Kisah Kekejaman PKI terhadap Ulama, Santri, dan Simbol-Simbol Agama
Bila menilik sejarah Indonesia, apa yang dilakukan oleh PKI menjadi fakta tak terbantahkan atas ‘benci’ dan ‘jijik’nya kaum merah terhadap agama, simbol-simbol agama, para pemeluknya, serta para ulama. Salah satu penyebabnya adalah, kaum beragama terutama Kiai termasuk kelompok borjuis feodal, musuh golongan proletar.
Contohnya dalam peristiwa penghinaan Sunan Ampel, penikaman atas tokoh-tokoh agama, pementasan berjudul “Matine Gusti Allah”, “Sunate Jibril”, dan “Gusti Allah Dadi Manten” yang dipelopori oleh LEKRA, penginjakan dan penghinaan Al-Qur’an, perusakan dan pembakaran Masjid, hingga melumpuhkan pesantren dan pembantaian para Kiainya.
Dalam menghadapi kekuatan pesantren, PKI memiliki slogan, “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!”. Bukan hanya slogan, bukan pula gertakan, tetapi benar-benar terlaksana. Strateginya: teror, tangkap, dan bantai.
Penghinaan agama menjadi ciri khas PKI, yang bahkan dilakukan secara terang-terangan. Salah satunya dialami oleh KH Soelaiman Zuhdi Affandi ketika sedang i’tikaf di masjid. Ia ditangkap oleh gerombolan PKI, setelah diseret keluar dari masjid dan dimasukkan sebagai tahanan di Pabrik Gula Gorang-Gareng. Beliau kemudian dipindahkan ke Magetan dengan dinaikkan kereta api dan berjejal dengan tahanan lain. Setibanya di Desa Soco, para tahanan (termasuk K.H. Soelaiman) disiksa. Karena keperkasaannya, beliau tidak mudah dibunuh. Orang-orang PKI yang jengkel kemudian memasukkannya ke dalam sumur tua dalam keadaan hidup-hidup.
Lain lagi dengan cerita yang dialami KH Hamzah. Saat mendengar pemberontakan PKI di Madiun, Kiai ini hendak pergi ke Magetan. Tetapi ketika baru sampai di Desa Bathokan, ia telah disergap PKI, kemudian ditahan beberapa hari tanpa diberi makan. Tak lama kemudian, ia dikubur hidup-hidup.
Pendek kata, semua pesantren besar maupun kecil, terutama yang dipimpin oleh Kiai kharismatik menjadi sasaran FDR PKI. Pesantren Tegal Rejo yang didirikan oleh para Prajurit Pangeran Diponegoro di Magetan yang dipimpin oleh Kiai Imam Mulyo pun tidak lepas dari serbuan PKI.
Pada 18 September, pesantren ini dikepung oleh pemberontak, tetapi Kiai Imam Mulyo terus bertahan dengan para santrinya. Kepada para santri, beliau menasehati agar tidak menyakiti PKI. Padahal saat itu PKI sudah mulai melempar dan menembaki pesantren. Dengan kekuatan kerohanian disertai pekikan “Allahu Akbar” semua kelompok yang hendak menyerbu pesantrennya itu bisa dilumpuhkan dan kemudian melarikan diri.
Pada hari berikutnya, FDR PKI melakukan serangan lagi bahkan dengan senjata yang lebih lengkap. Pesantren ditembaki bahkan juga dilempari puluhan granat. Jika para santri dan Kiai tak kunjung keluar, PKI menggunakan taktik lain dengan mengajak berunding. Di dalam perundingan itulah, mereka ditangkap.
Dari berbagai tempat penyiksaan, terdapat tempat yang sangat mengerikan yaitu lubang pembantaian di sumur Soco. Di sana ditemukan beberapa sumur yang digunakan untuk membasmi korban terutama para penduduk Islam. Sekitar 108 muslim dimasukkan lubang pembantaian sedalam 12 meter itu. Korban ini kemudian digali beberapa tahun sehingga sudah sulit diidentifikasi jati dirinya.
Dari kalangan pejabat pemerintah juga banyak yang menjadi korban keganasan PKI. Mereka tidak sempat menyelamatkan diri, karena pembantaian dilakukan secara serentak di kota-kota sekitar Madiun, mulai dari Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Ngawi dan Tulungagung. Terutama daearah-daerah yang selama ini menjadi basis PKI.
Para pimpinan pemberontak terus memburu para Kiai ke daerah lain sampai ke Ngawi. Di daerah yang berbatasan dengan Sragen Jawa Tengah itu, PKI menangkap semua kelompok yang di luar PKI, terutama kelompok agama. Di Walikukun Ngawi, terdapat seorang kiai sepuh bernama Kiai Dimyati yang dikenal dengan Mbah Ngompak.
Ketika Kiai sepuh ini sedang melakukan sembahyang tahajud di dalam mesjid di Pesantren Tanjung Sari yang diasuhnya itu tiba-tiba disergap gerombolan Pesindo. Mbah Ngompak diseret keluar masjid, setelah itu diikat lalu diseret dengan kuda melalui jalanan sepanjang 10 KM. Ajaibnya, Kiai Dimyati masih hidup. Kemudian diseret lagi hingga sampai disebuah sungai yang curam, badan Mbah Ngompak yang sudah babak belur itu dilempar ke dalam sungai hingga menemui ajalnya di sungai.
Pembantaian lain dilakukan gerombolan PKI pada jemaah Kiai Zaenal Abidin. Untuk menjaga setiap kemungkian Kiai beserta 25 orang santrinya selalu berjaga di masjid hingga semalam suntuk melakukan berbagai riyadloh untuk keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sudah lama gerombolan pemberontak mengincar kiai beserta santrinya itu. Ketika sudah lama ditunggui dan tidak mau keluar dari masjid, maka mereka diseret keluar secara paksa. Kemudian mereka digiring disekap ke dalam sebuah rumah penduduk yang sudah kosong. Dalam keadaan tersekap itu rumah dibakar sehingga kiai beserta santrinya itu semuanya hangus terbakar.
PERSITIWA KANIGORO
13 Januari 1965. Di desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, terdapat sebuah masjid, beberapa langgar, Sekolah Rakyat Islam (SRI) dan Sekolah Menengah Islam (SMI). Di sana para anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) sebanyak 217 orang ditambah 36 orang panitia dari PII sedang menjalani program mental training. Acara itu sendiri didukung oleh warga dan aparatur setempat.
Menjelang subuh, para peserta hendak bersiap untuk shalat selepas santap sahur. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara tembakan sebanyak tiga kali, disertai teriakan-teriakan yang mengejutkan para peserta dan panitia. Teriakan seperti, “Bunuh!”, “Ganyaang!”, “Hayo masuk!”, “Awas jangan sampai bisa lari, kalau lari bunuh saja!”. Masa yang tiba-tiba merangsek masuk itu sambil membawa celurit, golok, linggis, palu-besar, belati, dan senjata api. Seluruh peserta dan panitia terkejut dan panik, sementara gerombolan penyerang itu melakukan segala serangan.
Di rumah Bapak Moegit, para peserta putri diserang dan dilecehkan. Saat itu, sebagian peserta putri ada yang sedang mengaji, tidur-tiduran, dan menulis. Mereka diserang oleh gerombolan laki-laki, menggeledah paksa peserta putri (santriwati) seraya menggerayangi tubuh mereka, salah satu korbannya adalah Siti Khotijah, anggota PII Kertosono. Darmiati anggota PII cabang Gurah, Kediri, bahkan ditempeleng. Semua buku catatan, buku agama maupun Al-Qur’an mereka dirampas, diinjak-injak dan dimasukkan ke dalam karung. Disertai caci-maki para peserta putri dipaksa untuk keluar dan berbaris di halaman.
Mereka juga menyerbu dan menyerang santri yang sedang shalat. Anis Abiyoso, Ketua Departemen Kader PII wilayah Jawa Timur adalah salah satunya. Ia menuturkan,
“Saya membaca shalawat dan salam. Salat pun selesai, dan sebuah tendangan menghantam punggung saya. “Bangun, ayo bangun!” Beberapa orang berpakaian lusuh bersenjata tajam menangkap saya. Saya sempat melihat salah seorang di antara mereka mengambil Al-Qur’an, merobek-robeknya, membantingnya ke lantai, dan menginjak-injak sambil berteriak, “Iki sing marakke gudiken!” (Ini yang menyebabkan penyakit gudik, red). Saya pun diseret keluar ruangan”.
Di dalam masjid, mereka masuk tanpa melepas alas kaki dan mengotori masjid. Al-Qur’an dan buku-buku lain dilemparkan. Jamaah Shalat Shubuh dianiaya. Ditendangi, dan diseret keluar masjid. Seraya menggiring para korbannya untuk berbaris, mereka mengatakan, “Bunuh!”, “Ganyang!”, Hidup PKI!”, “Hidup BTI!”
Demikianlah, komunisme telah menggiring manusia menjadi agnostik, bahkan ateis. Namun, ingkar terhadap Tuhan saja tidak cukup. Ingkar harus dibarengi dengan caci-maki, yang kemudian menjadi penistaan.
Maka, komunisme bukan hanya sebuah ideologi yang harus dijauhi, namun juga harus dihancurkan. Meski eksistensinya hari ini harus tiarap, namun ia tak boleh menjadi solusi yang diadopsi oleh umat Islam ketika ingin melawan dan meruntuhkan berbagai ketidakadilan hidup yang terjadi akibat diterapkannya kapitalisme. Wallahu a’lam.[]
Sumber:
Andi Rahman Alamsyah dan Bayu A. Yulianto. Gerakan Pemuda Ansor: Dari Era Kolonial Hingga Pascareformasi (2018). Pustaka Obor: Jakarta.
Beggy Rizkiansyah, dkk. 2017. Dari Kata Menjadi Senjata : Konfrontasi Partai Komunis Indonesia dengan Umat Islam. Penerbit Jurnalis Islam Bersatu (JITU): Jakarta.
Budi Susanto S.J., 2003. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. Penerbit Kanisius: Tangerang Selatan.
DZ. Abdul Mu’nim. 2014. Benturan NU-PKI 1948-1965. Pengurus Besar Nadhatul Ulama: Jakarta.