Kejayaan Majapahit dan Kekeliruan Narasi Penulisan Sejarah Indonesia

Share the idea

Kita tentu sangat familiar dengan apa yang pernah disampaikan Mohammad Yamin. Bahwa Majapahit itu, berhasil mempersatukan seluruh Nusantara, setara Indonesia sekarang. Hal ini kemudian diglorifikasi dengan kisah kepahlawanan Patih Gadjah Mada yang mengumandangkan Sumpah Palapa.

Padahal menurut National Geographic, hal tersebut salah besar. Baik secara de facto maupun de Jure, Majapahit tak pernah menguasai seluruh Nusantara. Karena kenyataannya, Majapahit hanya menganut sistem mandala, layaknya NATO masa kini. Kerajaan lainnya adalah kerajaan-kerajaan merdeka. Adapun wilayah Majapahit, intinya hanya berada di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah saat ini.

Mandala-mandala utama wilayah Asia Tenggara di sekitar abad ke-5 hingga abad ke-15 M. Adapun terkait Nusantara, “nusa” bermakna “pulau atau daerah-daerah”, dan “antara” adalah “yang lain”. Jadi, Nusantara di masa Majapahit diartikan sebagai “daerah-daerah yang lain”, karena kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.

Termasuk juga gambaran patung terakota yang menggambarkan Gadjah Mada berambut ikal dan berpipi tembem. Setelah diteliti lagi oleh arkeolog, ternyata bukan wajah Patih Gadjah Mada. Itu adalah pecahan keramik dari era Majapahit yang merupakan sebuah celengan.

Siapa yang mengklaim bahwa celengan tersebut adalah wajah Gadjah Mada? Lagi-lagi Muhammad Yamin, yang menemukannya ketika mengunjungi Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Begitu tiba di Jakarta, Muhammad Yamin yang memang tergila-gila dengan Majapahit, kemudian memerintahkan seniman bernama Henk Ngantung untuk melukis wajah Gadjah Mada berdasarkan celengan yang ia temukan.

Wajah Gadjah Mada dalam cover buku karya Muhammad Yamin yang terbit pada 1945

Celengan tersebut secara resmi ditetapkan sebagai wajah Gadjah Mada ketika Muhammad Yamin menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1953. Sejak saat itulah, wajah Gadjah Mada masuk kurikulum dan muncul dalam buku-buku wajib pegangan para siswa.

Bantahan atas wajah Gadjah Mada dapat kita temukan dalam ulasan Agus Aris Munandar, arkeolog dari Universitas Indonesia yang juga peneliti Gadjah Mada. Menurutnya, patung Bima dan Brajanata lebih mewakili sosok Gajah Mada.

Dari kiri ke kanan: buku Gajah Mada karya Agus Aris Munandar,
arca Brajanata, dan Muhammad Yamin. Pembahasan serupa juga kita temukan dalam historia dan buku seri bapak bangsa dari Tempo.

Bagi umat Islam di Indonesia, penggambaran kejayaan peradaban Hindu-Buddha memang lebih membekas.

Walhasil, umat merasa kerdil. Islam yang muncul di negeri kita sejak abad ke-7 Masehi ini, dianggap tak memiliki kontribusi besar.

Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya adalah berhasilnya strategi “Nativisasi”. Nativisasi adalah gerakan untuk mengecilkan peran Islam pada sebuah bangsa dengan cara membangkitkan budaya atau sejarah keagungan pra-Islam dan secara licik, menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang asing dan merusak kebudayaan lama. Nativisasi dilakukan oleh Prancis di Mesir dan Inggris di India, lalu diujicoba di Jawa pertama kali oleh Thomas Stanford Raffles.

Borobudur, digali kembali oleh Raffles, perwakilan Inggris ketika menjajah Indonesia. Jadi, apa kepentingan Raffles – yang bukan seorang Buddha – menggali bangunan yang sudah lama tertimbun abu vulkanik dan diabaikan masyarakat?

Para penjajah menggunakan nativisasi sebagai cara untuk meredam perlawanan sekaligus menghancurkan keyakinan umat terhadap Islam itu sendiri. Di Mesir, Napoleon Bonaparte menggali sisa-sisa kejayaan Fir’aun (Mesir kuno) dan memopulerkannya kembali kepada masyarakat.

Di India, Inggris menginvestigasi kejayaan India sebelum era Islam dan menghembuskan bahwa Islam melakukan penjajahan atas mereka. Dengan keterbatasan media saat itu, info sejenis mudah berhembus dan terjadilah perlawanan terhadap Kesultanan Mughal.

Di masa-masa ini, Inggris mengirim Thomas Stamford Raffles, seorang megalomania yang diutus untuk memimpin Jawa. Raffles melihat, bahwa strategi penaklukan Jawa yang sebelumnya dilakukan oleh Daendels, sangat tidak efektif. Melalui pemaksaan kebijakan, Daendels memaksa rakyat membangun Pelabuhan di Ujungkulon, membakar Istana Surosowan milik Kesultanan Banten, membuang Sultan, hingga memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 KM.

Dengan berbagai tingkahnya itu, Daendels dijuluki sebagai “Mas Galak” dan sering berakhir dengan adu argumen hingga ditolak para sultan terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Jika ditelusur, apa yang dilakukan Daendels memang sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai hasil didikan Revolusi Prancis yang membuatnya sangat menggebu-gebu dalam meruntuhkan sistem pemerintahan monarki.

Sebaliknya, Raffles melihat bahwa sumber masalahnya bukanlah pada sistem monarki yang diterapkan elit kesultanan. Jika ingin menancapkan kolonialisme di Nusantara, terutama di Jawa, maka yang dihadapi adalah Islamnya.

Walhasil, mulailah ia menggagas penggalian-penggalian jejak arkeologi seperti candi-candi di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Padahal, candi-candi ini sudah lama ditinggalkan.

Thomas Stamford Raffles. Sebagai bagian dari nativisasi sekaligus bukti keseriusannya atas upaya menaklukkan Nusantara, ia menulis buku “The History of Java”.

Kesulitan penjajah menaklukkan Nusantara terbukti dengan terbantahnya isu penjajahan selama 350 tahun. Sebab, sampai tahun 1904 saja, sultan Aceh, Bone, dan raja-raja Bali masih gagah menolak tunduk kepada penjajah.

Borobudur dan Prambanan misalnya, sudah terkubur dan hancur sejak akhir masa Kerajaan Mataram kuno oleh abu vulkanik meletusnya Gunung Merapi. Di era Islam, kedua candi ini sudah “hilang”. Orang-orang sudah tidak lagi peduli.

Setelah berhasilnya penggalian, dimunculkanlah narasi-narasi terkait kejayaan kerajaan Hindu-Buddha di masa sebelum Islam, dan dimulailah strategi nativisasi yang dilakukan oleh para penjajah.

Pasca kemerdekaan, melalui para intelektual hasil didikan Barat, nativisasi dimunculkan kembali dan menjadi kurikulum pendidikan kita. Hingga kita pun merasa, bahwa kaum muslimin di negeri ini sangatlah kuno, terbelakang, dan tidak membawa kejayaan.

“Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam.

Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat islam kepada akidah-akidah sebelum Islam. Tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.

Theodore Cuyler Young, Near Eastern: Culture and Society

Sumber dan Rekomendasi Bacaan

Agus Sunyoto. 2012. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN: Tangerang Selatan.

Irfan Afifi. 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Buku Langgar: Yogyakarta.

Mahandis Yoanata Thamrin. 2022. Selidik Ahli Epigraf: Nusantara dan Skandal Ilmiah Majapahit. Majalah National Geographic.

Martin van Bruinessen. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan: Bandung.

M. C. Ricklefs. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Serambi: Jakarta.

M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Serambi: Jakarta.

Nur Khalik Ridwan. 2021. Islam di Jawa Abad XIII-XVI. Buku Langgar: Yogyakarta.

Risa Herdahita Putri. 2019. Wajah Lain Gajah Mada. Majalah Historia.

Seri Buku Tempo “Bapak Bangsa”. 2016. Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuji.

Laman Facebook Aibodi https://www.facebook.com/photo?fbid=118998414406751&set=pcb.119002614406331

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *