Bagaimanakah Seharusnya Muslim Memandang Sekularisme dan Materialisme? Review Buku: “Pandangan Hidup Muslim” Karya Buya Hamka
Penulis : M Rafi Fakhriananda
Bagaimanakah kiranya pandangan ideal seorang muslim ketika melihat hamparan sawah hijau yang sedap dipandang mata? Bagaimanakah pikiran seorang muslim ketika di hadapannya terbentang samudra tak bertepi dan angkasa tak beratap?
Ketika seorang muslim melihat gerak alam, tidaklah elok apabila ia hanya berpikir secara mekanistik belaka. Seakan gempa hanyalah sebatas pergeseran lempeng tektonik bumi dan tsunami hanyalah sebatas air laut yang naik ke permukaan.
Memang tak dapat ditolak bahwa berbagai kejadian di alam semesta ini terjadi layaknya sebuah siklus yang alamiah. Contohnya adalah air yang berasal dari laut kemudian menjadi uap karena terik sinar matahari, menggumpal menjadi awan di langit dan tinggal menunggu waktu untuk turun kembali ke bumi sehingga bermanfaat sebagai penyubur tanah dan tanam-tanaman.
Siklus tersebut memang nyata adanya, tetapi tidak berhenti di titik itu. Buya Hamka menjelaskan bahwa apabila kita hanya berpikir secara mekanistik, maka itu sama saja merendahkan derajat alam dengan menganggapnya hanya sebagai mesin. Walhasil, hal ini berpotensi untuk membuka celah tindakan eksploitasi berlebihan terhadap alam itu sendiri.
Sebaliknya, Buya menekankan bahwa alam semesta beserta apa-apa yang dikandungnya adalah bagian dari ayat Allah. Kata “ayat” sendiri memiliki padanan yang sama dengan kata “tanda”. Dengan demikian, ketika kita menggunakan frasa “ayat-ayat Allah”, maka frasa tersebut memiliki makna yang serupa dengan “tanda-tanda Allah”.
Ayat-ayat Allah dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu ayat kauniyah dan ayat qauliyah. Secara bahasa, ayat kauniyah bermakna ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan secara tekstual, sedangkan ayat qauliyah bermakna ayat yang difirmankan Allah secara tekstual, yakni al-Qur’an.
Dalam makna istilahnya, ayat kauniyah dapat dipahami sebagai fenomena alam karena konsep alam dalam pandangan hidup seorang muslim adalah ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah juga. Oleh karena itu, seorang muslim akan memiliki pandangan yang berbeda ketika dihadapkan kepadanya rupa-rupa alam semesta. Seorang muslim harus mampu berpikir jauh ke belakang fenomena alam itu.
Ia tidak boleh berhenti dengan menyimpulkan bahwa semua gerak dalam alam semesta terjadi begitu saja tanpa perencanaan sama sekali. Menurut Buya, seorang manusia dengan akal budi sempurna pasti akan menyadari bahwa segala keteraturan selalu mensyaratkan adanya yang mengatur.
Dalam contoh sederhana, kita dapat melihat bagaimana canggihnya program komputer. Di balik kecanggihan tersebut, terdapat logika pemrograman yang begitu teratur sehingga suatu program dapat berjalan dengan baik.
Ketika memikirkan program komputer yang sangat teratur, muncul di benak kita sosok pemrogram yang menyusun tata aturan sehingga program tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Mustahil dapat wujud suatu program tanpa ada pemrogram dan mustahil wujud suatu keteraturan tanpa adanya yang mengatur.
Dengan demikian, bagaimana ketika manusia melihat perputaran bumi terhadap matahari yang apabila sedikit saja bergeser atau melenceng dari aturannya, maka akan menyebabkan kerusakan yang dahsyat? Bukankah itu merupakan suatu keteraturan juga? Dan bukankah merupakan suatu kemustahilan jika di balik keteraturan tersebut tidak ada zat yang mengatur?
Sekarang, kita beranjak pada tubuh kita sendiri. Darah yang mengalir ke seluruh tubuh dan jantung yang dengan ritme tertentu berdetak setiap saat. Bukankah itu juga merupakan suatu keteraturan? Dan bukankah sungguh mustahil apabila tidak ada zat yang mengaturnya?
Inilah yang disebut Buya Hamka sebagai pandangan hidup muslim. Tak lain dan tak bukan adalah bahwa ada Allah yang Maha Cerdas dan Maha Mengatur di balik segala rupa-rupa fenomena alam semesta.
Oleh karena itu, seorang muslim secara konsekuen akan menolak paham sekularisme. Buya menegaskan bahwa paham sekular hendak memandang alam semesta ini berdiri secara mandiri tanpa ada zat yang mengaturnya.
Ketika dihubungkan dengan pendapat Cak Nur, dalam bukunya yang berjudul, “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan”, beliau menyatakan bahwa sekularisme adalah sumber dari segala imoralitas dan akan berujung pada paham ateisme.
Selain menjelaskan pandangan hidup muslim secara umum, Buya Hamka juga menjelaskan konsekuensi-konsekuensi khusus akibat berlakunya pandangan hidup seorang muslim. Di antaranya adalah penolakan terhadap paham “semata-mata benda”.
Dalam buku ini, Buya Hamka secara tegas menolak paham materialisme. Buya menjelaskan bahwa konsekuensi dari syahadat Laa Ilaaha Illallah adalah secara otomatis menolak paham kebendaan semata.
Pendirian syahadat tersebut akan mengisi ruang batin manusia. Sebab, kehidupan di dunia ini terdiri dari dua macam, yaitu hidup ‘adij dan hidup maknawi. Hidup yang semata gerak badan saja dan hidup yang memiliki nilai mulia. Beliau mengibaratkan bahwa ruang batin manusia yang hidupnya materialistis akan menimbulkan kehidupan tanpa jiwa. Manusia menjadi dingin jiwanya. Walaupun badannya besar, tetapi jiwanya kerdil. Akibatnya, hidupnya menjadi sia-sia karena tertipu fatamorgana dunia.
Menafikan pendirian syahadat dan mengagungkan materialisme akan mengakibatkan manusia kehilangan nilai spiritual yang membimbing mereka dalam beraktivitas. Kerja hanya menjadi sekadar mengumpulkan uang dan penyambung upah. Makan sekadar menjadi pengganjal perut dan harta hanya menjadi sekadar gengsi belaka.
Padahal, seorang muslim harus berpandangan menyeluruh dan tauhid. Alam dunia adalah satu kesatuan dengan alam akhirat sehingga mengumpulkan harta, makan, dan bekerja juga pasti mempunyai dampak berdimensi ukhrawi, bukan sekadar duniawi.
Muslim sejati akan menggunakan hartanya untuk berjihad serta berfungsi sosial. Ia akan mengharap ridha Allah semata. Ia menyadari bahwa ia mendapat harta dengan andil orang-orang di sekitarnya, maka ia tak akan menikmati hartanya sendirian dan menumpuknya sehingga menjadi sekadar pemuas nafsu.
Sebaliknya, seorang muslim sejati akan menggunakan hartanya untuk menolong fakir miskin, membangun yayasan sosial, atau mendirikan sekolah. Ia tidak ingin menjadi manusia yang rakus. Justru sebaliknya, ia ingin kembali memanfaatkan harta yang didapatnya untuk kemaslahatan masyarakat.
Buku setebal 268 halaman ini sangat menarik dan relevan untuk dibaca. Terlebih, dalam zaman modern yang semuanya serba otomatis, manusia menjadi sangat rawan kehilangan kemanusiaannya. Manusia mulai mengalami dehumanisasi. Kerjanya semakin banyak dan rumit, tetapi jiwanya kering karena kekurangan nilai spiritual.
Dalam buku ini, Buya menjelaskan pandangan hidup muslim atas alam semesta, seni, ilmu pengetahuan, hingga kebudayaan. Selain itu, bahasa dan diksi melayu-indonesia yang kerap digunakan Buya mampu memunculkan kesan sastrawi ketika membaca buku ini.
Hal tersebut tidak mengherankan mengingat Buya Hamka adalah seorang sastrawan, ulama, dan juga politikus sehingga membaca buku ini jauh dari kesan berat dan kaku. Justru sebaliknya, bahasa yang sastrawi menjadikan buku ini lebih berestetika sehingga cocok dibaca oleh berbagai kalangan.[]
Rincian Buku:
Judul Buku: Pandangan Hidup Muslim
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Penerbit: Gema Insani Press
Cetakan: 2018 (cetakan ke-4) / 268 halaman