Apa Jadinya Jika Islam Turun di Tiongkok?
Terlecut oleh semangat dakwah, umat Islam terus mencari cara agar dakwah semakin meluas dan diterima oleh beragam kalangan di berbagai wilayah. Pada masa Khalifah ‘Utsman bin Affan, akhirnya dibangun armada laut pertama dalam sejarah Islam.
Melanjutkan jejak ekspedisi militer di masa Khalifah ‘Umar, armada laut tersebut memiliki dua fungsi, yakni menggagalkan setiap serangan balik pasukan Byzantium (yang saat itu sedang dalam kondisi perang dengan Khilafah) dan menyebarkan Islam dengan melintasi berbagai pulau. Karena bagaimanapun, dakwah dan jihad merupakan metode politik luar negeri negara Khilafah yang keberadaannya mutlak diemban oleh negara.
Selama masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman, utusan muslim dengan armada lautnya dikirim ke Tiongkok untuk membangun hubungan antara Khilafah dengan Dinasti Tang. Khalifah mengutus generasi pemeluk Islam pertama, Sa’ad bin Abi Waqqash, sebagai duta Islam bagi Tiongkok.
Sebagai bangsa yang sama-sama gemar berdagang, dakwah Islam lebih mudah menyebar di Tiongkok melalui perdagangan. Meski hubungan tersebut terus berlanjut pada generasi-generasi selanjutnya, namun Tiongkok tidak pernah sepenuhnya mengadopsi Islam, dan komunitas muslim tetap menjadi minoritas.
Sebab, sebagaimana yang dipaparkan oleh Firas Alkhateeb, bahwa agama-agama yang populer seperti Buddha dan Konghucu, sungguh bertolak belakang dengan Islam. Hal ini sangat berbeda dengan muslim yang berdakwah di wilayah Kristen yang sama-sama merupakan agama samawi dan dapat berhubungan dengan masyarakat lain melalui “kesamaan” sejarah tentang Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa.
Oleh karena itu, dalam hal dakwah dan penambahan tsaqofah, masyarakat muslim cenderung memisahkan diri dari kelompok utama masyarakat dan membuat komunitasnya sendiri.
Pada masa Kekhilafahan bani Umayyah, ekspansi militer Islam dapat mencapai Kashgar, salah satu daerah kekaisaran Tiongkok. Pembebasan tersebut dipimpin oleh Qutaibah bin Muslim Al-Bahili, seorang panglima Islam di masa pemerintahan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik.
Hampir terjadi peperangan langsung antara pusat Kekaisaran Tiongkok dengan Khilafah. Namun, Kekaisaran Tiongkok mengurungkan niatnya dan lebih memilih membayar jizyah dan mengirim hadiah kepada Khalifah berupa emas, mutiara, sutra, pakaian, dan beberapa utusan kekaisaran.
Meski minoritas, umat Islam memiliki andil yang luar biasa besar bagi sejarah dan peradaban Tiongkok selama berabad-abad. Setelah puluhan tahun berdakwah, pada tahun 750-an tentara muslim diundang khusus untuk mengisi berbagai posisi di struktur militer dan birokrasi pemerintahan Tiongkok.
Umat Islam yang terkenal kompeten, memiliki intelektualitas yang tinggi, serta berakhlak baik, segera menyita perhatian petinggi dan masyarakat, sehingga didorong untuk melakukan perkawinan campuran dengan wanita lokal dan menetap di sana.
Mereka memiliki nilai-nilai ideal, sarana, dan prasarana kelas tinggi yang tidak dimiliki oleh orang-orang Tiongkok. Kepercayaan yang besar antara pemerintah Tiongkok terhadap muslim membuat mereka mendapat berbagai keistimewaan dan diberikan amanah besar untuk memerintah hingga 8 provinsi dari 12 provinsi kekaisaran. Jabatan tersebut mencakup gubernur, walikota, hakim, administrasi, dan jabatan penting lainnya.
Kesulitan ajaran Islam menembus tradisi bangsa Tiongkok justru berhasil dipecahkan pasca invasi besar-besaran pasukan Mongol kepada Khilafah ‘Abbasiyyah. Inilah salah satu hal yang sering luput dari benak kaum muslim – bahwa bangsa Mongol sudah mulai memeluk Islam 35 tahun setelah mereka menginvasi wilayah muslim. Bahkan, tidak sampai setengah abad, Allah menambah kekuatan umat Islam dengan masuk Islamnya mayoritas bangsa Mongol.
Islam telah menaklukkan mereka yang merupakan bangsa nomaden kejam dan tak mengenal pendidikan serta akhlak. Islam telah masuk ke dalam hati mereka yang kosong dan membutuhkan ketenangan jiwa. Hal ini layaknya berkah di balik musibah. Bahkan sejarawan Inggris, Thomas Arnold, menyebutnya sebagai salah satu peristiwa paling aneh dalam sejarah. Bangsa ini tunduk dan memeluk agama Islam, agama dari kaum yang baru saja mereka taklukkan dan tundukkan, padahal mereka sedang berada di puncak kejayaan.
Pasca invasi, wilayah kekaisaran Mongol meluas meliputi wilayah yang sebelumnya dikuasai Islam, seperti Asia Tengah dan Persia, bersama sebagian Tiongkok. Raja-raja, pejabat, dan rakyat Kekaisaran Mongol yang telah masuk Islam, kemudian melebur dalam masyarakat Islam yang mereka perintah (termasuk di dalamnya wilayah Tiongkok), dan mereka menjadi bagian dari penduduknya.
Setelah Islam memasuki Kekaisaran Mongol, Islam sepenuhnya berasimilasi dengan kebudayaan Tionghoa. Mereka tidak dipandang lagi sebagai orang asing, melainkan sebagai rekan senegara dengan identitas mereka sendiri – suku Hui.
Setelah tinggal di sana selama ratusan tahun, muslim Tiongkok di era Dinasti Ming mampu berasimilasi dengan budaya lokal, mengadopsi kebiasaan Tionghoa (bahkan nama-namanya), sambil melanjutkan tradisi bekerja di berbagai bidang pemerintahan kekaisaran sebagai pegawai negeri dan pemimpin militer.
Keturunan suku Hui – yaitu suku Uighur, juga melanjutkan tradisi Islam di Tiongkok. Mayoritas suku Uighur berdomisili dan terpusat di daerah Xinjiang, yang dahulu tergabung ke dalam wilayah yang ditaklukkan oleh Qutaibah. Mengikuti pendahulunya, mereka lebih menginginkan hidup damai dalam komunitas muslim yang terpisah.[]
Sumber dan Referensi Bacaan:
Ahmad Al-‘Usairy. 2008. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Akbar Media Eka Sarana. Jakarta.
Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira. Jakarta.
Tim Riset dan Studi Islam Mesir. 2013. Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid 1-2. Pustaka Al Kautsar. Jakarta.