Sejarah

Perang Dunia Abad Ke-16: Kisah Para Ghazi: Pembentukan Aliansi Jihad Kaum Muslimin Di Samudra Hindia

Share the idea

Artikel ini adalah bagian kedua dari seri Perang Dunia abad ke-16. Pastikan sudah membaca bagian pertamanya di instagram @komunitasliterasiislam.

Niat busuk Portugis untuk menjajah Nusantara, tentu menimbulkan reaksi dari kaum muslimin di Samudra Hindia. Termasuk dari sang Khalifah, pahlawan Islam yang menjadi pelindung kaum muslimin seluruh dunia. Ialah cucu Muhammad al-Fatih, yakni Sultan Selim I.

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Sultan Selim I merupakan pembela ahlusunnah yang berhasil menekan pengaruh Syiah yang dilancarkan oleh Bani Safawiyah sekaligus mengalahkan Mamluk pada 1516. Pasca peristiwa itu, Selim mewarisi gelar Khalifah dari Khalifah ‘Abbasiyyah, al-Mutawakkil ‘Alallah III.

Mengapa Sultan Selim I memerangi Safawiyah? Karena Safawiyah menganut aqidah yang tidak sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah. Mereka bahkan memaksakan Syiahnya pada penduduk Irak dan Iran.

Lantas mengapa Sultan Selim I memerangi Mamluk? Bukankah sama-sama saudara dalam Islam?

Saat itu, Mamluk sedang dipimpin oleh Ashraf Qansuh al-Ghuri. Meski penguasa Mamluk menjadi penjamin Khalifah ‘Abbasiyyah, namun ia tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Ia berlaku korup dan semena-mena dalam kekuasaan. Puncaknya, ia bahkan juga tak sanggup menahan laju orang-orang Portugis yang menaklukkan Yaman, Jeddah, dan wilayah sekitar tanah suci lainnya. Padahal, keberhasilan Portugis menaklukkan Jeddah bisa menjadi jalan pembuka atas masuknya orang-orang kafir di Mekkah dan Madinah.

Untuk apa Portugis ke Jeddah? Karena kebencian mereka yang amat kentara pada Rasulullah, maka mereka ingin mencuri jasadnya. Tomi Pires, cendekiawan Portugis abad ke-16 yang menulis buku “Suma Oriental” (buku rujukan atas kondisi berbagai kota di Nusantara kala itu), mengungkap kebencian itu dalam bukunya.

Dalam muqaddimah buku yang sebenarnya dipersembahkan bagi Raja Portugis itu, ia menulis banyak cacian untuk Rasulullah. Sederhananya, sikap Tomi Pires itu mewakilkan sikap “settingan pabrik” orang-orang kafir Portugis.

Akibat penaklukan Jeddah, Sultan Mamluk kehilangan kepercayaan dari kaum muslimin. Inilah yang memicu Selim I segera ke Kairo dan menaklukkan Mamluk. Sebab, Selim I melihat Kairo sebagai kota yang strategis untuk melebarkan kekuasaan ‘Utsmani ke Jazirah Arab, Samudra Hindia, hingga India dan Nusantara. Untuk mengambil tanggung jawab sebagai Khalifah Muslimin sedunia dan pelayan Dua Tanah Suci, menguasai Kairo tentu adalah sebuah kata kunci.

Kesadaran Sultan Selim I terhadap kondisi geopolitik Samudra Hindia itu sudah sangat cemerlang sekali. Kita bisa melihatnya dari berbagai jaringan yang diciptakannya dengan Sultan-Sultan di Samudra Hindia dan Nusantara, seperti Sultan Malik Ayyaz (Diu) dan Sultan Muzaffar Syah (Gujarat). Dua sultan dari India ini, adalah dua dari banyak Sultan yang ikut membai’at Selim I sebagai Khalifah umat Islam.

Kedatangan Selim di Mesir juga memperluas strategi jihad maritim Khilafah.

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa bani ‘Utsmaniyyah bukanlah bangsa maritim, tapi bangsa nomaden yang lebih kenal daratan. Mereka mengembara dari satu gurun ke gurun lain, hingga tiba di Asia Tengah dan Anatolia.

Hal luar biasanya, para pendiri ‘Utsmaniyyah memiliki visi istimewa untuk mewujudkan bisyarah nabawiyah atas pembebasan Konstantinopel. Hadits ini tak hanya menjadi motivasi, tapi juga memaksa mereka berpikir strategis dan memperkuat militer kaum muslimin.

Sebab, Konstantinopel adalah kota maritim. Ia dikelilingi laut dengan angkatan laut yang kuat juga. Maka, pemimpin-pemimpin ‘Utsmaniyyah dipaksa membiasakan diri dengan jihad di lautan. Karena seharusnya, lautan itu bukanlah penjara dan ujung dunia. Lautan adalah jalan menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah lain. Bagi para pemimpin ‘Utsmani, pemikiran ini terus bergelora pasca pembebasan Konstantinopel, termasuk ketika mengambil tanggung jawab menjadi pemimpin umat dan menghalangi siapapun yang menista dan melemahkan umat Islam.

Penaklukan Kairo secara otomatis membuka dua front peperangan lautan, yakni front Laut Mediterania dan front Samudra Hindia yang terus membentang hingga Nusantara. Selim I membangun aliansi dan jaringan dengan penguasa-penguasa muslim untuk melawan dominasi Portugis di Samudra Hindia. Selim I bahkan juga mengirim janji politik pada mereka, sebagaimana yang disampaikan pada Sultan Diu dan Gujarat:

“Dua puluh kapal yang sebelumnya dibangun orang Sirkasia (Mamluk) saat ini berada di Jeddah, dan Yang Mulia Khalifah (Selim) sudah memerintahkan pembangunan 50 kapal lagi. InsyaAllah, denganpasukan yang tak terhitung jumlahnya, dia akan segera memukul mundur para pembuat onar yang berbahaya ini (Portugis) menuju takdir kegelapan.”

Apa maksud dari janji tersebut?

Sebelum ditaklukkan oleh Portugis, sebenarnya Jeddah sudah diperhatikan oleh Mamluk, namun kurang maksimal. Maka ketika Selim I berhasil menguasai Mesir, ia berniat memperkuat infrastruktur jihad yang ada di Jeddah. Dan sebagaimana janjinya, yakni dengan “pasukan yang tak terhitung jumlahnya”, Khilafah akan segera memukul mundur orang-orang Portugis dari negeri kaum muslimin.

Sikap politik ini tidak hanya membuat para penguasa muslim di berbagai wilayah tertarik untuk menjalin aliansi dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah, namun juga penguasa-penguasa Hindu. Para penguasa Hindu tersebut bahkan melihat ‘Utsmani sebagai harapan yang mampu membebaskan mereka dari cengkraman Portugis. Misalnya, para penguasa Hindu di Kalkutta yang bergelar Zamorin (Zamorin of Calicut, penguasa Kerajaan Kozhikode).

Tak hanya di India. Resonansi ini juga sampai ke Zeyla (Afrika Barat), Maladewa/Maldives, Kalkuta/Calicut, Ahmednagar, Bijapur, Ceylon (Srilangka) termasuk ke Aceh. Di wilayah Samudra Hindia yang sultan-sultannya memba’iat dan menyatakan loyalitasnya kepada Khilafah ‘Utsmani, mereka mendo’akan Khalifah Selim I dalam khutbah-khutbah Jum’at.

Adapun Sultan Aceh yang pertama kali membuka hubungan dengan ‘Utsmaniyyah, ialah sultan pertamanya, yakni Sultan Ali Mughayat Syah. Nama beliau bahkan juga disebut-sebut oleh murid Ibnu Hajar al-Haitami, yakni Syekh Zainuddin al-Malibari, yang menulis kitab tarikh “Tuhfatul Mujahidin fi Ba’adh Akhbar al-Burtughaliyyin” (Kisah Para Mujahidin dan Kabar-Kabar tentang Orang Portugal).

Dalam kitab tersebut, Syekh Zainuddin menulis sepak terjang Sultan ‘Ali Mughayat Syah yang berhasil membebaskan Sumatra dari Portugis. Saat itu, penyebutan Sumatra tidak merujuk pada satu pulau tertentu sebagaimana kita sekarang, melainkan sebutan lain dari kota di Pasai.

Pasca runtuhnya Kesultanan, Pasai sempat menjadi darul kufri karena dikuasai oleh Portugis, sehingga di sana diterapkan hukum-hukum yang bukan hukum Islam. Tapi hanya 3 tahun saja. Pada 1520, Sultan ‘Ali Mughayat Syah kembali membebaskan Pasai dan menjadikannya sebagai darul Islam. Di nisannya, kita bisa melihat salah satu gelarnya, yakni “al-ghazi fi al-barri wal-bahri yanshuruhullah” (Ghazi yang berperang di darat dan laut, dan Allah memenangkannya). Dari sini kita bisa melihat, bahwa ternyata Sultan ‘Ali Mughayyat Syah juga digelari sebagai Ghazi, gelar yang sangat identik dengan Khilafah ‘Utsmani.

Inilah pengaturan urusan umat yang diinisiasi oleh Selim I. Ia membangun hubungan dengan Sultan-Sultan di Samudra Hindia, yang bahkan resonansi kekuasan dan jihadnya itu terdengar sampai Sumatra, dan menginspirasi Sultan ‘Ali Mughayat Syah untuk membebaskan kembali Pasai dari Portugis…

[BERSAMBUNG KE BAGIAN TIGA: MANUVER POLITIK DAN MILITER SULTAN SULAIMAN AL-QANUNI DI NUSANTARA]

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda, (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawwarah, 1999)

Giancarlo Casale, The Ottoman Age of Exploration, (Oxford: Oxford University Press, 2010)

Giancarlo Casale, “His Majesty’d Servant Lutfi: The Career of a Previously Unknown Sixteenth-Century Ottoman Envoy to Sumatra Based on an Account of His Travels from the Topkapı Palace Archives”, Turcica, 37 (2005): 43-81

Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme, Penerjemah Julia Absari, (Depok: Komunitas Bambu, 2011)

Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993)

Syaikh Zaynuddin al-Malibari asy-Syafii, Tuhfah al-Mujahidin fi Ba’dhi Akhbar al-Burtukalliyyin, (manuskrip)

Taqiyuddin Muhammad, Naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin (Wafat 923 H/1518 M), https://www.mapesaaceh.com/2021/01/naskah-surat-sultan-zainal-abidin-wafat.html

Taqiyuddin Muhammad, Bait-Bait Syair Sultan Andalusia pada Nisan Sultan Samudra Pasai, https://www.mapesaaceh.com/2017/04/bait-bait-syair-sultan-andalusia-pada.html

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *