EkonomiPemikiranPolitik

Perempuan dan Ekonomi: Ide Racun Feminisme dan Disrupsi Peran Keibuan

Share the idea

Oleh: Rina Andyta Deviningrum

Perempuan, dalam berbagai masa dan berbagai peradaban buatan manusia biasa ditempatkan sebagai kelompok kelas kedua. Mereka dipandang lebih rendah dibanding laki-laki. Mereka dinilai tidak lebih produktif dari laki-laki dan menjadi tenaga kerja yang lebih murah dibanding laki-laki.

Bahkan, dalam era kapitalisme hari ini, mereka tak lebih menjadi komoditas ekonomi dan objek pemuas. Ekonomi tidak hanya identik dengan materi atau pemilik modal. Namun juga perempuan. Bahkan banyak narasi yang menunjukkan bahwa ekonomi tidak akan maju jika tanpa peran dari perempuan.

Hal ini turut disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank dalam seminar bertajuk Empowering Women in the Workplace.

Sri Mulyani mengatakan bahwa perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah Negara bahkan ia meminta peran perempuan dalam sebuah pekerjaan harus ditingkatkan. Managing Director IMF Christine Lagarde pun menambahkan bahwa menurutnya saat ini di dunia masih kental dengan patriarki.

Padahal perempuan juga memiliki hak yang sama untuk bekerja di luar rumah. “Banyak di dunia perempuan itu didiskriminasi, misalnya tidak dapat warisan karena yang dapat harus laki-laki. Dilarang bekerja, padahal itu hak sebagai perempuan” Menurut data PBB, bahwa 1/3 dari penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 70 % dari mereka adalah perempuan.

Diduga bahwa penyebabnya adalah posisi tawar yang lemah di dalam masyarakat, kultur yang represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan domestik, serta tidak pedulinya negara dalam mengeluarkan kebijakan kebijakan yang bermanfaat guna menentaskan perempuan dalam kemiskinan.

Atas hal ini lah para pejuang feminisme menuntut adanya kesetaraan baik dalam area publik maupun domestik, dimana mereka memandang bahwa ketergantungan ekonomi pada suami tidak kompatibel dengan penghormatan terhadap perempuan atau pembebasan perempuan.

Mereka percaya bahwa untuk meningkatkan status dan mencapai kesetaraan sejati dengan laki-laki di dalam masyarakat dan melepaskan diri dari siklus ‘perbudakan’ dan ‘diskriminasi’ kepada laki-laki di dalam pernikahan maka perempuan harus mencari nafkah untuk membiayai hidupnya sendiri.

Oleh karena itu, kesuksesan dan pemberdayaan perempuan menjadi terkait dengan memasuki dunia kerja, mengejar karier dan menjadi mandiri secara finansial.

Feminisme dan Kapitalisme akan terus bergandengan tangan dan berkerja secara sistematis bagaimana agar perempuan menjadi penggerak roda perekonomian, dan menghilangkan fitrahnya dimana salah satunya adalah menjadi Ibu sebagai madrasatul ‘ula.

Bahkan kapitalisme dengan sengaja mempermalukan dan menghinakan kaum Ibu menjadi sekedar pekerja, bahkan pekerja rendahan. Menurut laporan ILO (2013) terdapat sekitar 43 juta perempuan telah dipekerjakan sebagai pengasuh, tukang masak, pembersih rumah, dan pembantu rumah tangga.

Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan telah memaksa jutaan perempuan meninggalkan rumah dan anak-anak mereka demi sesuap nasi. Inilah konsekuensi mahal yang harus dibayar yaitu melahirkan generasi yang terlantar dan rapuh.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2016) merilis data ada 11,2 juta anak Indonesia kehilangan hak pengasuhan dan kasih sayang dari ibunya karena bekerja di luar negeri. Sementara data UNICEF (2008) menunjukan sekitar 6 juta anak di Fiipina menjadi terlantar karena ibunya menjadi buruh migran.

Belum lagi kekerasan yang dialami perempuan secara fisik atau seksual di tempat kerja. Dalam survei yang dilakukan oleh Badan Uni Eropa untuk Hak-hak Fundamental (FRA) sebanyak 55% responden menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual yang dialami ditempat kerja, bahkan 75% perempuan ini memiliki profesi dengan kualifikasi tinggi atau profesi top manajemen.

Inilah ide feminisme beracun yang egois dan antroposentrik (berpusat pada manusia) yang selalu abai terhadap dampak sosial pada kehidupan anak, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.

Kebanyakan para pejuang feminis hanya melihat hak-hak perempuan dalam kacamata individual dan mikroskopik, tidak melihat dampaknya lebih jauh pada skala komunitas makro bahkan Negara. Para pegiat gender pun mungkin lupa bahwa sejak awal kapitalisme memang memandang perempuan rendah, hanya sebagai pekerja atau faktor produksi.

Peran puncak perempuan hanya diterjemahkan semata dalam bahasa ekonomi, yakni bagaimana menghasilkan materi dan keuntungan bagi bisnis kapitalis. Berbeda dengan Islam dimana pemberdayaan perempuan dalam pandangan islam adalah optimasi perannya sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan, bukan sebagai angkatan kerja.

Dalam Muqaddimah Dustur bab “Nizham al-Ijtima’i” dinyatakan: “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah Ibu bagi anak-anak dan pengelola suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.”

Islam justru memelihara hubungan kemanusiaan yang luhur antara peran perempuan dan kualitas generasi dengan menjamin fitrah peran keibuan tetap efektif di masyarakat dan memastikan keberlanjutan lahirnya generasi ummat terbaik dengan dukungan sistem pendidikan, sosial dan ekonomi dari peradaban Islam, disaat yang sama tetap menjamin hak pendidikan, status sosial, ekonomi dan kehormatan perempuan.

Hal ini bisa terwujud ketika Negara menerapkan Politik Ekonomi Islam dimana negara menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.

Islam menggariskan bahwa perempuan harus selalu dijamin nafkahnya oleh kerabat laki-laki mereka, dan jika mereka tidak memiliki kerabat laki-laki maka Negara yang akan menjamin kebutuhan finansialnya.

Maka sudah seharusnya kita sebagai seorang muslim khususnya muslimah mencampakkan ide bathil feminisme yang dilanggengkan kapitalisme karena terbukti telah menghilangkan fitrah perempuan. Mari bersama memperjuangkan sistem Islam dalam naungan Khilafah sehingga perempuan mendapatkan kesejahteraan tanpa perlu adanya kesetaraan. Wallahu a’lam.

Sumber:

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4248861/pentingnya-peran-perempuan-di-ekonomi-kata-sri-mulyani-dan-bos-imf (diakses Rabu, 27 Mei 2020)

dr. Nazreen Nawaz.2019.Mengkritik Feminisme.Imune Press

Fika Komara.2018.Empowering Muslimah.Imune Press

Hadi Sutjipto.2003.Solusi Islam Tehadap Masalah Ketenagakerjaan. Jurnal Volume XIX No. 4 425 – 444

Retno Endah Supeni.2011. Upaya Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Melalui Pengembangan Manajemen Usaha Kecil. Seminar Nasional Ilmu Ekonomi Terapan Fakultas Ekonomi UNIMUS 2011

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *