BudayaPemikiranPolitik

Mengapa Banyak Negara Mendukung Kampanye LGBT?

Share the idea

Sebagai manusia normal yang melihat semakin maraknya dukungan terhadap kaum LGBT, tentu kita pernah bertanya-tanya:

“Kaum LGBT itu kan sedikit ya, dan ga akan ngaruh ke pasar bisnis. Jadi, kenapa sih banyak yang mendukung mereka? Emang apa sih untungnya?”

Di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia, mungkin memang benar. Tapi, bagaimana dengan Amerika Serikat?

Bukan tanpa alasan perusahaan-perusahaan seperti Apple, Google, Meta, Youtube, Microsoft, Walt Disney, hingga Unilever terang-terangan mendukung gerakan LGBTIQ+++++++. Witeck Communications melaporkan, bahwa daya beli (buying/spending power) komunitas LGBT di Amerika Serikat pada 2012 adalah $790 miliar. Dari tahun ke tahun, jumlahnya selalu meningkat hingga mencapai $1.4 triliun pada 2021.[1]

Persentase penduduk Amerika Serikat yang mengidentifikasi dirinya sebagai golongan LGBT [2]. Dari tahun ke tahun, mereka semakin percaya diri menunjukkan kecenderungannya

Itu baru Amerika. Bagaimana dengan seluruh dunia?

Ya, pada 2018 angka daya beli LGBT dunia telah menyentuh $3.7 Triliun, dan naik menjadi $3.9 triliun pada 2019.[3,4] Jika menggunakan nilai tukar rupiah terkuat terhadap USD pada 2019, jumlahnya sekitar Rp. 51 kuadriliun, atau sekitar Rp. 51 ribu triliun, atau setara dengan 109 kali pembangunan ibu kota baru untuk Indonesia, atau setara dengan 256 juta kali pengadaan walimah pernikahan seharga Rp. 200 juta.

Maka tak heran, jika komunitas LGBT disebut-sebut sebagai masa depan ekonomi Amerika. Meski menjadi minoritas, namun pada 2012 saja (yang mana jumlahnya selalu naik dari tahun ke tahun), LGBT sudah menempati urutan ke-3 pasar terbanyak dari segi daya beli – mengalahkan Asian-American yang berada di posisi keempat.[5]

Hanya mengampanyekan aksi boikot dari membeli produk mereka, jelas tak ada pengaruhnya.

Berikut urutannya:

Tak hanya daya belinya. Alasan lain yang tak bisa diremehkan oleh para kapitalis dari pasar LGBT, adalah kesetiaan mereka terhadap brand. Lebih dari setengah (yakni sekitar 55%) konsumen LGBT akan memilih berbisnis dengan perusahaan yang mendukung keragaman dan kesetaraan terhadap komunitas LGBT.

Kemudian, 70% orang dewasa LGBT menyatakan bahwa mereka akan membayar premi untuk produk dari perusahaan yang mendukung komunitas LGBT. Bahkan 78% orang dewasa LGBT beserta teman, keluarga, maupun kerabat mereka akan beralih kepada brand yang dikenal ramah terhadap LGBT. Dengan semakin maraknya kampanye LGBT di media sosial, maka dukungan terhadap “segmen minoritas dengan pertumbuhan tercepat”[6] itu merupakan sarana promosi ampuh yang haram dilewatkan.

Pada Agustus 2014, menurut Survey konsumen Google, lebih dari 45 persen dari semua konsumen di bawah usia 34 tahun mengatakan bahwa mereka cenderung melakukan bisnis berulang dengan perusahaan yang ramah terhadap LGBT. Mayoritas dari konsumen ini (lebih dari 54 persennya) juga mengatakan, bahwa mereka akan memilih brand yang berfokus pada kesetaraan daripada brand saingannya.

JADI, APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADA DUNIA?

Nampaknya, KLI tak perlu memaparkan lebih lanjut analisis Forbes maupun LGBT Capital [7,8] terkait besarnya potensi pasar dari kaum yang terdiri dari berbagai etnis dan gender ini. Data-data awal saja sudah cukup menjawab, mengapa dukungan terhadap LGBT begitu gencar dilakukan oleh berbagai perusahaan hingga negara.

Kampanye L68T sudah menjadi hal lumrah dalam berbagai perhelatan di Barat

Namun, itu semua baru ditinjau dari sisi bisnis. Pertanyaannya, apakah mayoritas pelaku LGBT itu memikirkan manfaat ekonomi ketika sedang melakukan perbuatan durjana itu? Hal prioritas yang mereka pedulikan, tentu saja kesenangan itu sendiri.

Maka bagi para kapitalis maupun pelaku LGBT, semua semakin sempurna karena perilaku mereka memang didukung oleh sistem kapitalisme, sekularisme, maupun liberalisme yang menjadi acuan aturan mayoritas penduduk dunia saat ini.

Bagi pelaku LGBT, sekularisme dan liberalisme menjadikan kebebasan berperilaku mereka difasilitasi dan dianggap normal. Bagi para kapitalis, sekularisme dan liberalisme adalah pilar penopang yang sempurna bagi kapitalisme sebagai satu-satunya sistem yang mampu memfasilitasi mereka untuk mendapatkan keuntungan materi sebesar-besarnya, tanpa harus peduli tetek bengek urusan moral.

Siapa pula yang harus peduli dengan nilai-nilai agama yang mengekang, kolot, dan anti kemajuan itu? Semua ini tentang uang dan kesenangan!

Jika demikian, lantas bagaimana dengan masyarakat yang bukan pelaku LGBT dan bukan pelaku bisnis? Mengapa banyak masyarakat Barat yang terang-terangan ikut mendukung gerakan ini?

Kampanye “Gay Pride March” pertama pada 1970 di New York yang hanya dihadiri beberapa ratus orang (gambar kiri). Menurut Reuters, saat ini setidaknya ada 60 negara yang rutin merayakan kampanye L68T setiap tahunnya.[9] Sebuah dampak perjuangan puluhan tahun dengan hasil yang sangat signifikan.

Dukungan atas LGBT, adalah bentuk konsistensi dan kesetiaan mereka pada nilai-nilai sekularisme dan liberalisme yang menjadi dasar dari aturan kehidupan mereka. Sebab, dukungan atas LGBT adalah selaras dengan dukungan atas nilai-nilai HAM maupun demokrasi yang selama ini didasarkan pada nilai-nilai sekularisme dan liberalisme. Sebaliknya, serangan atas LGBT, adalah serangan atas demokrasi, HAM, liberalisme, maupun sekularisme itu sendiri.

Maka, pembelaan Barat terhadap LGBT atas nama HAM – yang tidak akan pernah mereka lakukan dalam isu Palestina – bukanlah sebuah kontradiksi. Sebab, HAM memang akan senantiasa berpihak pada kepentingan Barat, yang mendasarkan aturan hidupnya pada sekularisme dan liberalisme. Adapun Islam yang ajarannya kontradiktif dengan sekularisme dan liberalisme, adalah penghalang utama bagi kebebasan hidup dan bisnis mereka.

Jika umat Islam ingin dibela Barat, maka mereka juga harus membela dan selaras dengan nilai-nilai sekularisme maupun liberalisme. Walhasil, “baju” Islam mereka pun haruslah berganti dengan yang diinginkan Barat: mulai dari Islam moderat hingga liberal.

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

[1] Daya beli L68T AS pada 2012 dan 2013 dapat dibaca di https://jenntgrace.com/lgbt-buying-power-estimated-830-billion/ . Adapun daya beli pada 2014 dan 2015 dapat dibaca di https://www.witeck.com/pressreleases/2015-buying-power/ tahun 2018 https://www.catalyst.org/research/buying-power/ 2021 https://finance.yahoo.com/news/us-lgbtq-spending-surpasses-1-205100102.html?guccounter=1&guce_referrer=aHR0cHM6Ly93d3cuZ29vZ2xlLmNvbS8&guce_referrer_sig=AQAAAHVdeo1tMIOE68arMlIOPFnry2C-wp-fkz3FpTaGbNYdwe7b71GoiFVIs6XNwg3uAVwus6SxgTalCFENUyC-NxIyQzZccYRZKS5cU7elH4LturetJOzdyNlP2GDY7P3F_WnwF403XJrw8Zs8VY7-C_fGd6vFdWQ8ENzvuMmClT8X

[2] https://orders.newsfilecorp.com/files/8621/118401_b6a95a8824ad8944_001full.jpg

[3] https://www.entrepreneur.com/growing-a-business/the-lgbtq-community-has-37-trillion-in-purchasing-power/334983

[4] http://www.lgbt-capital.com/

[5] https://jenntgrace.com/lgbt-buying-power-estimated-830-billion/

[6] https://finance.yahoo.com/news/us-lgbtq-spending-surpasses-1-205100102.html?guccounter=1&guce_referrer=aHR0cHM6Ly93d3cuZ29vZ2xlLmNvbS8&guce_referrer_sig=AQAAAHVdeo1tMIOE68arMlIOPFnry2C-wp-fkz3FpTaGbNYdwe7b71GoiFVIs6XNwg3uAVwus6SxgTalCFENUyC-NxIyQzZccYRZKS5cU7elH4LturetJOzdyNlP2GDY7P3F_WnwF403XJrw8Zs8VY7-C_fGd6vFdWQ8ENzvuMmClT8X

[7] https://www.forbes.com/sites/debtfreeguys/2018/08/14/the-1-trillion-marketing-executives-are-ignoring/?sh=29f06dc7a97f

[8] http://www.lgbt-capital.com/

[9] https://www.reuters.com/article/us-britain-lgbt-business-idUSKCN1T80VS

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *