Mungkinkah Islam dan Sosialisme Disatukan? Review Buku “Islam dan Sosialisme” karya Jusuf Wibisono
Penulis : Ibnu Aghniya
Ketika gagasan sosialisme kembali populer dan menggeliat di kalangan anak muda, maka mulailah banyak bermunculan tulisan yang berupaya mensinkretiskan sosialisme dengan Islam. Sebagai sebuah negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, tentu pengaruh Islam itu sendiri tidak bisa dinafikan oleh kader-kader sosialis jika ingin mendapat sokongan luas.
Seringkali dikatakan bahwa Islam dan sosialisme sebenarnya bisa berjalan beriringan, tidak bertentangan, bahkan saling mengisi satu sama lain. Jika Islam mengidamkan masyarakat yang berkeadilan sosial, pun demikian dengan sosialisme yang menghendaki susunan masyarakat yang egaliter, sembari mengutip beberapa dalil al-Qur’an dan sabda Nabi sebagai penguat.
Bagi anak muda yang pandangan matanya tidak awas dan waspada, propaganda semacam ini tentu jadi senjata yang ampuh. Berbekal “legalitas” dalil agama, mereka pun akhirnya rela turut serta menjadi bagian dari perjuangan sosialisme yang katanya akan membawa kesejahteraan umat manusia.
Selanjutnya mereka pun akan mengamini segala “sabda” yang datang dari Robert Owen, Marx, Lenin, dan pemikir sosialis lainnya. Padahal, di balik propaganda sinkretis tadi, apabila dicermati lebih lanjut terdapat jurang pemisah yang sangat lebar antara sosialisme dan Islam. Satu perbedaan yang mustahil untuk didamaikan, karena “akidah” kedua gagasan ini bertolak belakang amat jauh.
Di pertengahan 1950-an ketika rivalitas ideologi di Indonesia sedang panas-panasnya (terutama sekali jelang Pemilu 1955), upaya sinkretis ini ternyata juga pernah dijajaki. Motifnya tentu sama dengan hari ini, yakni meraih simpati umat Islam sebagai populasi terbesar negeri ini. Tak syak memang, bahwa sejarah sejatinya adalah repetisi dari masa lampau yang terjadi pada masa kini. Berulang dengan pola yang sama, dengan aktor yang berbeda.
Namun, pada dekade tersebut upaya sinkretis itu mendapat perlawanan gigih dari kader-kader ideologi Islam yang mukhlis. Sebagai kalangan intelektual yang sudah seharusnya memberi penerangan sejelas-jelasnya pada umat, mereka bertekad untuk tidak membiarkan umat dimanipulasi lewat propaganda pemikiran sinkretis tersebut.
Adalah Jusuf Wibisono, seorang petinggi partai Masyumi yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan era Demokrasi Liberal, yang berinisiatif untuk memberikan pencerahan pada umat. Beliau pun menjelaskan bahwa Islam tidaklah seiring-seirama dengan sosialisme, betapapun ada beberapa hal yang memiliki kesamaan. Lewat bukunya yang berjudul “Islam dan Sosialisme”, Wibisono membedah sosialisme mulai dari penggunaan istilah hingga evolusinya menjadi gerakan komunisme internasional. Selain itu, buku ini juga memberikan penjelasan tentang letak perbedaan fundamental antara Islam dan sosialisme, yang mustahil disatukan layaknya air dan minyak.
Menurut Wibisono, letak perbedaan itu ialah adanya filsafat materialisme-historis sebagai tulang punggung marxisme yang menyatakan bahwa keadaan ekonomislah yang menentukan keadaan politik, sosial, budaya, termasuk pula keyakinan agama. Dalam filsafat ini, agama dipercaya hanya sebagai bentuk “protes sosial” dari masyarakat tertindas, bukan hasil penyampaian wahyu dari Yang Kuasa kepada utusan Tuhan. Perubahan keadaan ekonomis, akan turut pula mempengaruhi perubahan keyakinan agama.
Bertolak dari filsafat ini, bagi setiap orang beragama pada umumnya, dan bagi muslim khususnya, mustahil bisa memeluk agama sekaligus pula menjadi kader sosialisme/marxisme. “Siapa jang jakin akan kebenaran marxisme, harus menolak kebenaran agama dan sebaliknja. Tidak mungkin, orang jang katanja beriman kepada sesuatu agama, menggabungkan diri dengan penuh kejakinan pula, dalam sesuatu pergerakan jang berdasar atas marxisme. Pendirian jang demikian itu, sama sadja dengan orang jang mengatakan bahwa warna kulitnja putih tetapi hitam”, demikian pernyataan lugas Wibisono.
Namun demikian, usaha Jusuf Wibisono lewat bukunya itu maupun kader-kader Islam yang lain, dalam membendung pengaruh gerakan kiri di Indonesia belum sukses sepenuhnya.
Buktinya pada Pemilu 1955, PKI sebagai eksponen dari gerakan kiri mampu keluar sebagai pemenang Pemilu menempati pos keempat. Padahal 7 tahun sebelumnya partai tersebut terlibat dalam usaha pemberontakan yang brutal. Bahkan seperti yang telah kita ketahui, PKI mampu berjaya dan mendominasi kehidupan berbangsa semasa Orde Lama.
Berkaca dari pengalaman sejarah, bahwa upaya sinkretis Islam dan Sosialisme tidak akan pernah mengendur selama umat tidak mendapat penerangan yang jelas dan didikan yang baik tentang Islam itu sendiri.
Selain itu, umat juga harus diarahkan untuk memperjuangkan agendanya sendiri, yakni penerapan kembali syariah Islam yang niscaya akan membawa kesejahteraan umat manusia dalam arti sesungguhnya. Sebab, tidak dapat dimungkiri bahwa keterlibatan banyaknya anak muda Islam ke dalam barisan sosialisme juga disebabkan kurangnya kepercayaan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur kehidupan individu, bermasyarakat, dan bernegara. Wallahu a’lam.[]
Rincian Buku:
Judul Buku: Islam dan Sosialisme
Penulis: Jusuf Wibisono
Penerbit: Penerbit Sinar Ilmu
Cetakan: 1950/ 77 halaman