Pengaruh Sastra dan Literasi Terhadap Pergerakan Feminisme

Share the idea

Oleh: Alin Aldini

Zaman akan berubah seiringan dengan berjalannya waktu, setiap zaman memiliki kelebihan dan tantangannya tersendiri. Sejarah menunjukkan bahwa setiap kurun waktu mempunyai tokoh, filsuf atau pemikir dan pembaharu (dalam Islam) setiap seratus tahun sekali. Itu sudah ada sejak zaman kekhilafahan sepeninggal Rasulullah SAW, yang dapat ditemukan pada zamannya Imam Asy-Syafi’i, dialah sang mujaddid sekitar abad ke-9 M pada masa kekhilafahan Abbasiyah.

Budaya literasi dikembangkan justru bukan sejak feminisme mendeklarasikan diri atas ketertindasannya dari kaum laki-laki. Barat dan Timur begitulah sejarah mengkategorikan jalan atau buah pikir yang menghasilkan keyakinan (akidah), padahal sejatinya awal mula pergerakan pemikiran untuk melek huruf dan berpendidikan sudah digemari kalangan Muslim, Rasulullah SAW adalah contoh teragung untuk membudayakan literasi di tengah-tengah umatnya, menjadikan tawanan perang sebagai guru baca dan tulis.

Gerakan feminisme pun bermunculan disebabkan karena wanita mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti di Yunani dan Romawi, wanita hanya dijadikan sebagai alat pemuas laki-laki yang kedudukannya sebanding dengan budak yang memuaskan tuannya. Perlakuan Arab dan China pun demikian, bahkan lebih kejam dengan membunuh atau mengubur anak perempuan hidup-hidup, karena wanita dipandang sebagai aib keluarga.

Agama-agama selain Islam pun tak mampu membela hak-hak perempuan, seperti yang tercantum dalam kitab Nasrani yang tertulis, 1 Timotius 2:214: “Lagi pula bukan Adam yang tertipu, melainkan perempuan itulah yang tertipu dan jatuh ke dalam dosa”. Bahkan dalam doanya kaum pria Yahudi wajib membaca doa berikut, Menahoth 43b-44a: Terima kasih Tuhan, karena tidak menjadikanku seorang kafir, atau seorang wanita atau budak belian “dosa”.

Selain mengusung gagasan-gagasan kesetaraan gender, feminisme ingin menyatakan bahwa keberadaan wanita bukan hanya sebagai pemuas pria. Gagasan ini berhasil mengubah alur sejarah, tapi apakah itu sebuah solusi kebangkitan perempuan atas pemenuhan hak-haknya? Mulai dari feminisme Liberal, Marxis, Radikal, Sosial, Teologis, sampai Ekofeminisme banyak melahirkan tokoh-tokoh dan karya-karya sastra yang mampu menarik perhatian dunia.

Seakan membuahkan prestasi gemilang, alih-alih justru malah membuat kaum perempuan terjungkir kembali pada jurang nestapa. Beberapa tulisan dan produk sastra (seni bahasa) pun tersebar kemana-mana, baik Timur ataupun Barat. Sebagai contoh adalah pentas teater pada abad ke-19 M yang dibintangi oleh Lola Montez yang berujung pada kehancuran sebuah daratan Eropa, yaitu di Munich, Bavaria.

Eropa atau Barat menyadari bahwa perempuan ada hanya membuat kekacauan dan hilangnya kekuasaan, yang sudah dibuktikan juga di abad-abad sebelumnya dengan adanya Barbara Celje (w. 1451 M) sebagai Ratu Hungaria yang membunuh suaminya sendiri demi kekuasaan. Dari kedua tokoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa perempuan mampu bergerak setara bahkan melebihi laki-laki sehingga mereka lebih dulu membayar telak atas penidasan atau penghinaan dari kaum Adam.

Perkembangan zaman mengaburkan kelamnya sejarah, mengubur dalam-dalam kebohongan dan kepalsuan paham feminis yang membabi-buta merusak tatanan hidup, bukan hanya pada kalangan perempuan, tapi juga laki-laki bahkan masyarakat secara luas.

Karya-karya sastra seperti Hikayat 1001 malam, selain cerita tentang wanita yang membangkitkan aroma feminisme bahwa wanita berhak berdiri di atas kaki sendiri dan mampu menundukkan laki-laki atas nafsu semata atau bahkan tidak bisa berbuat apa-apa, juga lebih menggeser nilai syariat dalam kepemimpinan Islam, seperti perlakuan khalifah yang memiliki banyak istri (poligami) dalam Harem.

Abad ke-20 hingga ke-21 M ini tentu sangat banyak karya-karya sastra yang memutar kembali lagu lama sejarah kesetaraan dengan konteks pemenuhan kebebasan berekspresi (mengaktualisasikan diri), seperti karya Osamu Dazai yang berjudul No Longer Human yang menceritakan traumatik seorang suami karena melihat isitrinya diperkosa hingga mengantarkannya kembali pada perlakuan kejinya terhadap perempuan di masa lalu, atau manga yang dibuat oleh Kousuke Oono yang berjudul Gokushufudo (The Way of The Househusband) yang menceritakan peran dominan laki-laki di wilayah domestik, sedangkan perempuan dominan berperan di wilayah publik.

Itulah mengapa feminisme bukan hanya diusung oleh perempuan, tapi juga kalangan laki-laki tulen, laki-laki/perempuan transgender, atau bahkan biseksual. Gema Martin Munoz, Profesor Sosiologi tentang Arab dan Dunia Islam dari Universitas Autonoma Madrid menulis dalam sebuah artikel berjudul ‘Perempuan-perempuan Islam di Mata Barat’, “Media tak hanya merupakan hampir satu-satunya sumber informasi akan gambaran dan sikap yang mereka ciptakan.

Mereka juga secara historis mengabadikan streotip-streotip warisan dan khayalan-khayalan budaya yang membentuk bagian dari bank memori kolektif nasional.” Ketika Islam menyeru perempuan untuk berperan aktif dalam publik bahkan berpendidikan tinggi, bukan berarti mendukung atau menerima ajaran feminisme. Atau saat perempuan wajib mentaati suami yang mengajak pada kebaikan dan bergerak atas kepemimpinan laki-laki bukan berarti mereka mengalami penindasan.

Bahwa keadilan bukan ditentukan oleh feminisme atau maskulinitas, tapi ditentukan oleh tolak ukur Khaliq, yaitu Allah SWT. Islam mampu mencetak perempuan-perempuan produktif di berbagai bidang, bahkan kedudukannya dihormati dan dimuliakan, karena peran perempuan sebagai ibu bagi anak-anaknya dan bagi peradaban begitu strategis. Baik itu di masa Rasulullah SAW, hingga masa kehilafahan setelahnya.

Seperti Aisyah binti Abdul Hadi yang ditunjuk sebagai guru utama pada masa Bani Umayyah, beberapa perempuan yang memegang kendali bisnis tanah dan properti di masa Utsmaniyah, dan tentunya Khadijah binti Khuwailid yang berperan dalam berbagai dimensi kehidupan, terutama menjadi istri sang kekasih Allah SWT, yaitu Rasulullah SAW.

Amal Abdullah Jazilan, dalam sebuah artikel yang berjudul, Al-Mar’ah Al-Hadidiyah (Wanita Besi), menceritakan penderitaan wanita sebagai berikut: “Wanita memang pantas dikasihani. Dia telah dan masih menuntut hak-haknya hingga sekarang. Tapi, kian keras dia menuntut, kian keras pula tekanan terhadapnya. Dan kian keras usahanya, kian berat pula beban yang dipikulnya.”

Maka, bagaimanapun feminis mengusung ide dan gagasannya tentang kesetaraan dan hak-hak perempuan tidak akan menghasilkan kerja yang baik bagi kehidupan perempuan, nasib keluarga, masyarakat, bahkan dunia, begitu pula kejahatan kolonialisme (penjajahan) yang dibungkus manis (feminisme) dalam berbagai karya sastra atau literasi.

Semua kepalsuan akan terkikis dan pengaruhnya akan menjadi sampah sejarah dalam perjuangan hakiki Islam, yaitu meraih ridho Allah SWT dengan tunduk di bawah syariat-Nya.

Sumber:

Ahmad Farid. 2015. 60 Biografi Ulama Salaf. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

Felix Y. Siauw. 2017. Wanita Berkarir Surga. Al-Fatih Press: Jakarta.

Fuad Shalih. 2016. Untukmu Yang Akan Menikah dan Telah Menikah. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

Imam As-Suyuthi. 2015. Tarikh Khulafa. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

dr. Nazreen Nawaz. 2019. Mengkritik Feminisme. Imune Press.

Permata Mitra Media. 2015. “Sejarah seru: Rahasia Lola Montez” dalam Majalah D’Rise. September. Bogor.

Sayf Muhammad Isa dan Felix Y. Siauw. 2016. Seri Kedua The Chronicles of Ghazi. Al-Fatih Press: Jakarta.

https://www.instagram.com/natsumesoseki_/

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *