Konsep Politik Yang Penting Dalam Khilafah: Biar Ga Gagal Paham
KHALIFAH SEBAGAI PEMIMPIN TUNGGAL UMAT ISLAM SELURUH DUNIA
Uniknya, alih-alih memprioritaskan proses pemakaman jenazah Rasulullah, para sahabat justru menyegerakan pemilihan pemimpin tunggal atas umat Islam terlebih dahulu. Padahal, mengurus jenazah adalah suatu perkara dalam Islam yang harus disegerakan, apalagi terhadap jenazah sosok Rasulullah yang mulia.
Kok bisa? Para sahabat paham betul, bahwa umat Islam tidak boleh hidup tanpa adanya pemimpin tunggal yang memimpin segala urusan mereka. ‘Umar bin Khattab bahkan menetapkan, bahwa kosongnya jabatan khalifah atas umat Islam adalah 3 hari 2 malam. Tanpa adanya selisih pendapat di antara mayoritas sahabat, menjadikan hal ini sebagai ijma’ sahabat yang juga kedudukannya sebagai sumber hukum Islam berada setelah al-Qur’an dan hadits.
Hal itulah yang terjadi sepanjang sejarah peradaban Islam berabad-abad lamanya. Mulai dari para sahabat nabi yang disebut sebagai generasi terbaik hingga di generasi yang melenceng sekalipun, jabatan khalifah atas seluruh umat Islam senantiasa ada.
Untuk memilih khalifah, cara yang ditempuh memang berbeda-beda. Abu Bakar dipilih berdasarkan musyawarah. ‘Umar ditunjuk Abu Bakar setelah meminta pendapat kaum muslimin, adapun ‘Utsman dan ‘Ali juga melalui proses musyawarah.
Namun, bukan penunjukan perseorangan atau hasil musyawarah itu yang menjadikan mereka sah sebagai khalifah, melainkan adanya ba’iat yang dilakukan oleh kaum muslimin. Abu Bakar resmi menjadi khalifah setelah dilakukan ba’iat in’iqad (ba’iat oleh representasi umat Islam) di Saqifah Bani Saidah. Adapun setelahnya, umat Islam melakukan ba’iat taat kepada Abu Bakar di Masjid Nabawi. Begitu pun dengan para khalifah setelahnya.
Dengan demikian, ba’iat adalah metode baku dalam pemilihan khalifah yang akan memimpin umat Islam di seluruh dunia. Adapun penunjukan ataupun musyawarah, hanyalah cara yang dapat berubah-ubah. Metode ini bahkan juga terus dilakukan hingga akhir masa kekhilafahan ‘Utsmani, yang secara simbolik dilakukan dengan diselempengkannya pedang ‘Utsman Ghazi kepada tubuh sultan.
KHILAFAH MEMILIKI DUA METODE POLITIK
Sebagai negara yang menggunakan Islam sebagai ideologinya, Khilafah – yang didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, memiliki 2 metode politik yang khas.
Penerapan syariat Islam adalah metode politik dalam negerinya, sedangkan dakwah dan jihad adalah metode politik luar negerinya.
Itulah mengapa, yang disebut Khilafah, bukan hanya sebuah negara yang menerapkan syariat Islam dalam batas-batas nasionalnya. Namun, agar Islam dapat terus menyebar dan menjadi rahmat bagi semesta alam, dakwah dan jihad harus senantiasa dilaksanakan.
Hal inilah yang dilakukan oleh Khilafah sebagai negara ideologis. Negara ideologis, hakikatnya memang menyebarluaskan nilai-nilai ideologinya, sebagaimana Amerika Serikat dengan kapitalismenya dan Uni Soviet dengan komunismenya.
Pemahaman inilah yang menjadikan para khalifah, baik di masa khulafaur rasyidin maupun di masa-masa setelahnya, senantiasa menyebarkan Islam. Bahkan di masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan, umat Islam sudah membangun angkatan laut pertama, hingga berhasil menyebarkan Islam sampai ke Tiongkok.
Metode politik luar negeri khilafah ini sekaligus menyatakan, bahwa Islam pun tidak selalu disebarkan oleh jihad, namun juga ada yang menggunakan “murni dakwah”. Contohnya, tentu saja masuknya Islam ke Indonesia. Namun, meski metode “murni dakwah” itu menjadikan negeri ini sebagai wilayah umat Islam terbesar, bukan berarti jihad dianggap tidak efektif sebagai metode penyebaran Islam.
Uniknya, dengan metode politik ini, Islam menyebar ke penjuru dunia dengan cepat. Islam, bahkan adalah satu-satunya agama yang menjadi mayoritas tidak hanya di wilayah asalnya (Jazirah Arab), namun juga di luar wilayah asalnya (Indonesia).
Adapun agama-agama lain, ada yang hanya menjadi mayoritas di wilayah asalnya (seperti Hindu dan Buddha) serta hanya menjadi mayoritas di luar wilayah asalnya (seperti Kristen yang berasal dari Palestina namun justru besar di Eropa).
KHILAFAH ADALAH NEGARA KESATUAN DENGAN PARA WALI SEBAGAI PEMIMPIN PROVINSI
Akibat sifat khalifah yang merupakan pemimpin tunggal bagi seluruh umat Islam, serta Khilafah yang senantiasa menyebarkan Islam ke penjuru dunia, maka para pemimpin muslim di setiap wilayahnya, akan berbaiat kepada khalifah sebagai wujud ketaatan. Adapun wilayah-wilayah yang penguasanya berbaiat kepada khalifah, menjadi bagian dari Khilafah.
Sebagai penguasa wilayah yang tergabung dalam Khilafah, penguasa-penguasa ini berperan sebagai wali – yang dalam terminologi saat ini, seperti gubernur provinsi.
Inilah yang dilakukan oleh sultan-sultan yang bukan khalifah, sebagaimana ba’iat yang dilakukan oleh sultan-sultan ‘Utsmaniyyah sebelum ‘Abbasiyyah menyerahkan tampuk kekhilafahan kepada mereka, serta sultan-sultan di Nusantara yang berbaiat kepada khalifah. Maka tak heran, jika pada suatu waktu, Aceh dan berbagai kesultanan lain di Nusantara pernah menjadi bagian dari wilayah Khilafah, sebagai konsekuensi logis dari bai’at tersebut.