Politik

Mengapa Hukum Internasional Tak Mampu Menghilangkan Islamofobia?

Share the idea

“…In Stockholm, Sweden, i burned the Koran. This was my own book. And it’s completely legal to burn your own book in Sweden and also in Denmark.

And since then, unfortunately, a lot of very angry people from Turkiye and Indonesia and other places, have read me messages threatening to harm me. That is very very stupid.

That means they have very low IQ, i think. Because riding threatening me, threatening to harm me, only means that  i have to criticize Islam even more and spread the divine truth about Muhammad….

… And therefore, because people from Turkiye and Indonesia have threatened me, i am going burning the Koran even more. So now, i am also to burn the Koran more in Denmark, maybe even more in Sweden and the other places.

And you just have to deal with that.

YOU CAN’T DO ANYTHING ABOUT THAT!”

Paludan benar. Umat Islam tak bisa melakukan apapun. Kebebasan berekspresi adalah landasan penting peradaban Barat, sekaligus senjata ampuh untuk melegalkan aksi berulang yang melecehkan agama.

Memang benar, bahwa PBB mengadopsi resolusi 60 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia (International Day to Combat Islamophobia).

Namun perlu diingat. Sebagaimana yang juga disampaikan dalam website resmi PBB, bahwa Hak Asasi Manusia Internasional (yang salah satu asasnya adalah kebebasan berekspresi), hanya digunakan untuk melindungi individu. Bukan agama.

“International human rights law protects individuals, not religions.”

Dalam UU tentang kesetaraan dan anti-diskriminasi yang dibuat Swedia (amandemen terakhir pada 2018), prinsip ini diterapkan dan berbunyi,

“Det allmänna ska verka för att alla människor ska kunna uppnå delaktighet och jämlikhet i samhället och för att barns rätt tas till vara. Det allmänna ska motverka diskriminering av människor på grund av kön, hudfärg, nationellt eller etniskt ursprung, språklig eller religiös tillhörighet, funktionshinder, sexuell läggning, ålder eller andra omständigheter som gäller den enskilde som person.”

Artinya kurang lebih gini,

“Lembaga publik harus mendorong kesempatan bagi semua pihak untuk mencapai partisipasi dan kesetaraan dalam masyarakat, dan hak-hak anak harus dilindungi.

Lembaga-lembaga publik harus memerangi diskriminasi terhadap warga berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, asal kebangsaan atau etnis, afiliasi bahasa atau agama, kecacatan fungsional, orientasi seksual, usia atau keadaan lain yang memengaruhi individu.”

Maka, untuk yang kesekian kalinya, kebebasan berekspresi memang bukan konsep yang dibuat untuk menjaga maupun menjunjung ‘izzul Islam wal muslimin. Ia adalah konsep untuk menjaga kepentingan peradaban Barat dengan sekularisme dan liberalismenya.

HAM dan segala kebebasannya, menumbuhsuburkan feminisme dan L68T

Dampak dari prinsip ini, bahkan sudah dirasakan jauh sebelum hari ini kita mengenal nama Rasmus Paludan.

Berdasarkan Laporan Islamofobia di Eropa, pada 2021, 6 dari 10 masjid di Swedia telah mengalami serangan fisik. Pada 29 Januari misalnya, sebuah bom tiruan ditanam di pintu masuk utama masjid di Stockholm.

Bahkan telah menjadi sebuah fenomena umum, jika ada masjid yang menerima surat ancaman, termasuk grafiti dengan pesan-pesan Islamofobia sebagai bentuk intimidasi kepada umat Islam.

Al-Qur’an yang sudah dihancurkan, digantung dekat pintu masjid di Swedia

Paludan jelas memahami fakta ini. Karenanya, dalam unggahan reels instagramnya @lawlorddenmark yang KLI kutip pada slide pertama, ia berani menyatakan, “You just have to deal with that. You can’t do anything about that!”

Umat Islam memang tak bisa melakukan apapun.

Turki bisa saja tak menyetujui bergabungnya Swedia ke NATO, dan (mungkin) akan ada beberapa negara yang memboikot IKEA. Tapi umat Islam tak bisa berbuat apapun mengenai “kebebasan berekspresi” yang menjadi landasan hukum peradaban Eropa.

Alih-alih menggaungkan hipokrasi dan standar ganda dari kebebasan berekspresi. Di saat yang sama, berbagai negeri muslim juga menggunakan standar yang sama – yakni kebebasan berekspresi – sebagai landasan hukum di negaranya.

Umat tidak melihat, apakah undang-undang di negaranya sudah sesuai dengan syariat atau tidak. Melainkan sudah sesuai dengan peraturan internasional atau tidak.

Beginilah nasib umat Islam hari ini. Banyak, kaya, tapi lemah dan tak berdaya.

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Provokasi dan penghinaan Rasmus Paludan atas al-Qur’an, Nabi Muhammad, umat Islam, dan Islam https://www.instagram.com/tv/CnuHwsiBgvA/?igshid=YmMyMTA2M2Y=  

PBB terkait Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia https://www.un.org/en/observances/anti-islamophobia-day#:~:text=The%20United%20Nations%20General%20Assembly,International%20Day%20to%20Combat%20Islamophobia.

UU tentang kesetaraan dan anti-diskriminasi https://constitutions.unwomen.org/en/countries/europe/sweden?provisioncategory=b21e8a4f9df246429cf4e8746437e5ac

Laporan Islamofobia di Eropa 2021 https://islamophobiareport.com/en/

Al-Quran yang dihancurkan dan dirantai https://www.aa.com.tr/en/world/stockholm-mosque-condemns-desecration-of-quran-in-latest-islamophobic-attack-in-sweden/2760755

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *