PemikiranPolitikSejarah

Bagaimana Menyikapi Dinamika Khilafah Sebagai Sistem dan Bisyarah?

Share the idea

Untuk lebih memahami mengenai Farag Fouda, dapat dibaca pada artikel kami yang berjudul, “Perdebatan Cendekiawan Mesir Melawan Islam Liberal”.

Efek yang diberikan dari tulisan seorang muslim liberal Mesir, Farag Fouda, menjadikan kaum liberal berpikir lebih bebas dalam menerka dan menerawang ide Khilafah. Padahal, Khilafah bukanlah ide yang diusung oleh sebuah atau beberapa ormas tertentu. Jika ditelusuri dari aspek sejarahnya, dinamika perjuangan Khilafah telah mengalami pasang surut dan senantiasa bersama umat Islam.

Efek selanjutnya yang lebih berbahaya adalah semakin beraninya para pengusung ide Islam Liberal untuk membuat umat Islam ikut terseret dalam pemikiran yang bebas. Tidak hanya Farag Fouda, ada beberapa orang seperti Nadirsyah Hosen “Gus Nadir”, yang menulis buku fenomenalnya yakni: “Islam Yes, Khilafah No!”, yang menggambarkan kegagalan sistem Khilafah pada masa lalu, seperti sejarah berdarah politik Islam yang bahkan menurutnya jauh lebih buruk dari sistem Demokrasi saat ini. Mulai dari dibunuhnya Utsman bin Affan di rumahnya sendiri ketika ia sedang dalam keadaan membaca Al Qur’an. Hal ini kemudian menyulut untuk pertama kalinya perang saudara sesama umat Islam, yaitu antara keponakan nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib dengan istri nabi Muhammad, Aisyah.

Bahkan lebih banyak lagi seperti Akhmad Sahal dan Ulil Abshar Abdalla, penulis yang menggambarkan bahwa Khilafah adalah sesuatu yang asing bagi umat Islam dan bahkan tidak cocok diterima di zaman sekarang.

Memang benar, bahwa Khilafah telah mengalami pasang surut dalam bidang kepemimpinan. Hal tersebut adalah fakta tak terbantahkan. Namun yang membuat umat Islam merasa aman tidak hanya dipengaruhi oleh pemimpinnya, melainkan juga oleh sistem dan aturan yang digunakannya. Sejatinya, pemimpin adalah sebagai pelaksana hukum yang menjalankan perintah hukum syari’at.

Jelas substansi dalam masalah ini berbeda. Pertama, Khilafah sebagai sistem yang mengatur manusia. Kedua, manusia yang menjalankan sistem. Bentuk sistem pengaturan dalam Islam bersifat mutlak, nilai benar-salah dipandang dari halal dan haramnya suatu perbuatan. Sedangkan manusia sebagai objek yang menjalankan sistem tersebut, memiliki pilihan untuk mengikuti aturan atau tidak. Kesimpulannya, bukan sistem yang gagal dalam memimpin umat karena dia sudah bersifat mutlak, namun substansi bagaimana manusia itu menjalankan syari’at Islam secara kaffah yang seharusnya dipertanyakan.

Sebagai analogi, Islam dengan muslim adalah dua hal yang berbeda. Bagi seorang muslim, Islam sudah benar sebagai sebuah konsepsi, sementara muslim sebagai pelakunya adalah makhluk yang berpotensi melakukan kesalahan. Maka, Khilafah dengan khalifah adalah berbeda. Khilafah adalah sebuah sistem politik Islam, sedangkan khalifah sebagai pemimpinnya bisa berbuat salah. Jika ada muslim yang bermaksiat, jangan salahkan dan benci Islamnya. Jika ada khalifah yang bermasalah, tidak bisa dijadikan sebagai legalitas atas penolakannya terhadap Khilafah.

Jika Khilafah adalah ajaran Islam, lantas, muslim mana yang justru tidak menginginkan ajaran agamanya diterapkan? Lalu, jika bukan dengan Khilafah, apakah ada institusi lain yang dapat menerapkan Islam secara sempurna?

Karena itu, menyamakan antara sistem Khilafah, kerajaan, keemiran, republik atau konsep negara bangsa adalah argumen yang gegabah. Sebab, faktanya Khilafah dibandingkan dengan berbagai sistem pemerintahan lain memang berbeda dari sisi asas, metode dan tujuan.

Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi ini?

Perihal masalah khilafiyah tentang konsep Khilafah bukanlah suatu faktor yang justru menjadi pemecah belah ukhuwah Islamiyah. Semua umat Islam percaya bahwa Islam akan dimenangkan kembali, sebagai sebuah fase yang harus dilewati sebelum terjadinya kiamat.

Perbedaan pendapat dan persepsi dalam berpikir (yang mencakup perkara furu’) merupakan suatu anugerah dalam Islam. Adanya perbedaan itu, justru menjadikan umat Islam tidak puas dan membatasi diri dengan karya pendahulunya, yang kemudian mendorong mereka untuk menghasilkan berbagai karya. Terhadap perkara yang tidak ada nash nya, Rasulullah pun membiarkan pintu ijtihad tetap terbuka, tidak menutupnya, dan tidak menyuruhnya untuk ditutup oleh sebab apapun.

Dan sadarkah kita bahwa berita pembebasan Konstantinopel merupakan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah ketika perang Khandaq? Lantas, apa yang dilakukan umat Islam kala itu? Tentu tidak diam atau tidak menertawakan “kemustahilan” dari janji tersebut. Umat Islam justru berjuang dan terus istiqomah “memantaskan diri” demi mewujudkan apa yang telah Rasulullah janjikan, membebaskan Konstantinopel demi meninggikan agama Allah.

Jika bisyarah pembebasan Konstantinopel telah terbukti kebenarannya walau membutuhkan perjuangan lebih dari 800 tahun, lantas bagaimana dengan bisyarah Khilafah?

… Kemudian akan tegak kembali Khilafah yang mengikuti jejak kenabian…” (HR. Ahmad).

Sebagai penutup, mari kita jawab dan renungi sebuah pertanyaan menarik. Apakah dengan kepastian terwujudnya bisyarah itu justru membuat kita diam menunggu, atau ikut berjuang sampai “Khilafah ‘alaa Minhaj Nubuwwah” tegak kembali? []

Sumber:

Al-Wakil, Muhammad Sayid. 2005. Wajah Dunia Islam: dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Aziz, Abdul, 2016. Islam versus Demokrasi. Jakarta: PT Saadah Pustaka Mandiri. 

Azra, Azyumardi, dkk. 2017. Jihad, Khilafah dan Terorisme Bandung: Mizan Media Utama.

Fouda, Farag, 2012. KEBENARAN YANG HILANG: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim. Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi.

Imam as-Suyuti. 2015. Tarikh Khulafah. Jakarta: Qitshi Press.

Sastra, Ahmad, 2019. KHILAFAH: KEWAJIBAN DAN KEBUTUHAN. Tim Follback Dakwah.

Sastra, Ahmad, 2019. NARASI ABSURD SANG PEMBENCI KHILAFAH. Tim Follback Dakwah.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *