Sejarah

Memahami Latar Belakang Pemikiran Pangeran Diponegoro Dan Raden Saleh

Share the idea

Akhirnya setelah sekian lama membaca karya beliau, sore itu saya bisa bertatap muka secara langsung dengan Prof. Peter Carey. Sore itu di Aula Balaikota Bogor beliau bersama kolega beliau, Dr. Werner Kraus dari Jerman membedah buku “Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya”, karya Dr. Werner Kraus.

Ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh beliau berdua. Raden Saleh meskipun tidak sempat bertemu dengan Pangeran Diponegoro walau hidup sezaman, namun memiliki keterikatan batin. Hal itu tercermin dari lukisan Raden Saleh yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Lukisan yang kata Professor Carey penuh sindiran kepada Belanda dan itu diamini oleh Doktor Kraus.

Selain itu keterikatan Raden Saleh dan Pangeran Diponegoro adalah adanya hubungan keluarga, dimana paman Raden Saleh (bernama Raden Sukur) berada di pihak Diponegoro selama berkecamuknya Perang Jawa (1825 – 1830). Juga istri beliau yang merupakan anak dari salah seorang panglima Pangeran Diponegoro. Hal lain yang sama dari kedua tokoh tersebut adalah sifat “kosmopolitan”.

Apa itu kosmopolitan? Ingatan saya ketika mendengar kata tersebut langsung teringat ucapan Walikota Bogor, Dr. Bima Arya di hadapan civitas akademika SIT Insantama dalam rangka peresmian Masjid Pendidikan Insantama. Kosmopolitan menurut beliau adalah sikap menjaga budaya lokal serta peka terhadap masalah kebangsaan namun juga tanggap terhadap perubahan dunia. Akan lebih mantap lagi apabila ketiga hal tadi dibungkus oleh nilai-nilai religius dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam.

Sifat kosmopolitan inilah yang menurut kedua sejarahwan di atas melekat pada diri Raden Saleh maupun Pangeran Diponegoro. Raden Saleh yang latar belakangnya adalah keluarga priyayi keturunan Arab yang tinggal di Semarang. Memiliki kesempatan mengenyam pendidikan barat selama pendudukan Inggris di Jawa (1812 – 1816) dan sempat tinggal lama di Eropa.

Setelah kembalinya beliau ke Jawa, beliau sering dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda dan memendam kebencian kepada kolonial terkait tindakan rasis terhadap masyarakat pribumi. Sempat ingin kembali dan menetap di Eropa hingga akhir usia, namun usia yang menua membuat Raden Saleh memilih kembali tinggal di Buitenzorg dan wafat pada tahun 1880.

Sifat kosmopolitan Raden Saleh tersebut tercipta karena ia adalah priyayi Jawa yang mengalami fase-fase bersejarah pada bangsanya (pendudukan Inggris, Perang Jawa, hingga masa kolonial Belanda) dan lama bergaul dengan iklim intelektual di Eropa. Pikiran Raden Saleh jauh mendahului para pemikir Indonesia di era sesudahnya yang memicu Kebangkitan Nasional.

Hal yang kurang lebih sama juga dialami oleh Pangeran Diponegoro, yang berbeda adalah bungkus keislaman yang lebih tebal sehingga memicu perlawanan beliau yang menewaskan 15 ribu serdadu Belanda dan nyaris membangkrutkan keuangan Belanda. Cicit Hamengkubuwono I ini sejak kecil hidup bersama nenek buyutnya di Tegalrejo. Kehidupan yang jauh dari istana dan dekat rakyat jelata menyelamatkan beliau dari gaya hidup hedonis dan liberal yang tengah disebarkan oleh Belanda.

Namun ini membuatnya sangat kritis terhadap permasalahan yang tengah menimpa bangsanya. Wawasan internasionalnya mungkin beliau dapatkan dari naskah-naskah dan risalah terkait Kekhilafahan Utsmani yang hubungannya dengan Keraton Jawa bagian Selatan dimulai sejak era nenek moyang Diponegoro; Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Konsep penegakan Balad Islam serta jihad melawan orang-orang kafir inilah yang menjadi framework dalam perang yang ia kobarkan selama lima tahun. Juga hierarki ketentaraannya yang beliau susun serupa dengan hierarki Jannisary Utsmani. Inilah beliau sosok yang tidak larut dalam budaya barat yang menjebak karena memiliki bekal kosmopolitan yang dibungkus oleh nilai-nilai Islam yang kental. Di era sekarang ini nilai kosmopolitan yang dibungkus dengan religiusitas Islam yang kental seperti ini harus ditumbuhkan kepada kalangan generasi muda.

Materi yang mampu menumbuhkan sifat tersebut salah satunya adalah dengan serius belajar sejarah. Sejarah tidak hanya sekadar hafalan tapi di situ terdapat nilai-nilai yang dapat diambil untuk merumuskan kehidupan di era selanjutnya. Karena sejarah sangat komplek ibarat potongan puzzle yang saling terhubung satu sama lain.

Sebulan silam dalam diskusi di UNJ, Dr. Tiar Anwar Bachtiar secara halus menyindir bahwa sedikit sekali mahasiswa bahkan yang mengaku sebagai aktivis dakwah kampus yang peduli dan secara serius membaca sejarah. Apabila aktivis Islam hanya puas dengan teriak di sosial media, memusuhi buku-buku, dan tidak tertarik sama sekali dengan sejarah “dirinya” dan yang lebih mengkhawatirkan seperti yang saya saksikan dalam diskusi tersebut, betapa seriusnya kalangan non Islam baik aktivisnya hingga guru-gurunya serius menekuni sejarah meskipun subyeknya bukan dari kalangan mereka.

Maka saya pesimis kebangkitan Islam akan segera menghampiri kita. Mengapa? Karena kita melupakan sejarah, maka kemungkinan kita akan dilupakan sejarah. []

Sumber:

Peter Carey dan Kuasa Ramalan. 2012. Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785 – 1855 (edisi 1 – 3). Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Peter Carey. 2012. Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro. Kompas. Jakarta.

Tiar Anwar Bachtiar. 2018. Jas Mewah. Pro-U Media. Yogyakarta.

Werner Kraus. Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *