasa untuk menentukan kebijakan. Bila di masa Belanda, studi tentang Jawa hanya berkecimpung di bidang geografi, ilmu pertanian, dan kesehatan, maka pada masa Raffles diarahkan ke studi sosiologi, budaya, dan bahasa. Sebuah langkah awal menuju penguasaan Jawa.
Sayangnya, pada pertengahan tahun 1815 Napoleon dikalahkan di padang Waterloo. Inggris pun menyerahkan semua bekas koloni Belanda, kecuali Tanjung Harapan dan pulau Demarara. Walhasil, Belanda kembali ke Jawa, meski dalam kondisi kas keuangan yang kosong.
Maka, apa yang ditinggalkan oleh Inggris kembali diteruskan oleh Belanda dengan praktek yang lebih ketat. Tidak ada lagi kekuatan yang mampu menghalangi Belanda, sebab dua kekuatan di Jawa (Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta) telah dilucuti dan para prajuritnya tak lebih sebagai pasukan seremonial belaka.
Kondisi penjajahan yang justru semakin parah menyebabkan kemiskinan, kelaparan, perampokan, candu, hingga kemerosotan moral menggerogoti Jawa. Di saat-saat kritis inilah, ide atas kemunculan Satria Piningit atau Ratu Adil atau Imam Mahdi merebak. Inilah yang kemudian memicu terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830) yang dipimpin oleh Pengeran Diponegoro yang merupakan putra sulung Hamengkubuwana III, Sultan Yogyakarta. Inilah perang paling besar di Jawa, yang tentu saja tidak terjadi hanya karena ribut-ribut masalah makam dan jalan.[]
Sumber:
Irfan Afifi, 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta;Tanda Baca
M.C. Ricklefs, 2012. Mengislamkan Jawa. Jakarta;Serambi
M.C. Ricklefs, 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta;Serambi
Peter Carey, 2012. Kuasa Ramalan jilid 1 dan 2. Jakarta;Kepustakaan Populer Gramedia