Bagaimana Umar bin Khattab Mendamaikan Konflik di Palestina?
“Kalian dulu adalah manusia yang paling kerdil, hina, dan miskin. Maka Allah telah memuliakan kalian dengan Islam. Betapapun kalian mengharapkan kemuliaan tanpa Islam, Allah akan menghinakan kalian!”
Khalifah Umar bin Khattab berpesan kepada pasukan Abu Ubaidah bin Jarrah dan pasukannya, dalam lawatannya ke Palestina
Kota suci bagi tiga agama samawi, tempat di mana dakwah para Nabi tumbuh bersemi. Umat Kristiani meyakini, bahwa Yerusalem sangat erat kaitannya dengan lokasi penyaliban dan kebangkitan Yesus. Teruntuk umat Islam, di negeri ini berdiam Baitul Maqdis sebagai saksi peristiwa Isra’ Mi’raj, kiblat pertama kaum muslimin, dan salah satu masjid yang paling mulia. Bagi orang-orang Yahudi, di tanah yang dijanjikan tersebut berdiri kokoh Dinding Ratapan dan diyakini sebagai lokasi bersemayamnya reruntuhan Kuil Sulaiman.
Dari hal tersebut, muncul satu persoalan menarik. Jika ketiga agama tersebut sama-sama menganggap suci Yerusalem, lantas siapakah yang paling berhak menguasainya? Apakah tidak bisa jika ketiga agama tersebut hidup rukun dalam satu wilayah?
Sebelum pembebasan Islam, Yerusalem memang telah sejak lama menjadi wilayah rawan konflik yang terus menerus ditaklukan secara bergantian. Bahkan, penghancuran kuil dan berbagai rumah suci menjadi hal yang biasa terjadi, seolah dianggap sebagai rutinitas yang wajib dilakukan oleh setiap penguasa yang hendak menguasai Yerusalem.
Orang-orang Yahudi senantiasa menjadi sasaran penyiksaan, pembunuhan, pengejaran, dan pengusiran. Di bawah kekuasaan Romawi yang mendeklarasikan Kristen sebagai agama resmi negara, langkah kristenisasi dilakukan secara paksa atas bangsa Yahudi.
Tak heran, jika selama peperangan antara umat Islam untuk menaklukkan Baitul Maqdis, penduduk sipil Palestina di sekitar Yerusalem memilih menjadi penonton yang bersikap netral dan tidak bersemangat mendukung Romawi dalam mempertahankan kekuasaannya serta tidak menampakkan kemarahan kepada pasukan muslimin yang berusaha menjadi penguasa baru.
Tak heran pula, setelah mengetahui bahwa pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab memberikan sikap yang berbeda, Uskup Agung Sophronius menyambutnya gembira.
Padahal, pada awalnya mereka diliputi rasa ketakutan, trauma dan khawatir bahwa tragedi pembantaian dan perusakan fasilitas kota akan terulang kembali. Bahkan Salib Besar serta perlengkapan-perlengkapan penting gereja segera dimasukkan ke dalam kapal dan dikirimkan ke Konstantinopel, untuk disimpan di Gereja Santo Hagia Sophia.
Akibat dari sikap sang Uskup Agung ini, banyak yang mencela keimanannya pasca kematiannya. Ia disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penyerahan Yerusalem kepada kaum muslimin, yang kemudian dilanjutkan dengan perjanjian damai yang secara historis menunjukkan pengelolaan Yerusalem yang sangat berbeda ketika berada di bawah kepempimpinan kaum muslimin dibandingkan dengan bangsa lain.
Poin-poin perjanjian damai antara Khilafah dengan rakyat Yerusalem yang layak mendapat perhatian ini meliputi:
1) Jaminan penuh atas keselamatan jiwa dan harta mereka, 2) Jaminan tidak menempati-merobohkan-mengurangi properti apapun yang berada di dalam dan di lingkungan tempat suci dan ibadah mereka, 3) Tidak boleh ada pemaksaan dalam memasuki agama tertentu, 4) Mengakui keberadaan mereka, dan 5) Memberikan hak penuh untuk tetap tinggal atau pun pergi di dan dari Yerusalem.
Konsep perjanjian damai ini, bahkan sejak awal memang diatur dalam Islam. Penduduk taklukan di Yerusalem, setelahnya dipandang sebagai golongan kafir dzimmi yang wajib dilindungi. Sebagai warga negara, hak dan kewajiban mereka sama saja dengan muslim lainnya. Tidak ada keharusan apapun bagi mereka selain jizyah yang hanya wajib dibayarkan oleh orang-orang yang mampu sebagai imbalan atas keabsahan dan jaminan keamanan bagi mereka.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan perlakuan Heraklius yang berkuasa atas Yerusalem pada periode sebelumnya. Ia bertangan besi, serba menindas, dan memaksa penduduk Yahudi untuk memeluk agama resmi Romawi (Kristen) dengan ancaman pemotongan hidung, telinga, hingga perobohan atas rumah-rumah mereka.
Bahkan tak berhenti pada Heraklius, jika dibandingkan dengan penguasa-penguasa lain sebelum Islam, perjanjian damai dan sistem kehidupan yang ditawarkan oleh Islam adalah sebuah sistem yang sangat memanusiakan manusia. Kebaikan sistem ini tak terbatas dalam tataran teori, melainkan juga terbukti dari aspek historis.
Keadilan dan kerukunan umat beragama tersebut sekaligus mengakhiri masa-masa mengerikan bagi penduduk Yahudi Yerusalem yang lebih dari 500 tahun terusir dari tanah sucinya (terhitung sejak masa Kaisar Vespanisus pada 70 Masehi). Masa-masa penuh kedamaian dan kerukunan umat beragama tersebut terus bertahan selama lebih dari 400 tahun, hingga pasukan Salib datang membawa salah satu bencana paling sadis di abad pertengahan. Wallahu a’lam. []
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Dr. Muhammad Khair Haekal. 2003. Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam: Buku Kedua. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.
Hussam ‘Itani. 2019. Penaklukan Muslim di Mata Bangsa Taklukan. Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan.
Muhammad Husain Haekal. 2011. Umar bin Khattab. Litera AntarNusa: Bogor.
Klik linktr.ee/kli.books dan tetap terhubung dengan seluruh media sosial Komunitas Literasi Islam