Haji Agus Salim dan Fenomena Hilangnya Kepercayaan Diri Umat Islam
Penulis : Ibnu Aghniya
Singkirkan dulu fakta tentang kemiskinan, kelemahan, dan keterbelakangan sebagai penyakit yang mendera umat Islam. Beberapa fakta tersebut hanyalah ekses negatif dari penyakit kronis yang sesungguhnya. Sebuah penyakit yang bukan saja merusak secara fisik-materiil, tapi juga melemahkan kepercayaan diri muslimin Indonesia sebagai kekuatan potensial untuk memainkan peranan vital di kancah dunia.
Penyakit itu adalah fenomena bernama minderewaardigheidscomplex atau lazim dikenal sebagai perasaan inferior. Sekian lama hidup dalam penjajahan Barat rupanya bukan saja memeras habis apa yang dimiliki umat Islam, tetapi juga mewariskan kepada para generasi penerus mentalitas sebagai inlander yang hanya bisa mengekor dan mengamini apapun yang datang dari Barat. Belum keren rasanya jika belum mengikuti gaya hidup atau bahkan mode terbaru yang dijajakan oleh peradaban Barat.
Sedangkan berbagai hal yang pada hakikatnya adalah jati diri seorang muslim, dianggap usang dan ketinggalan zaman. Walhasil, tak sedikit yang kemudian merasa malu bila menerapkannya apalagi menunjukkannya. Prinsip “isyhadu bi anna muslimuun – saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam” yang seyogyanya dipegang teguh oleh seorang muslim, tercerabut secara kasar dan berganti dengan slogan lain yang membanggakan peradaban Barat.
Ternyata, mentalitas inlander yang menjadikan kita selalu merasa inferior itu bukan saja tercermin pada fenomena hari ini. Jauh sejak negeri ini masih hidup di bawah telapak kaki Belanda, sikap inferior itu juga muncul dalam diri masyarakat pribumi pada umumnya dan kaum muslim Hindia pada khususnya. Hal ini seringkali kita jumpai dalam foto era kolonial, misalnya bahasa tubuh seorang pribumi ketika berhadapan dengan seorang Belanda yang senantiasa berjongkok dan tidak berani menatap langsung pada “tuannya” tersebut. Meski tidak semua, namun inilah fenomena yang terjadi pada bangsa yang terjajah.
Dalam majalah Het Licht terbitan tahun 1925, Haji Agus Salim berkomentar bahwa rasa rendah diri masyarakat pribumi bukan semata diidap oleh kalangan jelata, tapi juga kalangan intelektualnya.
Ketika orang-orang Belanda mengatakan pakaian pribumi adalah “pakaiannya para jongos” dan memperkenalkan celana panjang serta jas sebagai “pakaian berperadaban tinggi”, dengan latah kalangan intelektual kita ketika itu langsung menggunakan setelan Eropa yang dianggap “terhormat”. Dan ketika pihak Barat kemudian memuji beskap dan surjan Jawa sebagai “busana nasional yang indah-rapi”, mode berpakaian mereka pun ikut berubah. Banyak orang yang mulai memakai kembali “pakaian nasional” tersebut.
Berkata Haji Agus Salim “Segala itu menundjukkan kurang rasa harga diri, bahkan menundjukkan sikap takluk dan tunduk sampai pada inti hati sanubari”.
Fenomena bergantinya mode pakaian itu hanyalah salah satu contoh kecil. Dalam lingkup yang lebih luas, bahaya ini akan memunculkan kalangan intelektual yang melihat Islam sebagai “pusaka yang usang” yang tidak lagi relevan dengan zaman. Sebab, Islam kala itu oleh gubernemen (pemerintah) dilabeli dengan berbagai tudingan yang menghinakan, misalnya disebut sebagai ajaran yang kolot.
Seorang mohammedaansche (pengikut Muhammad) yang masih setia pada ajaran Islam juga langsung dikonotasikan dengan keterbelakangan dan tidak progresif.
Maka tak heran bila pada era pergerakan, kebanyakan dari tokoh-tokoh intelektual meskipun secara nominal beragama Islam, namun memperjuangkan gagasan yang sama sekali jauh dari Islam. Kesemuanya itu diakibatkan oleh penyakit kronis bernama minderewaardigheidscomplex yang sudah diuraikan tadi!
Pola sejarah selalu berulang. Apa yang terjadi pada hari ini, sebetulnya hanyalah repetisi dari apa yang terjadi di masa lalu.
Jika di masa lampau kebanyakan tokoh pergerakan mengidap perasaan inferior, maka tak mengherankan bila para petinggi negeri ini juga mengalami penyakit yang sama. Gagasan dan nilai yang bersumber dari peradaban Barat dipandang sebagai “yang terbaik”, sedangkan ajaran-ajaran Islam yang pada hakikatnya tak lekang oleh ruang dan waktu itu, dihinakan sedemikian rupa dan bahkan dikriminalisasi.
Sudah sepatutnyalah kita belajar dari sejarah. Tugas kita hari ini adalah mengobati penyakit kronis tersebut, untuk kemudian mengembalikan kepercayaan diri sebagai seorang muslim. Prinsip “isyhadu bi anna muslimuun” haruslah menjadi slogan yang diterapkan oleh seluruh umat Islam. Tak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia!
Sebagaimana yang dikatakan Haji Agus Salim, bahwa “…ia (Islam) diacungkan sebagai pandji yang dibanggakan, karena agama Islam sebagai agama terakhir sudah sejak tiga belas abad bukan saja telah bertahan dari setiap penilaian yang jujur, bahkan dengan jaya telah menjalani perbandingan dengan agama dan sistem manapun”.
Sebagaimana juga Muhammad al-Fatih yang senantiasa ditanamkan kepercayaan diri bahwa kelak ialah yang akan menjadi sosok pemimpin yang dijanjikan Nabi, maka hal tersebut juga harus ditanamkan pada generasi umat Islam hari ini. Dan apabila janji penaklukan Roma dirasa terlalu jauh, pastikanlah bahwa pesan semangat perjuangan itu senantiasa bergema di generasi anak, cucu, maupun generasi penerus umat Islam hari ini.
Lagi pula bukankah Nabi Muhammad telah bersabda, bahwa “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” ? []
Sumber:
Salim, Agus. Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).