BudayaEkonomiPemikiran

Bagaimana Kapitalisme Mengeksploitasi Kebahagiaan Manusia?

Share the idea

“Ketika manusia tidak lagi beriman kepada tuhan, bukan berarti bahwa mereka tidak lagi beriman pada segala sesuatu. Tetapi sebenarnya mereka mulai beriman kepada sesuatu yang lain.”

Gilbert Keith Chesterton, sastrawan Inggris

Apa sih tujuan hidup manusia? Islam dengan al-Qur’annya, sejak awal bahkan telah menjawab salah satu pertanyaan terbesar manusia ini dengan lugas. Bahwa, hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (QS adz-Dzariyat: 56). Maka, sangatlah wajar jika setiap perbuatan kita, harus selalu mengacu kepada syariat Islam.

Sayangnya, kapitalisme tidak memiliki kitab suci apalagi nabi yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Jika melandaskan pada fenomena umum manusia yang dibentuk oleh kapitalisme, maka dapat kita simpulkan bahwa tujuan hidup manusia memang diarahkan untuk mengejar kebahagiaan.

Naasnya, kapitalisme menyulitkan kita merumuskan definisi kebahagiaan itu. Jika standar bahagia seorang muslim adalah mendapatkan ridho Allah (QS at-Taubah: 72), maka kapitalisme lagi-lagi tidak memiliki kitab suci dan nabi yang mampu memberikan standar atas kebahagiaan. Apakah bahagia adalah yang punya banyak uang? Mampu makan enak? Punya rumah bertingkat? Banyak anak? Atau apa?

Karena ketidakjelasan itulah, standar kebahagiaan setiap orang bisa berbeda-beda. Bahkan dari tahun ke tahun, jumlah syarat bahagia seolah semakin bertambah dan tak ada habisnya. Punya ribuan likes di instagram, punya jutaan viewers di TikTok, atau bahkan sekedar bertemu, menghadiri acara, serta membeli marchandise tokoh idola ternyata bisa menjadi standar kebahagiaan.

Aspek inilah yang dieksploitasi oleh kapitalisme. Bahwa, hidup itu memang bertujuan untuk bahagia.

Lantas, bagaimana caranya mencapai bahagia? Dengan kapitalisme yang tidak memberi standar, maka bolehlah kita berkesimpulan bahwa bahagia terjadi ketika manusia terpenuhi kebutuhannya. Tapi, kebutuhan yang seperti apa?

Semua ini berawal dari kesalahan kapitalisme memandang permasalahan ekonomi. Teori “kelangkaan relatif” membahas bahwa tidak cukupnya barang dan jasa yang ada adalah akibat adanya pertambahan jumlah penduduk secara relatif. Diibaratkan, jika sumberdaya bertambah sesuai bilangan 1-2-3-4, maka jumlah penduduk bisa bertambah seperti 1-2-4-8-16-32 bahkan lebih.

Walhasil, permasalahan ekonomi – menurut kapitalisme – diakibatkan oleh buruknya produksi. Penyebabnya adalah, karena kebutuhan manusia – berdasarkan pemahaman mereka – jumlahnya lebih banyak daripada sarana pemuas yang tersedia.

Padahal, kebutuhan manusia itu terbatas, sedangkan yang tidak terbatas adalah keinginan manusia. Maka, kapitalisme berusaha memenuhi seluruh kebutuhan (sekali lagi, menurut pemahaman mereka) bagi individu secara agregat, alih-alih memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan bagi setiap orang. Tak heran, jika negara akan mati-matian berusaha memenuhi target PDB (Produk Domestik Bruto) nya, karena PDB dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan negara memenuhi kebutuhan penduduknya melalui produksi barang dan jasa secara besar-besaran (ingat: Produk – Domestik – Bruto).

Logikanya, semakin banyak jumlah kekayaan yang dihasilkan, semakin banyak pula orang yang dapat memuaskan kebutuhannya. Karenanya, fenomena produksi massal ini membutuhkan pasangan sempurnanya, yakni konsumsi massal yang kelak menimbulkan perilaku konsumtif yang impulsif, memperlebar kesenjangan, hingga melupakan aspek distribusi kekayaan.

Mengapa kebutuhan itu terbatas sedangkan keinginan manusia tidak terbatas? Kebutuhan jasadiyah (needs/hajatul ‘udhowiyah) adalah sesuatu yang harus dipenuhi manusia. Jika tidak dipenuhi, maka menyebabkan kerusakan pada fisik manusia.

Contohnya adalah kebutuhan atas makan, minum, tempat tinggal, sekresi, serta istirahat. Needs ini dipicu dari dalam tubuh manusia itu sendiri, bukan dari luar. Maka, needs adalah sesuatu yang mutlak ada dan tidak bisa dikontrol oleh manusia.

Berbeda dengan kebutuhan yang jika tidak dipenuhi bisa menyebabkan kerusakan fisik, keinginan naluriah (wants/gharizah) adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi, maka hanya menyebabkan rasa gelisah. Keinginan, muncul akibat adanya rangsangan dari luar, sehingga pada dasarnya wants adalah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh manusia.

Dengan keinginan naluriah yang kemudian dapat dibagi menjadi tiga, yakni naluri mempertahankan diri (gharizah al-baqa’), melestarikan keturunan (gharizah an-nau’), dan beragama (gharizah at-tadayyun),

Islam memang tidak melarang dipenuhinya keinginan-keinginan itu. Tapi, Islam mengatur cara-cara pemenuhan keinginan tersebut.

Seseorang boleh saja punya banyak harta, asalkan harta dan cara mendapatkannya halal. Islam tidak mengharamkan aktivitas seksual, asalkan dilakukan dengan pasangan dan cara yang halal. Islam pun tak melarang mengagumi sosok tertentu, asalkan tidak mengantarkan kita pada perbuatan haram serta menandingi cinta kita pada Allah dan rasul-Nya.

Lain dengan Islam yang ternyata juga mengatur urusan seperti ini, kapitalisme tak memiliki standar halal-haram suatu perbuatan. Kapitalisme mempersilahkan manusia untuk menyembah apapun, baik pohon, patung, bahkan manusia. Yang terpenting adalah, pendapatan negara secara agregat tidak defisit, dan kepentingan pemilik modal tidak terganggu.

BAGAIMANA KAPITALISME MENGEKSPLOITASI KEINGINAN MANUSIA?

Berdasarkan konsep “kelangkaan relatif” itu, kapitalisme tidak membedakan kebutuhan (needs/hajatul ‘udhowiyah) dan keinginan (wants/gharizah) manusia. Yang terpenting adalah, pemenuhan target atas pendapatan produk nasional secara agregat.

Dalam naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), sifat-sifat manusia yang butuh sosialisasi, insecure atas berbagai ketidakpastian, bahkan menginginkan pengakuan dan pamer, dieksploitasi dengan godaan media sosial, fashion, otomotif, hingga alat-alat elektronik seperti handphone dan laptop yang senantiasa update meski hanya memberi sedikit fitur tambahan. Padahal, awalnya kita tidak butuh-butuh amat.

Terhadap naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’), rangsangan ini terjadi melalui sinetron, drama, serta pakaian yang semakin terbuka. Naluri manusia untuk beragama (gharizah tadayyun), dialihkan dari agama kepada manusia, mulai dari pebisnis hingga selebritis. Sekali lagi, semua itu memang dipicu oleh faktor eksternal manusia.

Jadi, apakah pemenuhan atas keinginan naluriah manusia adalah sesuatu yang haram? Jawabannya, tergantung cara dan tujuannya. Uniknya, aspek sederhana inilah yang kemudian menjadi pembeda besar antara kapitalisme dan Islam.

Jika kapitalisme membenarkan berbagai cara dengan standar kebahagiaan berdasarkan akumulasi materi dan kepentingan kapitalis, maka Islam menjadikan ibadah sebagai tujuan, memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan per individu, dan ridho Allah sebagai standar kebahagiaan.

Itulah mengapa, meski hari ini umat Islam harus menjauhi fanatisme kepada para selebriti, tapi di masa para sahabat, mereka mati-matian membela Islam dan Nabi Muhammad – bukan yang lain. Istimewanya, sikap inilah yang membuat hidup mereka bahagia.[]

Di akhirat, kelak kita akan dikumpulkan dengan orang-orang yang kita cintai

Sumber dan Rekomendasi Bacaan

Ahmad ‘Athiyat. 2017. Jalan Baru Islam: Studi Tentang   Transformasi dan Kebangkitan Umat. Pustaka Thariqul   Izzah: Bogor.

Felix Y. Siauw. 2011. Beyond the Inspiration. Khilafah Press:   Bogor.

Fuadh Naim. 2019. Pernah Tenggelam. Alfatih Press: Jakarta.

Jalal al-Ansari (ed). 2009. Mengenal Sistem Islam dari A   Sampai Z. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.

Salim Fredericks. 2004. Invasi Politik dan Budaya. Pustaka   Thariqul Izzah: Bogor.

Share the idea

One thought on “Bagaimana Kapitalisme Mengeksploitasi Kebahagiaan Manusia?

  • MasyaAllah,
    Terima kasih artikelnya sangat berbobot pembahasannya, yahh walaupun belum sepenuhnya paham.. setidaknya ada gambaranlah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *