Revitalisasi Persatuan Islam: Bermula dari Langkah Kecil Kita
Oleh: Farouq Nuzulludien Birawa
Pada 17 Agustus 1945, Bapak proklamator kita, Bung Karno, berhasil mengumandangkan proklamasi kedaulatan Republik Indonesia. Perjuangan dalam mempersatukan Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Wajar, Negara kita memiliki keanekaragaman budaya yang melimpah-ruah dari Sabang sampai Merauke Disamping itu, rakyat pun memiliki pola pikir yang berbeda-beda. Sehingga, menjadi kendala yang tidak bisa diremehkan. Persis halnya dengan mempersatukan umat Islam di Nusantara. Penuh tantangan dan hambatan.
Terutama setelah runtuhnya Kesultanan Utsmani sebagai institusi yang menaungi seluruh umat Islam di dunia pada 1924. Sejak saat itu, mereka didera permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga pemikiran. Dihadapkan dalam situasi seperti ini, umat Islam sepakat bahwa kondisi mereka kini sedang tidak ideal.
Islam yang mereka pahami yakni damai dan indah seperti yang tertera dalam Al-Qur’an, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107). Indonesia juga pernah dihebohkan dengan disertasi oleh Prof. Dr. Deliar Noer yang mencakup sejarah gerakan Islam di Indonesia.
Dalam disertasinya, menurutnya gerakan Islam terbagi menjadi dua, “modernis” dan “tradisionalis.” Padahal, klasifikasi ini berpotensi besar menimbulkan konflik antar-gerakan bagi orang awam. Orang dengan mudah akan menyebut pada gerakan ini-itu tak akan berubah dari identitasnya.
Kelompok yang menandai dirinya sebagai kaum “modernis” merasa memiliki saingan dengan kelompok “tradisionalis”. Begitu pula sebaliknya. Sementara itu, banyak orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap harakah(gerakan)nya. Masing-masing kelompok menganggap dirinya paling benar dari yang lain. Dalam hal ini, sifat sombong dalam kelompoknya bermunculan.
Mereka hanya ingin mengikuti pendapat ‘ulama dari kalangan sendiri, sehingga tidak terbuka terhadap perbedaan (khilafiyah). Pasalnya, mereka juga mendoktrin pemahamannya terhadap orang lain. Puncaknya, banyak orang yang terseret menjadi pengikutnya dan terjadilah perpecahan tingkat tinggi antar-harakah. Kasus ini harus ditumpaskan secepatnya.
Dalam keadaan yang krusial ini, musuh-musuh Islam akan mudah menyerang dan mengeksploitasi umat Islam. Bila diamati dengan saksama, yang paling keberatan terhadap bersatunya umat Islam adalah pihak Barat (Rasyid, 2006).
Yang menjadi momok besar bagi Barat adalah kembali berdirinya negara Islam (The Caliphate of Islam) sebagai negara adidaya selama belasan abad silam. Barat berusaha untuk menekan negara Islam agar tidak berdiri.
Jangan sampai negara Islam yang sudah berdiri memuluskan jalan bagi negara lain yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologinya. Bila negara berideologi Islam berdiri, maka eksistensi peradaban barat berpotensi akan hancur.
Islam Memberikan Ruang Bagi Perbedaan
Sejatinya, orang yang memeluk Islam tetap saja manusia. Manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memahami al-qur’an dan as-sunnah. Islam memberikan ruang bagi perbedaan, agar setiap muslim mudah memahami dan memiliki ruang gerak dalam menentukan pilihan-pilihan dari hukum tertentu. Perbedaan adalah rahmat.
Bagaimana seandainya Islam hanya punya satu jenis pandangan tanpa ada pilihan lain? Tentu ini akan menyulitkan banyak orang. Akan membuat orang lari dari Islam. Karena sesungguhnya tingkat penerimaan setiap orang berbeda-beda. Seorang aktivis dakwah, Felix Siauw menganalogikan ruang perbedaan dalam Islam dengan telur mata sapi.
Setiap orang memiliki cara memakan telur mata sapi dengan cara yang berbeda. Ada tipe orang yang memakan langsung tanpa menghiraukan bagian yang enak. Ada pula orang yang melahapnya dengan menyisakan bagian kuningnya, save the best for the last. Begitu juga Islam, ia tidak memaksakan hanya dengan satu penerimaan.
Namun, memberi ruang agar orang dapat melahapnya dengan cara yang berbeda-beda. Namun, tidak serta-merta Islam memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam menenutukan pilihan. Bila dipersingkat, Allah memberikan batas ruang dalam hal furu’ (cabang) kepada umat Islam untuk berbeda pendapat agar dapat disesuaikan dengan situasi tertentu.
Terdapat Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanbali, Madzhab Hanafi dab Madzhab Maliki. Semuanya bersumber syar’i dari al-qur’an dan as-sunnah.
Upaya yang Harus Dilakukan agar Umat Islam Dapat Bersatu
Ada beberapa hal yang sangat penting dan sepatutnya dilaksanakan agar umat Islam benar-benar dapat meningkatkan kesadaran bahwa Islam dapat bersatu menghadapai permasalahan yang ada. Itu semua dapat kita mulai dengan langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan. Pertama, mengembalikan segala urusan hanya kepada Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dalam tafsir Al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa perpecahan dapat diobati dan diperbaiki melalui Al-Qur’an. Menurut beliau, Umat yang masih tetap berpegang teguh kepada ajaran para Nabi mendapatkan rahmat dan petunjuk dari Allah. Sehingga, umat islam bisa menjadi bersahabat dan bersaudara.
Kedua, Memiliki kesadaran bahwa umat Islam harus bersatu. Bacalah permasalahan dan bahaya yang sedang mengancam umat Islam. Maka, ghiroh untuk mempersatukan umat akan ada sesulit apapun tantangannya. Kita akan berpikir kedepan apapun permasalahannya. Ketiga, berprasangka baik terhadap golongan atau gerakan lain.
Langkah ini akan efektif untuk membangun kekuatan strategis, apalagi untuk menjadi tim yang tangguh. Karena, setiap gerakan memiliki target dakwah yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Ada kalangan santri, intelektual, kaum milenial muda, pewaris politik tempo masa lalu, dan lainnya.
Dengan menghargai adanya keberagaman yang tersedia, kita akan berpikir positif terhadap gerakan yang lain. Keempat, banyak membaca urusan terkait fiqih. Semakin banyak belajar fiqih, kita akan semakin sadar bahwa umat Islam memiliki berbagai macam golongan. Bahwa setiap golongan memiliki ijtihad yang berbeda-beda.
Kelima, ikut menyadarkan orang lain pentingnya persatuan umat Islam dan bahaya fanatisme. Akan lebih efektif bergabung dengan salah satu jama’ah. Ketika kita juga turut berkolaborasi, akan lebih mempermudah untuk berdakwah daripada menjalankannya sendiri.
Penutup
Allah SWT berfirman, “Wa’tashimu bihablillahi jamii’a…” (QS. Ali Imran: 103), yang artinya. “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah..”. Redaksi perintah pada kata “wa’tashimu” menunjukkan pentingnya ajaran tersebut, bahwa umat Islam tidak akan mencapai kejayaan jika tidak satu barisan menegakkan ajaran Allah.
Menilik hukum kausalitas, ketika ingin mencapai akibat, maka harus melaksanakan sebab. Begitu juga dengan persatuan Islam. Bila ingin persatuan Islam bangkit, kita harus melaksanakan langkah-langkah kecil sebagai bagian dari kontribusi kita.
Islam hadir untuk menjadi solusi dan sarana menyatukan puing-puing komponen masyarakat yang saling berserakan dan terpecah belah. Semua bergantung pada kita, mau menggunakan perangkatnya atau tidak. Mari bermadzhab secukupnya, beragama sepenuhnya. Apakah persatuan Islam mungkin? Mengapa tidak?!