PemikiranPolitikSejarah

Apa Sih Yang Diinginkan Oleh Anarkisme?

Share the idea

“Aku bebas hanya ketika semua orang lain di sekelilingku, baik laki-laki maupun perempuan, sama bebasnya. Kebebasan orang lain, alih-alih membatasi atau membatalkan kebebasanku, justru sebaliknya merupakan kondisi dan konfirmasi yang diperlukannya. Aku menjadi bebas dalam pengertiannya yang sejati hanya karena kemerdekaan orang-orang lain, begitu rupa sampai semakin banyak jumlah orang bebas di sekelilingku, makin dalam dan makin besar serta makin ekstensif kemerdekaan mereka, maka makin dalam dan makin luas pula kemerdekaanku.” (Mikhail Bakunin)

Anarkisme seringkali disalahartikan sebagai suatu prinsip yang identik dengan hal-hal yang bernuansa destruktif dan chaotic. Padahal, sebagaimana pemikiran lainnya, anarkisme bukanlah suatu bentuk pemikiran yang hanya merujuk pada satu tendensi saja. Seperti halnya pada anarkisme individualistik maupun anarkisme sosialistik.

Seluruh perbedaan tersebut kemudian disatukan oleh sebuah prinsip penolakan dan kritik fundamental mereka terhadap otoritas politik dan seluruh bentuk-bentuknya yang selama ini menghasilkan penindasan, eksploitasi, perbudakan, serta degradasi manusia yang mewujud dalam apa yang kita sebut sebagai “negara”.

Bakunin, sebagai tokoh anarkisme modern mengungkapkan,

“Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, dimana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur.”

Selaku otoritas tertinggi, negara memang merupakan sasaran utama kritik para anarkis klasik. Bagi mereka, negara merupakan alat penindasan fundamental dalam masyarakat. Karena itulah, ia harus dilenyapkan.

Perdebatan filosofis dan teoritis mengenai ketertindasan masyarakat dan revolusi muncul di antara para pemikir dan tokoh revolusioner Eropa abad ke-19, seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dll. Dalam sidang Internasionale pertama (first international) misalnya, Bakunin menentang keras gagasan-gagasan Marx, yang membawa kaum anarkis abad ke-19 kepada konflik tajam terhadap Marxisme.

Marx meyakini bahwa pada saat negara bertindak represif dan eksploitatif, itu hanyalah refleksi dari ekploitasi ekonomi dan instrumen dari kelas yang berkuasa, dimana kekuatan politik direduksi oleh kekuatan ekonomi. Bagi Marx, ekonomi merupakan tempat fundamental bagi penindasan, jauh melebihi penindasan negara. Negara memiliki independensi yang sedikit lebih banyak dibandingkan kepentingan kelas dan ekonomi. Karena itulah, negara dapat digunakan sebagai alat revolusi hanya jika berada di tangan kelas yang tepat, yakni kaum proletar.

Dengan kata lain, negara hanya melakukan dominasi pada saat berada di tangan kaum borjuis. Ketika perbedaan kelas hilang, negara akan kehilangan karakter politiknya. Argumen ini dikedepankan Marx dalam menjawab keberatan-keberatan Bakunin terhadap metode (thariqoh) untuk mencapai negara transisional (dari kapitalisme ke komunisme), sebagaimana yang dinyatakan Marx,  “…ketika dominasi kelas berakhir, tak ada lagi negara dalam pengertian politik yang berlaku sekarang.”

Di titik itu, para anarkis seperti Bakunin dan Kropotkin tidak setuju dengan Marx. Bagi mereka, negara lebih dari sekadar sebuah ekspresi kekuatan kelas dan kekuatan ekonomi. Negara memiliki logika dominasinya sendiri dan merawat dirinya sendiri (self-perpetuation).

Karena itulah, negara menjadi otonom terhadap kepentingan kelas. Alih-alih bekerja dari masyarakat menuju negara (sebagaimana dilakukan Marx) dan melihat negara sebagai akibat dari hubungan ekonomi kapitalisme dan tumbuhnya kelas borjuis, para anarkis bekerja dari negara menuju masyarakat. Negaralah yang menciptakan penindasan fundamental dalam masyarakat, dan eksploitasi ekonomi datang dari bentuk penindasan politik seperti itu. Artinya, penindasan politik menjadi sebab utama dari penindasan ekonomi.

Menurut Bakunin, kelas penguasa (the ruling class) merupakan representasi sesungguhnya dari negara. Di balik setiap kelas penguasa dalam setiap zaman, di situ ada negara. Karena negara memiliki logika otonominya sendiri, maka negara tidak pernah dapat dipercaya sebagai alat revolusi sebagaimana argumen kaum Marxis. Kekuasaan negara akan terus-menerus berlanjut dengan cara yang lebih tiranik dan tidak terbatas. Negara tersebut akan bekerja, kata Bakunin, melalui sebuah kelas penguasa baru—sebuah kelas birokratik yang akan menindas dan mengeksploitasi kaum buruh dengan cara yang sama (bahkan lebih parah) sebagaimana kelas borjuis menindas dan mengeksploitasi mereka.

Jadi, anarkisme mendasarkan pemikirannya atas pandangan bahwa negara merupakan suatu horor yang menyeramkan. Anarkisme bukanlah sesuatu yang bersifat destruksif atau anti terhadap ketataaturan, melainkan sebuah produk pemikiran yang menyatakan bahwa ketataaturan yang diciptakan negara dibangun atas dasar pemaksaan, dengan asumsi bahwa tatanan masyarakat memang harus diatur dengan cara yang demikian.

Pada akhirnya, anarkisme berusaha melenyapkan struktur-struktur yang menindas dan eksploitatif dalam masyarakat (seperti yang kapitalisme lakukan), yang kemudian bercita-cita untuk membangun tatanan masyarakat dimana semua orang memiliki keterlibatan yang bebas, setara, dan tanpa paksaan dalam membuat keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Bakunin menyampaikan,

“Saya bukanlah seorang komunis, karena komunisme mempersatukan (memaksa) masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya, karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan di dalam negara. Sedangkan saya ingin memusnahkan negara, (yaitu) pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi, dan menghancurkan mereka.”

Namun, negara yang ditolak oleh anarkisme bukan dalam artian “administrasi sistem politik”, tetapi penolakan tegas terhadap gagasan tentang suatu tatanan berkuasa yang menuntut, memaksa, dan menghendaki kepatuhan warganya (kalau perlu nyawa warganegaranya) dalam otoritas sentral yang disakralkan dalam wujud negara. Jadi, anarkisme tetaplah membutuhkan sebuah negara, namun apa yang diinginkan adalah sebuah perubahan sistem tanpa penindasan.

Anarkisme percaya bahwa manusia akan membawa manfaat terbaik bagi masyarakat jika tidak diperintah belenggu otoritas. Manusia merupakan makhluk sosial yang pada dasarnya baik, dan secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa diikat oleh intervensi kekuasaan. Kehidupan manusia, menurut mereka, selayaknya dibangun berdasarkan solidaritas.

Konsep ini tentu menimbulkan pertanyaan. Lantas, sistem alternatif apa yang ditawarkan anarkisme? Inilah titik yang akan mengenalkan kita pada berbagai aliran anarkisme, seperti anarki individualistik (kebebasan kepemilikan individu), anarki sosialistik (penolakan kekayaan pribadi dan negara), serta berbagai pemikir anarkisme seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, Max Stirner, maupun Levnikolaevich (Leo) Tolstoy.

Sayangnya, anarkisme tak memiliki metode (thariqoh) perjuangan yang jelas. Mereka hanyalah orang-orang yang tidak ingin terikat pada aturan bernegara ataupun hirarki tertentu yang dianggap menindas. Kebebasan itu kemudian diekspresikan pada cara-cara yang tidak dibenarkan (oleh negara). Ketidakjelasan metode itu juga memaksa mereka untuk mengorbit pada ideologi tertentu yang lebih besar. Mereka, tentu saja bukan produk pemikiran yang bebas nilai.

Bagaimanapun, kecenderungan anarkisme pada gerakan kaum kiri juga tak terelakkan. Bakunin misalnya, meski dalam Internasionale Pertama pemikirannya harus “dibunuh” oleh manuver Marx, secara garis besar ia tetap mengambil Marxisme sebagai ide dasar perjuangannya. Tokoh-tokoh kiri seperti Lenin, Mao, maupun Che juga mengambil anarkisme sebagai jalan perjuangannya.

Namun, apa yang terjadi hari ini pada Rusia, Tiongkok, maupun Kuba, hanya memperjelas utopia komunisme: bahwa pada akhirnya, mereka hanya akan menjadi elit birokrat yang korup dan senantiasa melayani kapitalis.

Hal ini hanya semakin menguatkan kritik George Orwell dalam buku “Animal Farm” atas gerakan-gerakan sejenis, bahwa mereka hanyalah sekumpulan manusia yang hanya bermodal semangat untuk melepaskan diri dari ketertindasan, namun tidak diiringi oleh metode dan konsep alternatif yang jelas. Walhasil, siklus yang sama akan berulang, bahwa mereka hanya keluar dari penindas yang satu menuju penindas baru yang lain. Revolusi sosialisme sudah sampai puncak, tapi justru dikhianti oleh kebijakan kapitalis di kemudian hari.

Fenomena gagalnya gerakan kiri mengingatkan kita atas penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengenai sebab-sebab gagalnya gerakan kebangkitan, bahwa: 1) Mereka tidak memiliki fikrah (pemikiran) dengan batasan yang jelas, 2) Mereka tidak mengetahui thariqoh (metode) untuk menerapkan fikrah nya, 3) Mereka hanya berbekal semangat dan keinginan tanpa kesadaran yang benar, 4) Ikatan mereka hanya sebatas slogan, tugas, maupun struktur organisasi tanpa dilanjutkan dengan jenis ikatan yang benar.

Tentu saja, pembahasan mengenai ini akan semakin seru ketika kita mengulik buku, “Pembentukan Partai Politik Islam” karya beliau.[]

Sumber:

Bakunin, Mikhail. 2002. Bakunin on Anarchism. New York: Black Rose Books.

Bakunin, Mikhail. 1984. Political Philosophy: Scientific Anarchism. London: Free Press of Glencoe.

Sheehan, Sean. 2003. Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tangerang: Marjin Kiri.

Taqiyuddin An Nabhani. 2009. Pembentukan Partai Politik Islam. HTI Press: Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *