Jejak Khilafah Di Nusantara: Surat Maharaja Sriwijaya Kepada Khalifah
KORESPONDENSI SRIWIJAYA DENGAN KHILAFAH BANI UMAYYAH
Khilafah Bani Umayyah adalah negara yang meluaskan pondasi penaklukkan wilayah Islam yang sebelumnya telah dikokohkan para khalifah di era Khulafa’ ar-Rasyidin. Semenjak masa Muawiyah bin Abi Sufyan, politik luar negeri Khilafah betul-betul difokuskan untuk pembebasan dan jihad yang simultan.
Selain pembebasan di daratan Barat seperti Tunisia dan daerah Timur sampai ke wilayah Afghanistan hari ini, Mu’awiyah juga memperkuat angkatan lautnya dengan membangun galangan kapal di pelabuhan yang menjorok ke Laut Mediterania. Dengan pasukan laut yang dibinanya itu, untuk pertama kalinya kaum Muslim melancarkan jihad demi membebaskan Konstantiopel dari kuasa Romawi Byzantium.
Khalifah-khalifah setelah Mu’awiyah terus melanjutkan kebijakan ekspansi wilayah Islam, sampai wilayah Khilafah Bani Umayyah terbentang sangat luas. Ujung Barat teritorinya adalah Mauritania di Afrika Barat dan Semenanjung Andalusia (Portugal dan Spanyol hari ini), dan ujung Timur menjejaki sebagian wilayah India dan Tiongkok. Secara otomatis, pelabuhan-pelabuhan strategis sepanjang rute perdagangan laut yang ada di wilayah tersebut juga dikuasai oleh kaum Muslim.
Pentas perdagangan laut pun dihadiri pemain baru dari kalangan kaum Muslim, yang pengaruhnya tersohor ke segala penjuru, dari Istana Kaisar Tiongkok sampai singgasana Maharaja Sriwijaya.
GAUNG ISLAM SAMPAI KE SRIWIJAYA
Aktivitas kemaritiman kaum Muslim di Timur Jauh telah dicatat oleh para sejarawan dan kartografer Muslim semisal Abu Zayd as-Sirafi, al-Mas’udi, al-Ramhurmuzi, al-Ya’qubi, dan lain-lain. Sebagai contoh, al-Ramhurmuzi mencatat dalam kitabnya ‘Aja’ib al-Hind, bahwa kaum Muslim telah menancapkan relasi ekonomi dengan penguasa Zabaj, sebutan mereka untuk Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Para pedagang Muslim yang menghadap penguasa Sriwijaya, catat al-Ramhurmuzi, melihat tradisi protokol kerajaan yang mengharuskan siapapun yang ingin menghadap Maharaja Sriwijaya untuk “bersila” (برسيلا). Mungkin kata “bersila” ini termasuk di antara kosakata bahasa Melayu yang digunakan dalam teks-teks Arab klasik (al-Ramhurmuzi, ed. Van der Lith, 1883-6: 154).
Bukti lain yang menunjukkan kuatnya eksistensi kaum Muslim era Khilafah Bani Umayyah di Sriwijaya bisa dilihat dari segi numismatik. Fadli Zon, seorang politikus dan budayawan di Indonesia, memiliki sejumlah koleksi dirham Khilafah Bani Umayyah yang ia sebut berasal dari Sumatera Utara. Saat itu, kota pelabuhan di Sumatera Utara seperti Barus merupakan kota dagang yang ramai dan menjadi pusat produksi kapur barus yang diekspor ke seluruh dunia, dan ia termasuk ke dalam teritori Sriwijaya.
Di antara dirham Bani Umayyah milik Fadli Zon yang ditemukan di Sumatera Utara dicetak pada masa Khalifah al-Walid bin ‘Abdul Malik (96 H/714 M) dan Khalifah Hisyam bin ‘Abdul Malik (115 H), juga beberapa dirham Umayyah lain yang belum ia identifikasi.
Namun, apakah relasi antara Khilafah Bani Umayyah dengan Sriwijaya hanya terpaut di masalah ekonomi?
S.Q. Fatimi, sejarawan Muslim asal Pakistan, menerbitkan riset yang ia rilis pada 1963 berjudul Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East. Problem utama yang ia pecahkan dalam risetnya ini adalah identifikasi sosok “Raja India” (Malik al-Hind). Sosok “Raja India” ini termuat dalam dua riwayat yang dilampirkan Amr bin Bahr al-Jahizh di Kitab al-Hayawan dan Ibn ‘Abdi Rabbih dalam kitabnya al-‘Iqd al-Farid.
Riwayat yang pertama dalam redaksi al-Jahizh adalah pembukaan surat yang ditulis “Raja India” kepada Khalifah pertama Bani Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Al-Jahizh menukil riwayat ini dari al-Haytsam bin ‘Adi, yang al-Haytsam dapatkan dari Abu Ya’qub ats-Tsaqafi, dimana Abu Ya’qub mendengar riwayat ini dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair yang melihat sebuah surat dari “Raja India” dalam kantor arsip (diwan) Mu’awiyah. Menurut ‘Abdul Malik bin ‘Umair, surat itu berbunyi:
من ملك الهند الذي على مربطه ألف فيل و بنيت داره بلبن الذهب و الفضة و الذي تخدمه بنات ألف ملك و الذي له نهران يسقيان الاوه إلى معاوية
“Dari Raja India, yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Mu’awiyah…”
Adapun riwayat kedua yang dilampirkan Ibn ‘Abdi Rabbih melalui otoritas Abu ‘Abdullah Nu’aym bin Hammad jauh lebih lengkap, dan kali ini ditujukan kepada khalifah lain dari Bani Umayyah, yakni ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
بعث ملك الهند إلى عمر بن عبد العزيز كتابا فيه: من ملك الأملاك الذي هو إبن ألف ملك و الذي تحته بنت ألف ملك و الذي في مربطه ألف فيل و الذي له نهران ينبتان العود و الألوه و الجوز و الكافور الذي يوجد ريحه على مسيرة اثنى عشر ميلا إلى ملك العرب الذي لا يشرك بالله شيأ أما بعد فإني قد بعثت إليك بهدية و ما هي بهدية ولكنها تحية و أحببت أن تبعث إلي رجلا يعلمني الإسلام و يوقفني على حدوده و السلام
“Raja India mengirim surat kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz: Dari Raja Diraja yang adalah keturunan seribu raja, yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja, yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz), yang tidak menyekutukan Allah dengan segala sesuatu. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan, dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya, wassalam.”
Riwayat yang kedua ini juga dimuat oleh Abu al-Mahasin Yusuf bin Taghribir di dalam kitabnya an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, dengan redaksi tambahan di akhir riwayat:
و قد أهديت لك هدية من المسك و العنبر و الكافور فاقبلها فإنما أنا أخوك في الإسلام
“Saya mengirimkan hadiah kepada anda berupa bahan musk, ambar, dan kapur barus. Terimalah, karena saya adalah saudara anda dalam Islam.”
Masalah yang kemudian berusaha dipecahkan Fatimi adalah, siapa sesungguhnya “Raja India” yang diriwayatkan mengirim surat kepada Mu’awiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz? [Bersambung ke Bagian Kedua]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan: S.Q. Fatimi, Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East, Islamic Studies, Vol. 2 No. 1 (1963)