Mengungkap Kongkalikong Oligarki Dalam Bisnis Tambang di Papua
Blok Wabu. Lokasi tambang ini mengandung > 117 ton bijih emas, dengan kadar lebih besar dibanding tambang Grasberg Freeport Indonesia (2,16 gr/ton berbanding 0,8 gr/ton). Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyebut bahwa total potensi yang dimilikinya setara US$14 miliar atau Rp300 triliun, dengan asumsi harga emas US$1.750/troy once.[1]
Sejak dikembalikan Freeport kepada pemerintah sebelum 2018 lalu, Blok Wabu mulai menjadi rebutan pengusaha. Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pelepasan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam, termasuk mineral turunannya, dilakukan dengan lelang. Perusahaan pemenang lelang akan memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi.[2]
Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, wilayah tambang emas yang telah dilepas asing harus dikembalikan ke negara. Lantaran pengembalian Blok Wabu oleh Freeport sudah dilaksanakan pada 2018, maka pengelolaannya menggunakan payung hukum Undang-udang Nomor 4 Tahun 2009. Menurut ketentuan, prioritas tambang pun akan diserahkan kepada BUMN atau BUMD.[1]
Setelah dilepas Freeport, prioritas Blok Wabu mestinya diserahkan ke perusahaan tambang BUMN, seperti MIND ID atau PT Aneka Tambang (Tbk) alias Antam, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.[3]
Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai siapa pemilik IUP eksplorasi untuk blok ini. MIND ID mengklarifikasi kabar penguasaan wilayah tambang Blok Wabu, bahwa belum memperoleh izin konsesi.[2] Mestinya, Kementerian ESDM mengumumkan ke publik terkait posisi Blok Wabu saat ini. Jika Blok Wabu tak diberikan kepada ke perusahaan tambang BUMN, harus jelas alasannya ditenderkan ke swasta.[3]
Isu Blok Wabu yang berada di Intan Jaya ini menjadi perbincangan akibat dugaan keterlibatan lingkaran kekuasaan yang mencoba mengambil cuan dari blok ini.
Dua perusahaan tambang emas yang memegang izin eksplorasi di Intan Jaya, PT Madinah Qurrata ‘Ain dan PT ANTAM (Blok Wabu), merupakan contoh perusahaan yang terindikasi kuat mendapat fasilitas pengamanan dari pihak TNI & POLRI. Keberadaan para purnawirawan dan prajurit militer aktif di perusahaan merupakan bentuk kaki kedua bisnis militer. Hal itu berpotensi membuat aktivitas pengerukan SDA yang akan dan/atau sudah dilakukan perusahaan menjadi lebih aman.[4]
Di samping itu, beberapa nama purnawirawan bahkan teridentifikasi merupakan anggota tim pemenangan Presiden Joko Widodo. Relasi tersebut membuat urusan perizinan perusahaan menjadi lebih mudah.
Temuan praktik bisnis militer kaki kedua di Intan Jaya menyingkap potensi kepentingan bisnis di balik serangkaian “operasi militer ilegal” di Intan Jaya. Kajian ini menganggap, semua pengiriman pasukan sebagai tindakan ilegal karena sampai saat ini, presiden belum mengeluarkan Keputusan Presiden yang disetujui DPR RI sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Ketiadaan instruksi resmi tersebut makin memperjelas indikasi bahwa operasi militer di Intan Jaya memang tidak semata soal penumpasan kelompok bersenjata, namun justru soal kepentingan ekonomi.[4]
Khusus terkait PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), perusahaan ini diduga terhubung dengan Toba Sejahtra Group. Sementara LB Panjaitan tercatat masih memiliki saham di perusahaan Toba Sejahtera Group melalui anak usahanya, PT Tobacom Del Mandiri. West Wits Mining sebagai pemegang saham PTMQ membagi saham kepada Tobacom dalam proyek Derewo River Gold Project.[5]
PENGELOLAAN TAMBANG: NEGARA VERSUS PEMILIK MODAL
Sudah lama kita dengar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil pertambangan. Sayangnya, sebagian besar untuk memenuhi permintaan luar negeri. Sebut saja batubara yang sebenarnya hanya butuh 25 persen untuk kebutuhan domestik.[6] Begitu juga dengan LNG (gas alam cair) yang 59 persennya diekspor.[7]
Secara hitung-hitungan penerimaan negara memang terlihat baik. Namun pada faktanya masyarakat tak dapat manfaat yang menyejahterakan. Ditambah lagi dengan perusakan lingkungan sebagai hasil penambangan dalam jumlah yang besar, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Pemasukan negara dari ekspor mineral, batubara, dan migas jika dibandingkan dengan sektor lain memang paling besar. Hingga sepertiga total pemasukan negara adalah dari aktivitas pertambangan. PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari sektor pertambangan cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada akhir tahun 2021, sudah mencapai Rp70,05 triliun, atau sudah 179,14% dari yang ditargetkan tahun ini yang “hanya” Rp39,10 triliun.[8]
Namun PNBP ini hanya diperoleh dari “mengemis” iuran tetap maupun royalti kepada pihak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) maupun Kontrak Karya. Keuntungan paling besar, tentu diperoleh perusahaan pengelola SDA tersebut. Apabila dikelola oleh negara, tentu akan memberikan keuntungan bagi rakyat yang jauh lebih besar.
KETERLIBATAN ELIT POLITIK DALAM BISNIS PERTAMBANGAN
Banyak kasus korupsi berkaitan erat dengan aktivitas bisnis pertambangan para pelakunya. Alasannya jelas, karena bisnis pertambangan membutuhkan modal yang besar. Selain itu, keterlibatan pemerintah yang diwajibkan dalam pengurusan perizinan, jumlah royalti, dan pajak yang besar, membuat bisnis pertambangan sangat membutuhkan “orang dalam”.
Perizinan dan persetujuan pemerintah harus didapat dari pejabat pemerintah untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan, konstruksi, dan pengoperasian pertambangan. Biasanya, infrastruktur yang diperlukan (seperti pelabuhan dan jalur kereta) juga dimiliki oleh pemerintah, yang berarti bahwa perusahaan dan agen-agennya selalu berurusan dengan pemerintah untuk menyalurkan produk mereka ke pasar. LOL.
Akibatnya, pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk dapat memblokir, menunda, atau menggagalkan suatu proyek dapat juga berupaya untuk mencari suap sebagai imbalan dari penggunaan kekuasaan. Tak heran, jika berbagai perluasan akses bisnis ini menjadi sebab utama atas banyaknya pihak sangat bernafsu menjadi pejabat, meski biaya kampanye bisa mencapai miliaran rupiah.
Jalan pintas yang ditempuh untuk meminimalisir hambatan yang muncul dan mengeruk keuntungan yang besar adalah dengan melibatkan orang-orang yang memiliki kekuatan politik atau masih atau sedang menjabat pada posisi politik tertentu. Tujuannya jelas, untuk memangkas alur birokrasi dan regulasi yang selama ini mempersulit berjalannya bisnis pertambangan. Bahkan, jika perlu nama sang tokoh politik diletakkan sebagai komisaris atau direktur untuk menguatkan pengaruh dan memperlancar proses bisnis pertambangan.
LANGKAH LICIK MENGUBAH REGULASI
Regulasi yang ada terbukti cukup menyulitkan para pengusaha pertambangan dalam menjalankan bisnisnya dan meraih keuntungan yang maksimal.
Selain melibatkan tokoh politik berpengaruh yang memiliki kewenangan dalam hal regulasi dan pengawasan, modus lain ialah melakukan perubahan regulasi yang dianggap “menghambat investasi”. Seperti yang terjadi pada perubahan UU Minerba dan UU “Omnibus Law” Cipta Kerja yang mampu memberikan keuntungan berlipat kepada para pengusaha pertambangan.
Poin yang sangat jelas terlihat pada perihal perpanjangan kontrak. Dalam UU Minerba, perpanjangan kontrak tidak memerlukan proses lelang. Tentu ini menjadi angin segar bagi para pemegang kontrak yang sedang berjalan dan ingin memperpanjangnya. Adapun Omnibus Law, tak hanya memberi kemudahan, namun juga fasilitas dan keamanan bagi para pemodal termasuk mancanegara.
Melalui aturan sapu jagad ini, pemerintah memudahkan emiten tambang melakukan kegiatan operasionalnya sekaligus mengurangi ketergantungan impor barang jadi maupun barang setengah jadi.
Keterlibatan hubungan antara pemilik modal dengan politisi yang terlibat penyusunan kebijakan ini jelas menyeruak. Sebab, sangat nyata terlihat siapa pihak yang paling diuntungkan dan dirugikan.
Modus korupsi politik adalah pintu masuknya, dengan berbagai relasi hubungan antara politisi dan kepentingan korporasi, mulai dari ajang pemilu daerah hingga di pusat. Beberapa Partai Politik besar terbukti memang menjadikan pengusaha kaya sebagai elit partai karena tingginya kebutuhan untuk membiayai aktivitas partai. Fenomena ini menyebabkan dikooptasinya partai oleh kepentingan kuasa ekonomi dan di sisi yang lain, menghancurkan sistem pengambilan keputusan di internal Partai.
Fenomena ini secara kasat mata juga terlihat memperkuat posisi politik dari kapitalis-politisi dan kapitalis-birokrat terhadap keuangan kampanye. Komposisi pendanaan yang secara dominan dikuasai oleh kelompok elit politik dan pengusaha akan menciptakan stuktur kebijakan yang tentu membahagiakan oligarki.
Penguatan struktur oligarki yang ditandai dengan berkumpulnya kepentingan politik dan bisnis, secara alamiah akan menguatkan keleluasaan. Sehingga, kebijakan akan sangat mudah diarahkan untuk memenuhi berbagai kepentingan bisnis mereka.[]
Daftar Pustaka
[4] https://www.walhi.or.id/kajian-terbaru-soal-papua-terungkap-indikasi-kepentingan-ekonomi-dalam-serangkaian-operasi-militer-ilegal-di-intan-jaya-papua . Laporan dapat diunduh di: https://s.id/SiaranPersKajianIntanJaya
[7] https://www.ruangenergi.com/ekspor-lng-kian-menurun-ditengah-perkembangan-ekonomi-indonesia/