Ketika Muawiyah Disandingkan dengan Machiavelli
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh LKSP (Lembaga Kajian Strategi Pemerintahan) di Ciputat pada Oktober 2018 tentang Bendera Tauhid, penulis sedikit menyinggung filsafat Machiavelli mengenai “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan” (the end justifies the means) yang hendaknya tidak dijadikan landasan perbuatan dan pembenaran atas insiden pembakaran bendera tauhid (yang katanya milik ormas tertentu).
Setelah pemaparan hal tersebut, salah seorang panelis membalas dengan anggapan, bahwa filsafat politik Machiavelli belum tentu buruk, karena dalam sejarah Islam, ada sosok yang jauh lebih buruk dari Machiavelli, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan. Sebagai khalifah pertama dari dinasti Umayyah, menurutnya Muawiyah telah melakukan perbuatan yang teramat dzalim dan jauh lebih parah dari sekedar kelakuan sang pemikir politik dari Italia pada abad ke-16, Niccolo Machiavelli.
Bagaimana mungkin Muawiyah yang masih digolongkan sebagai Sahabat Nabi dicap lebih buruk dari realis-sekuler macam Machiavelli? Sementara Muawiyah sendiri pernah didoakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Ya Allah, ajarilah Muawiyah Al Quran dan ilmu hitung serta lindungilah ia dari azab.” (dihasankan oleh al-Tirmidzi, as-Suyuthi 2014: 209)
Dalam pernyataannya, panelis tersebut megutarakan bahwa Machiavelli adalah orang baik yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Memang, Machiavelli merupakan seorang pemikir Italia yang menulis karangan-karangan seputar filsafat politik yang kemudian ia persembahkan sebagai nasihat untuk penguasa Italia saat itu, Lorenzo de’ Medici. Machiavelli dikenal sebagai orang pertama yang memisahkan antara etika dengan politik. Sebelum Machiavelli, para pemikir politik Barat seperti Plato, Aristoteles, hingga Thomas Aquinas telah menekankan pentingnya etika dalam berpolitik, karena etika yang berasal dari agama adalah hukum abadi (eternal law) yang bersumber dari Tuhan.
Machiavelli yang hidup dalam masa Renaisans, yang didukung dengan suasana politik antar-penguasa di jazirah Italia yang penuh persaingan, menganggap justru etika beragama yang dipakai dalam politik merupakan sumber kelemahan bagi penguasa. Menurutnya, para penguasa haruslah bersikap kejam agar ditakuti oleh rakyatnya dan licik agar lihai berkontestasi dengan penguasa lain. Di sisi lain, Machiavelli masih bersikap pragmatis, karena di saat yang sama, ia masih menganggap bahwa etika beragama juga menjadi faktor yang teramat penting ketika berkuasa, misalnya ketika ingin mempersatukan rakyat (Machiavelli 2001: 30-35).
Jika panelis tersebut menyatakan bahwa Machiavelli berjuang untuk bangsanya, maka hal ini justru bertolak belakang dengan alasan utama Machiavelli menulis “Il Principe”. Sejatinya Il Principe ditulis oleh Machiavelli hanya untuk mendapat pengampunan dari Lorenzo de’ Medici, sehingga ia terbebas dari pengasingan. Lorenzo pun tidak mengindahkan pemikiran Machiavelli dan tetap menganggapnya sebagai musuh politik.
Maka, pantaskah Machiavelli dianggap lebih baik dari Muawiyah? Mungkin banyak orang yang menganggap buruk Muawiyah karena sikap politiknya yang bertentangan dengan Ali dalam perkara pembunuhan Utsman, atau dalam perkara pengangkatan anaknya Yazid sebagai khalifah. Dalam hal ini perlu ditekankan, bahwa sikap-sikap Muawiyah yang seperti itu merupakan hasil ijtihadnya untuk menjaga persatuan dan keharmonisan umat Islam (Alkhateeb 2016: 73). Andai pun kita menganggap ijtihadnya keliru, maka Muawiyah tetap mendapat satu pahala, insya Allah. Terlebih lagi jika menengok keadaan umat Islam tatkala Muawiyah memimpin selama 40 tahun sebagai pemimpin umat Islam, kaum Muslimin telah merasakan kebaikan pemerintahannya, serta merasa damai tentram di bawah kepemimpinannya (Utsman al-Khamis 2016: 221-224).
Oleh karena itu, menjadi sebuah tindakan yang sangat sembrono dan gegabah jika kita men-jarh (diskredit) Muawiyah, sedangkan di saat yang sama justru men-ta’dil (kredit) Machiavelli. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Sangat jauh!
Sumber:
Firas Alkhateeb. 2016. The Lost Islamic Histroy. Bentang Pustaka: Yogyakarta.
Fuad Muhammad Zein. 2016. Kritik Konsep Politik Machiavelli dalam Perspektif Etika Politik Islam: Perbandingan Dengan Teori Etika Politik al-Mawardi. Jurnal Mahkamah, Vol 1 No. 2 (Desember 2016), h. 489-507.
Imam as-Suyuthi. 2014. Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah. Qisthi Press: Jakarta.
Niccolo Machiavelli. 2001. The Prince. Pennsylvania University: Philadelphia.
Utsman bin Muhammad al-Khamis. 2016. Inilah Faktanya: Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi sampai Terbunuhnya al-Husain. Pustaka Imam Syafi’i: Jakarta.