Mengapa Kita Harus Mewaspadai Kerjasama dengan Asing?
Ketika pertama kali Belanda datang ke Indonesia, tujuan mereka adalah membeli hasil perkebunan dari orang Indonesia dengan murah, kemudian menjualnya kembali dengan sangat mahal di pasar lain.
Dalam jangka waktu tidak kurang dari 200 tahun setelah kedatangannya ke Indonesia pada abad ke-17, para pedagang Belanda membentuk kongsi (persekutuan/perkumpulan) dagang yang diberi nama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan memperluas kontrolnya kepada penguasa lokal. Tidak cukup sampai disitu, VOC pun melakukan penaklukan melalui kekuatan militer.
Ketika penguasa lokal di nusantara berhasil ditaklukkan oleh Belanda, hal tersebut memudahkan bagi Belanda untuk mengeruk hasil perkebunan di kepulauan nusantara melalui mekanisme lembaga perupetian yang telah ada.
Penguasa lokal bertekuk lutut bukan berarti sumber keuangan mereka bangkrut, tetapi dikarenakan ketidakmampuan penguasa lokal untuk melawan kekuatan militer belanda. Pada saat itu, Belanda lebih kuat dan memiliki peralatan militer modern ketimbang penguasa lokal di nusantara.
Tindakan memperluas kontrol dan penaklukan terhadap penguasa lokal ini sebenarnya merupakan dampak dari bekerjanya logika kapitalisme yang menuntut untuk terus menerus menumpuk dan menyirkulasikan keuntungan tanpa batas.
Logika kapitalisme inilah yang menuntun para pengusaha/pedagang menumbuhkembangkan watak rakus dalam paradigma berpikirnya.
Pada tahun 1800, VOC mengalami kebangkrutan karena virus korupsi yang menjangkitinya.
Kebangkrutan VOC ini memicu pemerintah kerajaan Belanda mengambil alih peranan VOC sebagai penghisap hasil bumi Indonesia.
Setelah VOC digantikan oleh pemerintah kerajaan Belanda, rakyat pekerja di Indonesia justru semakin menderita, karena pemerintah kerajaan belanda memberlakukan sistem tanam paksa (culture stelsel) kepada rakyat pekerja.
Dalam sistem tanam paksa ini, rakyat pekerja dipaksa untuk mengalokasikan 20% tanah garapannya untuk ditanami tanaman jenis tertentu yang laku di pasar dunia. Tidak hanya itu saja, rakyat pekerja pun dipaksa untuk bekerja sesuai keinginan Belanda selam 60 hari per tahun khusus untuk menghasilkan tanaman wajib tersebut.
Selanjutnya, sistem tanam paksa ini dihapuskan, hal ini dikarenakan perusahaan kapitalis semakin berkembang. Namun, menurut hukum Belanda yang diberlakukan di Indonesia, pada waktu itu, 75% dari seluruh karyawan perusahaan harus terdiri dari warga negara Belanda, baru sisanya adalah orang Indonesia asli.
Kedudukan tertinggi dari orang Indonesia hanyalah setingkat mandor. Orang Indonesia pun bisa menjadi mandor apabila dia bersedia menjilat dan menindas saudara sebangsanya sendiri.
Upah para buruh pribumi luar biasa rendah sekali, bahkan buruh yang melanggar perjanjian jika melakukan kesalahan kecil, misalnya istirahat karena kelelahan kerja maka si buruh akan mendapatkan ganjaran, yakni tidak diberikan upah untuk beberapa waktu tertentu.
Ganjaran tersebut dibenarkan oleh hukum Belanda, yang dikenal dengan punale sanksi, yaitu ketentuan yang mewajibkan para buruh untuk bekerja kepada majikannya setelah mengikatkan diri dalam kontrak.
Pola ini memang pernah dilakukan oleh negara asing ratusan tahun yang lalu. Namun bukan tidak mungkin pola serupa namun dengan kemasan yang berbeda akan Kembali terwujud.
Terlebih lagi jika melihat sepak terjang penguasa lokal nusantara hari ini yang begitu mesranya bekerjasama dengan pihak-pihak yang mestinya kita waspadai.[]
Sumber:
Judul Buku: Mafia Migas vs Pertamina: Membongkar Skenario Asing di Indonesia
Penulis: Ismantoro Dwi Yuwono
Penerbit: Galangpress Publisher
Cetakan: 2014