Membasmi Gerakan Radikal
Kapan kita mengenal FP1 dan HT1? Tentu saja, jauh sebelum pilkada gubernur DKI Jakarta 2017.
Yap, eksistensi keduanya memang sudah dikenal dari dulu dengan gaya dan branding masing-masing. HT1 misalnya, meski secara tak resmi sudah ada sejak masa Presiden Soeharto, namun gerakan yang sejak awal konsisten dengan brand Khilafah nya ini baru muncul ke permukaan dengan lebih leluasa pasca reformasi.
Kita bahkan dengan mudah menemukan HT1 lewat berbagai demonstrasi non-konfrontatif yang juga menjadi identitasnya. Tak hanya dalam hal yang menyangkut Amerika maupun Israel, HT1 juga muncul ke publik di berbagai demo yang mengkritik kedzaliman kebijakan pemerintah. Misalnya, pencabutan subsidi dan kenaikan harga BBM, liberalisasi migas, masalah freeport, serta undang-undang pornografi.
Meski berbagai aktivitasnya semakin masif, bagi media, sejak dulu HT1 memang tak se-sexy FP1. Walau berhasil mengadakan berbagai acara kolosal yang melibatkan ratusan ribu massa di berbagai wilayah, termasuk agenda yang dapat memenuhi stadion Gelora Bung Karno sebagai stadion terbesar di Indonesia (seperti Konfrensi Khilafah Internasional 2007, Muktamar Khilafah 2013, serta Rapat dan Pawai Akbar 2015), media tak bergeming. Jangankan media, pemerintah yang berganti sekian kali pun, tak memberikan sikap tegas apapun.[1]
Lain HT1, lain FP1. Jika ada hadits “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.”, maka FP1 adalah garda terdepan amar ma’ruf nahi munkar dengan berbagai kekuatan yang dimiliki. Tanpa tedeng aling-aling dan tanpa basa-basi. Bila dalam beberapa hal HT1 (secara organisasi) memilih untuk menunggu kekuatan negara (Khilafah) dan lebih banyak berdakwah lewat lisan, maka FP1 melakukannya dengan lebih frontal.
Yang paling terkenal, tentu saja berbagai aksi FP1 dalam menutup tempat maksiat para setan milenial, seperti bar, diskotik, panti pijat, dll. Selain itu, kita akan menemui FP1 dalam berbagai demonstrasi dan aksi sosial, sebagaimana konfrontasinya dengan Israel, Amerika Serikat, maupun keterlibatannya dalam gerakan relawan kebencanaan.[2]
Jika kita mengenal HT1 melalui bendera hitam-putih ar-roya dan al-liwa serta slogan-slogan anti-kapitalisme, sekularisme, liberalisme, feminisme, demokrasi, dan komunisme yang senantiasa diserukan oleh organisasi yang mengusung dakwah pemikiran non-kekerasan ini, maka FP1 berbeda. FP1 senantiasa lekat dengan sosok tertentu. HR5 misalnya.
Ustadz Abdul Somad kemudian mendeskripsikan HR5 dan FP1 nya secara singkat,
“…selama ini saya melihat ada orang yang amar ma’ruf nya semangat. Ngajak berdzikir, ngajak sholawat, mengajak memakmurkan masjid. Tapi ketika mungkar, melihat perbuatan maksiat, itu diam. Karena memang, amar ma’ruf nahi munkar ini kan terkait dengan kepentingan orang banyak. Sehingga kalau ini kita sentuh, kalau istilah orang melayu ‘kalau periuk belanga orang tersentuh, dia mengamuk’. Jadi saya simpati dari awal, sebelum saya ketemu beliau, sebelum hiruk pikuk pilkada Jakarta 2017. Keberaniannya itu, bagi saya sesuatu yang menantang. Saya senang.”[3]
Perbedaan citra dan gaya itulah yang menyebabkan perbedaan perlakuan pemerintah kala berusaha membasmi aktivitas HT1 dan FP1. Bagi HT1 yang setiap aktivitasnya tertata rapi, tidak memiliki sosok yang melekat dengan brand organisasi, serta tak pernah blunder hingga melanggar undang-undang, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan palu godam Perppu Ormas. Sedangkan FP1, yang identik dengan tokoh tertentu seperti HR5, maka cukuplah memberi citra buruk dan mematikan pergerakan tokohnya.
Karena beliau bukanlah orang yang pernah menjual BUMN, korupsi, atau tindakan lain yang merugikan negara hingga miliaran rupiah, maka perusakan nama baik itu haruslah dengan cara lain yang tak selayaknya dilakukan oleh tokoh agama. Oleh karena itu, muncul isu kasus pelecehan. Ketika kasus buatan itu tak mampu menjadi delik, maka kasus konyol kerumunan itu pun dipermasalahkan.
Melihat pemerintah yang baru bersikap tegas pasca 2017, maka layaklah jika kita berkesimpulan bahwa pembekuan HT1 dan FP1 adalah buntut kekalahan Pilkada DKI Jakarta. Radikalisme, anti-pancasila, maupun ancaman pemberontakan negara hanyalah pemanis saja, dengan narasi dan tuduhan yang tak pernah benar-benar terbukti.
Isu ini memang betul-betul menjadi bola panas. Serangkaian opini massa yang dimulai lewat aksi di Monas tertanggal 4 September 2016 dengan slogan “Haram Pemimpin Kafir”, terus menggelinding bak bola salju dan semakin besar. Aksi pendahulu dan rangkaian opini massa ini menemukan momennya pasca meledaknya video penistaan agama yang kemudian memelopori aksi 411 dan 212.
Opini ternyata tak berhenti di bulan Desember, melainkan berlanjut dan semakin besar di bulan-bulan setelahnya. Peristiwa 411 dan 212 yang semakin memopulerkan panji Rasulullah melalui ar-roya raksasa yang diarak sepanjang aksi, ternyata juga bertepatan dengan Masirah Panji Rasulullah 2017. Sebuah agenda HT1 yang memang dari tahun ke tahun, dilaksanakan di bulan Rajab dengan konsep yang berbeda-beda, sebagai pembentukan opini massa atas runtuhnya Khilafah yang juga terjadi pada bulan Rajab.
Meski rangkaian aksi dan opini tersebut melibatkan massa dari lintas organisasi dan partai, namun HT1 dan FP1 dianggap sebagai dalang atas kekalahan Pilkada Jakarta 2017. Lagi, kita dipertontonkan sebuah gerakan perubahan di luar parlemen. Berbagai gerak-gerik mereka tak lagi dipandang sebelah mata. YIM misalnya, secara terang-terangan berusaha merebut simpatik massa HT1 yang diproyeksikan sangat besar, melalui aksi sukarelanya selama persidangan pencabutan BHP HT1 di PTUN. Presenter kondang NS, dalam berbagai kesempatan, senantiasa bertanya mengenai jumlah massa maupun sumber dana HT1. Yang tentu saja, hal ini juga tidak pernah diungkap ke publik oleh jubirnya, MIY.
Setelah sekian lama, di tahun 2020 kita kembali dikejutkan dengan film JKDN yang tiba-tiba muncul dan kembali merebut opini publik. Hal ini semakin masif, karena ikut menyeret beberapa nama besar, baik dari kalangan akademisi maupun para pegiat sastra. Tak sampai tiga bulan setelahnya, umat Islam di Indonesia kembali dihebohkan dengan kepulangan sang habib yang bertepatan dengan hari pahlawan. Langsung saja, selama dua pekan penuh, berbagai berita sulit lepas dari nama besar sang imam besar. Jika di dunia sepakbola kita mengenal guyonan “ga emyu ga makan”, maka kita bisa melihat fenomena “ga HR5 ga makan”.
Karena menganut sistem penokohan yang kuat, pasca penangkapan HR5, berbagai tokoh FP1 lain yang berpengaruh pun diincar. Mulai dari mengait-ngaitkan bukti, mencari-cari kesalahan, hingga pemberian pasal karet. Semua daya dan upaya pun dilakukan.
Tak lain dan tak bukan, adalah untuk menjaga agar gerakan serupa, terus tiarap.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan:
[1] Muhammad Ismail Yusanto. 2016. Perjuangan dengan Dakwah Islam: Amunisi Kata 10 th Kumpulan Wawancara Media. Irtikaz: Yogyakarta.
[2] Marisa Safitri. 2019. https://www.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/perpanjangan-izin-tertunda-ini-sepak-terjang-fpi-sejak-berdiri
[3] Channel youtube Karni Ilyas Club. UAS: Dari HRS, Sampai Radikal “Umat Sudah Putus Asa…” – Karni Ilyas Club. https://www.youtube.com/watch?v=fCTa6D9A_qM