Mengapa Umat Islam Mudah Dipolitisasi?
Salah satu masalah terbesar kaum muslimin saat ini adalah kurang cerdas dalam melakukan analisis politik. Kaum muslimin tidak lagi menggunakan pemikiran cemerlang bahkan mendalam ketika menganalisis berbagai peristiwa politik yang berseliweran di depannya. Kita hanya berpikir dangkal atau bahkan tidak berpikir sama sekali. Akibatnya, kaum muslimin sering kali bersikap sangat reaktif, mudah “meledak”, bahkan gampang diprovokasi dan dipolitisasi.
Banyak kalangan kaum muslimin mulai dari tukang becak, marbot, sopir angkot, aparat desa, buruh, pegawai negeri, guru, pelajar, aktivis mahasiswa, hingga yang bertitel ustadz, intelektual sampai ulama sedikit sekali yang jernih dalam menganalisis berbagai peristiwa dan masalah politik. Kita justru lebih cerdas ketika menganalisis pertandingan Real Madrid versus Barcelona, juga sangat mendalam ketika menganalisis hubungan asmara selebritis. Efeknya, jangankan membangkitkan kembali peradaban Islam, hanya sekadar memahami siapa sebenarnya pihak yang mengancam kaum muslim, apa strateginya, juga bagaimana usaha meloloskan Islam dan kaum muslimin dari jebakan musuh saja kita tidak mampu.
Maka, analisis politik itu perlu bin wajib. Namun sebelum lebih jauh menganalisis politik, setidaknya kaum muslimin harus berpikir secara cemerlang (at tafkir ul-mustanir). Berpikir cemerlang inilah yang akan menjadi pintu bagi setiap analisis politik kita. Berpikir cemerlang adalah berpikir mendalam tentang sesuatu hal dan berpikir mendalam tentang hal-hal yang berhubungan dengan suatu hal tersebut. Berpikir cemerlang adalah tingkatan berpikir di atas berpikir mendalam dan kebanyakan kaum muslimin jauh dari metode berpikir ini, karena hanya sampai pada berpikir dangkal.
Tuduhan gegabah atas berbagai narasi di media sosial adalah salah satu bukti bahwa mayoritas kaum muslimin masih berpikir dangkal. Contoh lainnya adalah kala ISIS memproklamirkan Khilafah. Kaum muslim heboh, ada yang baiat, ada yang langsung hijrah ke Suriah, dan bahkan ada yang terkena stigmatisasi hingga bendera bertuliskan tauhid dianggap sebagai bendera ISIS. Parahnya, tak sedikit yang terlibat debat kusir di media sosial. Pun ketika Saudi menyerang Yaman, kaum muslim heboh, saling ejek di media sosial, saling tuding, saling fitnah.
Setiap ada trending topic politik mulai dari pilpres, kasus Palestina, Arab Spring, awal-akhir Ramadhan, hingga masalah tahlilan, kaum muslimin selalu heboh, panik, reaktif, dan sangat mudah “tersulut”. Inilah bukti bahwa sebagian besar kita masih berpikir dangkal, yaitu setiap melihat fakta yang muncul di depan hidung tanpa banyak bacot langsung telan tanpa dikunyah-kunyah dulu. Lebih parahnya lagi, seringkali kita menyitir ayat suci Al-Qur’an atau hadits Rasulullah untuk membenarkan analisis kita yang dangkal.
Seharusnya, minimal kita sebagai muslim berpikir mendalam. Berpikir mendalam adalah metode berpikir para intelektual. Metode berpikir ini mirip dengan metode ketika kita membuat penelitian, skripsi, tesis dan sejenisnya, namun lebih praktis. Minimal ketika kita melihat atau mendengar sebuah fakta, kita paham terlebih dahulu latar belakangnya, permasalahannya, fakta-fakta yang ada di sekelilingnya, baru kemudian kita sampai pada tahap menyimpulkan.
Layaknya penonton sepak bola, mereka yang berpikir dangkal pasti memiliki semboyan “asal MU, asal Real Madrid, asal Barcelona”. Mereka inilah para supporter abal-abal, mudah dihasut dan berpindah haluan, tidak paham masalah bola dan hanya suka tim tertentu karena pemainnya ‘cakep’. Namun, penonton yang berpikir mendalam sedikit banyak memahami aneka strategi, daftar pemain dan pola permainan. Supporter golongan ini cenderung dihuni para petaruh bola, orang-orang yang sikapnya anteng dan di kepalanya penuh aneka analisis. Lain lagi dengan para supporter sejati, yang cenderung memahami luar dalam club yang dibelanya, latar sejarahnya, prestasinya, pelatih dan pemainnya dari berbagai sisi. Supporter seperti ini sulit dihasut dan tidak mudah diprovokasi meski tim idamannya jadi juru kunci liga. Inilah golongan para pemikir (bola) yang cemerlang.
Dalam politik, berpikir cemerlang adalah memikirkan secara mendalam berbagai fakta politik serta berpikir mendalam terkait hal-hal yang berhubungan dengan fakta tersebut. Apabila ditambahkan politik Islam maka orang tersebut harus menghubungkan itu semua dengan nash-nash syara’. Contohnya terkait ISIS, orang tersebut tidak hanya berpikir tentang latar belakang, pelaku, serta motivasi ISIS, namun juga harus memahami latar belakang tokoh-tokohnya, latar belakang Arab Spring di Suriah, sejarah perpolitikan Suriah dan Iraq, tokoh-tokoh politik di dua negara tersebut, serta sepak terjang negara penjajah dalam mengeksploitasi kedua negara tersebut. Juga patut dipahami secara mendalam fikroh dan thariqoh ISIS serta apa itu Khilafah, thariqoh penegakannya, sejarahnya, juga dalil-dalilnya secara mendalam. Baru setelah itu bisa diambil sebuah simpulan.
Contoh lainnya adalah kasus Yaman. Mereka yang berpikiran cemerlang akan menggali latar belakang dan akar konflik tersebut, sejarah politik gerakan Houthi, Republik Yaman, kerajaan Saudi Arabia, memahami sepak terjang negara-negara penjajah di kedua negara tersebut, memahami berbagai sejarah, politik, hingga motif negara-negara yang terlibat dalam konflik tersebut. Tak lupa memahami secara mendalam apa itu Syiah, Nashibah, dan Ahlus Sunnah, serta memahami berbagai nash syara’ dalam rangka memberikan sebuah simpulan serta solusi bagi konflik tersebut.
Inilah sedikit pemahaman terkait berpikir cemerlang. Intinya, berpikir cemerlang membutuhkan pemahaman yang mendalam serta keharusan untuk belajar secara serius, jernih, dan mendalam terkait berbagai hal, khususnya politik. Memang terlihat melelahkan. Namun, jika kita telah mengikrarkan diri agar selalu dipolitisasi, mudah diprovokasi, dan bahkan menjadi bagian dari manusia sumbu pendek, maka sejatinya pemikiran umat Islam tak akan pernah bangkit. Wallahu a’lam.[]
Sumber :
Muhammad Rahmat Kurnia. 2014. Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif. Al-Azhar Press: Bogor.