Mimpi Negara Utopis: Ketika Umat Islam Kalah Mental dari Bapak Zionisme
Penulis: Ust. Ismail Yusanto
“If you will it, it’s not a dream”
Theodor Herzl, Bapak pendiri Zionisme
Kutipan di atas adalah salah satu quote paling terkenal dari Theodor Herzl. Ia menolak keras tudingan orang-orang Yahudi ketika itu yang sangat skeptis terhadap gagasannya tentang pentingnya pendirian Negara Yahudi. “Itu bukan mimpi jika kau punya kemauan,” katanya.
Theodor Herzl boleh disebut sebagai inisiator utama gerakan zionisme internasional. Ia semasa kecilnya memang dididik dalam semangat pencerahan Yahudi Jerman. Lalu mengapa ia sampai pada gagasan tentang pentingnya negara bagi komunitas Yahudi?
Ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang ia lihat pada Peristiwa Dreyfus tahun 1894. Saat itu kaum Yahudi di wilayah Kekaisaran Rusia dan sebagian Eropa Timur mengalami banyak penindasan. Dalam pikirannya, semua penindasan itu akan bisa diakhiri jika kaum Yahudi memiliki negara sendiri. Gagasannya tentang Negara Yahudi kemudian ia tuangkan dalam buku Der Judenstaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896.
Bukannya mendapat dukungan, ide itu justru diejek banyak orang Yahudi, utamanya yang tinggal di Eropa Barat, wilayah yang di sana banyak orang Yahudi hidup dalam kemakmuran. Negara Yahudi itu hanya ‘mimpi’, kata mereka.
Apalagi kemudian Herzl meluncurkan program pengumpulan dana dari kaum Yahudi untuk merealisasikan cita-citanya itu. Ia sempat meminta bantuan dari orang kaya Yahudi seperti Lord Hirsch dan Lord Rothschild, tetapi tak membuahkan hasil.
Ia tak mundur. Dalam keterbatasnnya, ia berhasil menyelenggarakan Kongres I Zionis di Basel, Swiss, tahun 1897. Dalam Kongres itu ia mengemukakan Program Basel. Isinya? Tentang langkah-langkah (thariqoh) apa saja yang harus ditempuh untuk menegakkan Negara Yahudi itu.
Di antara isi Program Basel adalah mempromosikan pendirian Negara Yahudi kepada petani, pengrajin, dan pedagang Yahudi di Palestina; meningkatkan penguatan perasaan dan kesadaran Yahudi, juga langkah-langkah untuk mendapat hibah dari pemerintah, sebuah “rumah yang terjamin secara publik dan sah” untuk menghindari kemarahan Sultan yang “terlalu dalam”, yakni Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah ‘Utsmani, penguasa wilayah Palestina saat itu.
Untuk cita-citanya itu, Herzl berkeliling ke wilayah Palestina, Istanbul, dan Jerman guna mencari dukungan. Saat berada Istanbul, dia sempat mencoba menawari Sultan Abdul Hamid II dengan uang 35 juta lira emas. Dia berjanji untuk membangun benteng pertahanan bagi Khilafah ‘Utsmani dan pelunasan utang luar negeri asal Sultan mau memenuhi keinginan Zionis. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan.
Titik terang bakal berdirinya negara Yahudi akhirinya didapat saat lahir Deklarasi Balfour pada 1917. Deklarasi Balfour adalah pernyataan terbuka Pemerintah Inggris yang berisi dukungan bagi pembentukan sebuah “kediaman nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Saat itu Palestina adalah salah satu daerah di dalam wilayah Khilafah ‘Utsmani, dan warga Yahudi di sana menjadi kaum minoritas.
Deklarasi Balfour tercantum di dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, pemimpin Yahudi Inggris untuk diberitahukan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.
Proses terus berjalan. Akhirnya, Inggris membagi British Mandate of Palestine menjadi dua wilayah: sebagian untuk orang Arab (penduduk asli tanah Palestina); sebagian lagi untuk orang Yahudi (bangsa pendatang dari negara-negara Eropa). Setelah melalui jalan berliku, sekitar setengah abad, tepatnya pada 1948, akhirnya negara Yahudi berdiri. Theodor Herzl benar, “If you will it, it’s not a dream.”
Herzl sendiri tak sempat menyaksikan berdirinya negara impiannya. Ia keburu meninggal pada 1904, sekitar 7 tahun sejak ia melontarkan gagasan negara Yahudi, akibat radang paru-paru dan lemah jantung. Dia dikuburkan di Wina, kemudian dipindahkan ke Bukit Herzl di Yerusalem pada tahun 1949.
Praktis sebenarnya dia tidak terlalu banyak berbuat untuk cita-citanya itu. Meski begitu, komunitas Yahudi sangat menghargai Herzl. Pasalnya, dari gagasannya itulah kini benar-benar berdiri negara untuk kaum Yahudi. Padahal cita-cita itu pada awalnya banyak dianggap sebagai mimpi. Dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel, Herzl-lah satu-satunya tokoh yang namanya disebut secara khusus, dan secara resmi diberi sebutan “Bapak Negara Yahudi” (“The Father of the Jewish State”).
*****
Kembalinya kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaaffah di bawah naungan Khilafah untuk mewujudkan kembali ‘izzul Islaam wal-muslimiin (kemuliaan Islam dan kaum muslimin) itu bukanlah sebuah mimpi. Ini adalah sebuah kewajiban yang sangat agung.
Para ulama bahkan menyebut kewajiban ini sebagai taajul-furuudh (mahkota kewajiban). Jika pun disebut cita-cita, ia adalah cita-cita yang memiliki dasar yang amat kokoh dalam ajaran Islam, bukan sekadar keinginan orang-perorang yang timbul akibat dari keprihatinan atas suatu fakta kehidupan.
Lagi pula ia pernah terwujud pada masa lalu dalam bentangan masa yang amat panjang, lebih dari 700 tahun, jika merujuk pada lamanya masa yang disebut oleh para sejarahwan sebagai the golden age (abad keemasan Islam).
Oleh karena itu, mestinya umat Islam lebih punya kemauan untuk mewujudkan cita-cita mereka ketimbang Theodor Herzl saat menginginkan Negara Yahudi berdiri, yang sesungguhnya tidak punya d sar sama sekali. Tidak di dalam Taur t. Tidak pula dalam s jarah. Tak ada satu pun ay t dalam k tab suci yang boleh dijadikan rujukan tentang apa yang dikatakan sebagai Israel Raya, yang diklaim oleh zionis.
Seolah Tuhan sudah menandatangani peta wilayah yang membentang dari Sungai Euphrat hingga Sungai Tigris, sebagai rumah untuk mereka. Itulah mengapa gagasan Negara Yahudi yang dilontarkan oleh Herzl pada awalnya ditolak mentah-mentah oleh komunitas Yahudi internasional.
Bukan Herzl jika karena penolakan itu lantas berhenti berusaha. Untuk memberikan bobot keyahudian, sebagaimana diceritakan oleh Roger Geraudy dalam buku tentang Zionisme, Theodor Herzl menambahkan sisi religius dalam cita-citanya itu. Ia katakan bahwa negara untuk orang-orang Yahudi itu ada di wilayah Palestina karena di sana ada Gunung Zion, yang dianggap sebagai pusat peribadatan kaum Yahudi. Terbukti, ini cara ampuh. Dukungan bagi Israel terus mengalir dari komunitas Yahudi di mana pun berada, hingga kini. Jika pun ada komunitas Yahudi yang menolak, kini kelompok ini malah jadi minoritas.
Karena itu, mesti malulah kita kepada Herzl jika kalah kemauannya dari kemauan dia. Apalagi jika tak punya cita-cita sama sekali untuk tegaknya kembali Khilafah. Bagaimana bisa umat Rasulullah, yang disebut Allah sebagai khayru ummah, kalah mental dibandingkan dengan kaum kafir, yang tidak beriman kepada Allah, Nabi Muhammad, al-Quran maupun Hari Akhir?
Mereka pun tidak mengimani syariah-Nya. Bahkan banyak dari mereka sangat tidak menyukai ajaran Islam. Jika umat Islam tidak punya kemauan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, memang semua hanya akan berakhir menjadi sekadar mimpi. Benarlah kata Herzl, “if you do not will, a dream it is.”
Lebih memalukan lagi jika ada sebagian umat Islam, bukan hanya tidak punya kemauan dan cita-cita bagi tegaknya kembali kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaaffah di bawah naungan Khilafah. Bahkan mereka turut menghalangi perwujudan cita-cita itu. Jika bukan cita-cita yang bersumber dari ajaran Islam, lalu mereka ini punya cita-cita apa? Tindakan mereka menghalangi cita-cita Islam itu bersumber dari ajaran apa?
Memalukan. []