PemikiranPolitik

Apakah Pemilu Adalah Satu-Satunya Jalan Perubahan?

Share the idea

Saat ini, proses pemilu umumnya dipahami sebagai jalan perjuangan satu-satunya untuk meraih tujuan politik, termasuk tujuan politik Islam. Perubahan melalui pemilu ini memang paling mudah dilihat, dipahami, dan diharapkan, karena adanya perubahan figur yang diharapkan dapat merubah kebijakan dan regulasi.

Pun tak jarang kita mendengar istilah, “jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya”, seolah pemilu menjadi hidup dan matinya partai politik Islam. Walau pemilu terlihat sebagai jalan paling logis yang diharapkan dapat membawa perubahan politik, namun sejarah justru membuktikan bahwa perubahan politik tidak selalu terjadi melalui pemilu. Bahkan dapat dikatakan, semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui pemilu.

Pergantian dari rezim Orde Lama menuju Orde Baru, hingga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi, terjadi bukan melalui pemilu. Ternyata, hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena perubahan situasi politik di Timur Tengah yang terjadi beberapa tahun ke belakang juga terjadi bukan melalui pemilu. Maka, pemilu bukanlah satu-satunya jalan tercapainya perubahan maupun cita-cita politik.

Jika menelisik kembali lembaran sejarah, pemilu yang digadang-gadang sebagai “pesta demokrasi” dan “pesta rakyat” ini ternyata tidak selamanya bersikap objektif bahkan tidak pernah memberikan kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik Islaminya.

FIS (Front Islamique du Salut – Front Keselamatan Islam), pada 1991 sukses memenangkan pemilu secara mutlak di Aljazair. FIS berhasil menjawab kebutuhan umat terhadap perubahan dan menawarkan Islam sebagai solusi, dengan menggunakan tiga kalimat pendek sebagai ujung tombak kampanyenya, “Aljazair sakit, obatnya Islam, dan dokternya FIS.” Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Aljazair menginginkan perubahan ke arah Islam. Namun, pemerintahan baru yang dikhawatirkan akan condong kepada Islam dan memusuhi Barat ini kemudian dikudeta oleh militer setelah mendapat “lampu hijau” dari Washington dan Paris. Parlemen dibubarkan dan hasil pemilu dibatalkan. Ribuan anggota FIS tanpa kesalahan apapun ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh. FIS yang sebelumnya telah menyiapkan konstitusi baru yang berdasarkan Islam kemudian menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya dipenjara.

Di Palestina, Hamas secara mengejutkan berhasil menang dalam pemilu tahun 2006 melalui slogan “Change and reform”. Namun, pemilu yang berlangsung dengan demokratis itu hasilnya “tidak diakui” oleh Amerika Serikat maupun Israel. Amerika dan sekutunya kemudian membantu Fatah dalam mengambil kendali Tepi Barat. Pada 2007, kabinet dibubarkan, Perdana Menteri Ismail Haniyah (dari Hamas) dipecat, dan Gaza sebagai basis perjuangan Hamas diblokade. Belakangan, Hillary Clinton menyesal bahwa Amerika tidak melakukan intervensi ketika pemilu tersebut berlangsung. 

Pada 1995, Necmettin Erbakan sukses memimpin partai Refah memenangi pemilu di Turki. Erbakan berhasil menjadi Perdana Menteri Turki hingga 1997 sebelum akhirnya dikudeta oleh militer dan kekuasaan diserahkan kepada kalangan sekuler. Setelah kemenangan partai Refah dianulir, partainya dibekukan, anggotanya dibubarkan. Erbakan kemudian dilarang berpolitik dengan dalih menjaga sekulerisme.

Di Mesir, pada 2012 Muhammad Mursi berhasil menang di bilik suara dan mencatatkan namanya sebagai Presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Mursi yang dikhawatirkan condong kepada Islam kemudian secara keji dikudeta pada 2013 oleh militer melalui dukungan negara Barat dan para agennya, seperti Saudi Arabia, Yordania, dan Suriah. Para pendukung Mursi dibantai, yang dikenal dengan peristiwa “Pembantaian Rabaa”.

Maka, pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan politiknya dengan syarat hal tersebut tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekulerisme.

Bagi siapa saja yang menginginkan perubahan secara sistematis dan ideologis, perlu digarisbawahi bahwa dasar dari semua perubahan adalah dukungan umat. Untuk mendapat dukungan umat, diperlukan adanya kesadaran politik Islam di tengah-tengah umat yang mampu menggerakkan perubahan. Melalui kesadaran politik Islam tersebut, umat Islam selayaknya menyadari bahwa Islam lah satu-satunya yang pantas dijadikan pedoman dan aturan hidup, bukan yang lain. Hal ini tentu hanya dapat diperoleh melalui pembinaan dan interaksi dakwah amar ma’ruf nahy munkar dengan berbagai elemen masyarakat secara terus menerus, senantiasa membersamai umat dalam setiap peristiwa politik, dan dengan tegas memerangi kedzaliman. Hal inilah yang harus dilakukan oleh setiap kelompok politik untuk dapat memimpin dan menggerakkan umat menuju perubahan yang diinginkan.

Kelompok ini harus menjadikan terwujudnya kehidupan Islam sebagai tujuan politiknya, bukan semata-mata untuk meraih kekuasaan. Maka, memfokuskan seluruh sumberdaya demi tercapainya jumlah suara, apalagi mencukupkan sebuah perjuangan hanya melalui pemilu adalah sebuah langkah yang keliru. Lantas, apa bedanya Islam dengan yang lain?

Ketika menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dan syariah Islam sebagai tolak ukur perbuatannya, ia tidak mudah terjebak dalam pragmatisme politik hingga tidak dapat bersikap tegas, berani, dan konsisten dengan prinsip Islamnya. Alasan yang sering kita dengar atas ketidakkonsistenan ini adalah takut kalah dan takut tidak mendapat dukungan, yang menunjukkan sikap cintanya pada urusan dunia. Sikap pragmatis ini justru akan menyebabkan terus dipeliharanya sistem sekuler setelah kekuasaan berhasil didapatkan.

Hari ini, kesadaran politik Islam belum tertanam pada diri umat, sehingga berbagai kerusakan, penderitaan, dan kedzaliman akibat penerapan kapitalisme belum cukup menggerakkan umat untuk menuntut perubahan ke arah Islam. Seruan semua pihak untuk setia dan tetap menggunakan demokrasi sebagai satu-satunya solusi hanyalah seruan untuk kepentingan diri dan golongannya. Arah perjuangan haruslah terpancar dari aqidah Islam, bukan yang lain.

Maka, sudah selayaknya kita kembali merenungi hakikat dari perubahan yang kita harapkan. Jika yang diinginkan adalah perubahan orang dalam sistem yang sama, maka adanya sosok pemimpin yang lebih baik dari sebelumnya adalah jawabannya. Namun, jika yang diinginkan adalah sebuah perubahan sistem ideologis, perlu dicermati, bahwa pemilu yang ada saat ini tidak diselenggarakan untuk mewujudkan perubahan seperti itu.

Ada atau tidak ada pemilu tidak otomatis membuat keadaan menjadi lebih baik. Maka, pemilu bukanlah satu-satunya cara melakukan perubahan. Pemilu adalah sebuah wasilah, sehingga ia tidak boleh dijadikan sebagai cara untuk melanggengkan sistem sekuler. Perjuangan Rasulullah untuk mengubah dunia dimulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Fase ini tidak mungkin terjadi jika Rasulullah tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Mekkah yang memakan waktu hingga 13 tahun. Perubahan mendasar yang membutuhkan kesabaran dan waktu ini dilakukan tanpa kekerasan dan pertumpahan darah, hingga kesabaran ini akhirnya membuahkan hasil, yaitu kemajuan peradaban manusia kurang dari 30 tahun. Sebuah prestasi yang hingga hari ini tidak pernah dapat dicapai oleh kapitalisme maupun komunisme. Wallahu a’lam. []

Sumber:

Muhammad Ismail Yusanto. 2016. Khilafah Jalan Menuju Kaffah. Irtikaz: Yogyakarta.

Muhammad Ismail Yusanto. 2016. Perjuangan dengan Dakwah Islam. Irtikaz: Yogyakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *