Kehebohan Reuters Atas Bantuan Khilafah Ke Hindia-Belanda
22 Agustus 1873. Kementerian Luar Negeri Belanda yang berkedudukan di Den Haag mengirim sebuah edaran yang ditunjukkan kepada para konsulnya di negeri-negeri Islam untuk melaporkan gejala “kebangkitan agama dan politik” di kalangan kaum Muslim.
Wajar saja jika Pemerintah Belanda merasa awas, karena saat itu kekuasaan yang dianggap paling tinggi di seluruh dunia Islam, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sedang melancarkan seruan politik Pan-Islamisme (İttiḥat-ı İslam) baik untuk Muslim yang ada dalam teritorialnya maupun yang berada di bawah penjajahan Eropa.
Dalam konteks kekuasaan atas tanah jajahan, Belanda begitu khawatir dengan gencarnya arus Pan-Islamisme yang melanda rakyat Hindia-Belanda. Kekhawatiran itu dirasakan betul tatkala Belanda mendeteksi pengaruh Pan-Islamisme Khilāfah ‘Usmāniyyah secara langsung, apalagi semenjak Khilāfah ‘Usmāniyyah menempatkan konsul-konsulnya di Batavia dari tahun 1882 sampai 1924.
Belanda amat keberatan dengan pembukaan konsulat Khilāfah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul ‘Uṡmāniyyah (Osmanlı şehbenderleri) akan membangkitkan “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah.
Dari ‘fanatisme Islam’ yang dimaksud Belanda itu, efeknya akan merongrong kekuasaan mereka di tanah Hindia-Belanda. Mana ada penguasa yang ingin kekuasaan yang sedang dinikmatinya itu tumbang?
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) membeberkan potensi Pan-Islamisme untuk menumbangkan kekuasaan Belanda,
Meskipun Pan-Islamisme belum tersusun rapi, tetapi di negeri-negeri Islam di bawah kekuasaan Eropa ia sering merintangi perkembangan biasa hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah. Mengandalkan diri pada adanya rasa ketidakpuasan di segala bidang, dengan diam-diam ia beraksi sebagai unsur pengganggu, tanpa adanya harapan bahwa perpecahan yang ditimbulkan atau diperbesar, bisa menghasilkan perbaikan bagi mereka.
Efek Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah kepada Muslim di Hindia-Belanda benar-benar berpengaruh untuk menggerakan emosi dan pikiran mereka untuk melawan kekuasaan kolonial.
Contohnya tatkala Basiret, surat kabar yang terbit di İstanbul, menulis artikel bertanggal 9 Juli 1873 yang memberitakan bahwa Khilāfah akan mengirim delapan kapal perang ke Sumatera, berita ini dikutip oleh Reuters, agen berita dari Inggris dan informasinya sampai ke Penang.
Walaupun berita tersebut di kemudian hari tidak bisa dibuktikan kebenarannya, seorang Aceh yang kebetulan berada di Penang terlanjur menyampaikan berita tersebut kepada khalayak Aceh sehingga menghebohkan seluruh nanggroe.
Pengaruh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah di Aceh ketika masa-masa perang melawan Belanda (1873-1903) begitu kuat, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalīfah sendiri turun tangan untuk menyelesaikannya.
Sentimen keterikatan dan harapan akan bantuan dari Khilāfah ‘Uṡmāniyyah bahkan meluas hampir ke seluruh kawasan di Hindia Timur, sebagaimana yang Göksoy paparkan,
Not only the Acehnese but most people in the region believed that the Ottomans might intervene. When Snouck Hurgronje, the Advisor on Native Affairs to the colonial government, was instructed to investigate the repercussions of the war in Java and Singapore, he found even in West Java many religious and secular leaders very symphathetic to Aceh. Although he himself did not seriously contemplate Ottoman intervention, he found a widespread belief in Java as well as Singapore that the Ottoman Empire had the right and the strength to intervene if it wished, since Aceh was under its protection.
Simak pembahasan lengkapnya dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” karya Nicko Pandawa. Diterbitkan oleh Komunitas Literasi Islam.