BudayaSejarah

Mengapa Jazirah Arab Menjadi Tempat Sempurna Bagi Lahirnya Peradaban Islam?

Share the idea

Gersang dan panas. Itulah 2 kata yang cocok menggambarkan situasi semenanjung Arab. Pada musim panas, suhu udara dapat meningkat hingga lebih dari 37 oC dengan curah hujan yang sedikit. Lanskap berpegunungan, gumuk-gumuk pasir tiada akhir, yang diperparah dengan sumber air yang jarang, menjadikan semenanjung Arab sulit untuk menunjang berbagai kehidupan.

Tandusnya semenanjung Arab membuat berbagai penguasa tidak berminat untuk menguasai daerah ini. Alexander “The Great” (dalam perjalanannya menuju Persia dan India pada 300-an SM) hanya sekedar melewati daerah ini tanpa berusaha menaklukkannya. Ya, sekedar lewat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 20-an SM.

Kondisi tersebut menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa yang “terlindungi” dari serangan bangsa lain, sekaligus menjadikannya bangsa yang nomaden. Mereka hidup berpindah untuk mencari lahan subur demi bertahan hidup.

Air dan lahan subur, 2 hal yang sangat dicari kala itu. Pada musim panas, mereka tinggal selama beberapa bulan di sekitar oasis dan sumur-sumur. Jika musim panas berakhir, mereka pindah ke bagian Selatan (dekat Yaman), tempat yang lebih sering turun hujan dan tersedia lahan subur sebagai sumber kehidupan bagi ternak, tumbuhan, dan manusia.

Dengan kondisi yang serba sulit, kerjasama masyarakat merupakan sebuah keharusan – jika ingin bertahan hidup. Maka, hubungan antar kerabat menjadi sebuah identitas vital. Beberapa keluarga membentuk qabilah. Dari beberapa qabilah, mereka membentuk sebuah suku. Kepala suku mereka dipanggil dengan sebutan Syaikh.

Solidaritas antar suku merupakan prioritas utama. Hal ini memberikan setiap individu yang menjadi bagian dari suku memiliki perasaan terlindungi, mendapat dukungan, dan kemudahan akses dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Karena hal tersebut, demi melindungi anggota suku, mereka rela memperebutkan lahan sebagai sumber-sumber ekonomi. Dalam tingkat yang lebih ekstrim, tak jarang terjadi perang antar suku. Jika perselisihan terus berlanjut, maka perang antar suku dapat terjadi hingga bertahun-tahun.

Karena memiliki lingkungan yang “terisolasi”, mereka menyebut semenanjung tersebut sebagai jazirah Arab (pulaunya orang-orang Arab), menunjukkan kesan bahwa wilayah mereka adalah sebuah wilayah yang independen dari intervensi bangsa lain.

Lingkungan yang keras ini tak selamanya memberikan kerugian. “Isolasi” tersebut mencegah bangsa-bangsa di sekitarnya (terutama Persia dan Romawi – sebagai negara adidaya saat itu) untuk menginvasi tanah Arab.

Catatan: Dari sini kita dapat memahami, bahwa kondisi lingkungan bangsa Arab yang “keras”, penuh perjuangan, dan sulit untuk diintervensi oleh bangsa lain menjadikannya sebuah wilayah ideal bagi tumbuhnya sebuah peradaban baru. Di sisi lain, kondisi tersebut telah menempa mereka menjadi bangsa yang tangguh. Hal ini memberikan peran yang sangat besar terhadap penyebaran Islam di seluruh penjuru dunia.

Di sisi lain, Romawi dan Persia (sebagai dua imperium terbesar saat itu) dari tahun ke tahun senantiasa berselisih dan saling melemahkan. Bangsa Arab menyadari, bahwa Persia dan Romawi merupakan dua kekuatan besar yang dapat dikatakan mustahil untuk dikalahkan. Keterlibatan mereka dalam perang, hanya akan merugikan mereka.

Alih-alih berniat melakukan ekspansi untuk memberikan lingkungan hidup yang lebih baik atau membantu salah satu pihak memenangkan persaingan, mereka lebih tertarik untuk berdagang dengan kedua bangsa tersebut. Hal ini tentu lebih menguntungkan.

Dari sini kita dapat melihat, bahwa lingkungan dan budaya bangsa Arab, memang sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh Allah, Sang Maha Genius. Dalam lingkungan yang terisolasi ini, sebuah gerakan akan bangkit pada abad ke-7 M dan membawa dampak yang luar biasa besar terhadap negara-negara sekitarnya, dan pada akhirnya, mempengaruhi seluruh dunia. Gerakan tersebut akan mengubah takdir bangsa Arab selamanya, mengembangkan dan menggunakan kemampuan unik mereka, serta menghapuskan budaya-budaya negatif sebagai bangsa pengembara yang mudah tersulut perang.

Faktor budaya, iklim, geografi, sekaligus politik menjadi sebuah lingkungan ideal bagi tumbuh kembangnya Islam, dan bangkit sebagai sebuah kekuatan dunia lebih cepat daripada gerakan, agama, atau kekaisaran apapun dalam sejarah dunia.

Pertumbuhan eksponensial dalam kekuasaan dan peradaban ini bukanlah sesuatu yang dapat dibayangkan oleh bangsa Arab kala itu, yang sibuk dengan perjuangan bertahan hidup. Semua ini bermula dari kedatangan seorang lelaki yang membawa sebuah pesan revolusioner serta janji akan takdir yang baru bagi orang-orang Arab dan seluruh umat manusia: Muhammad.

Sumber:

Felix Y. Siauw. 2010. Beyond The Inspiration. Khilafah Press. Jakarta.

Lost Islamic History. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira. Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *