Seberapa Seriuskah Indonesia Menghadapi Bencana Alam?
Takdir menempatkan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik (Australia, Eurasia, dan Pasifik) sehingga pantas dijuluki sebagai super market bencana karena hampir semua jenis bencana alam ada di Indonesia. Maka, sangatlah wajar jika Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan dengan bencana alam kebumian. Indonesia menempati urutan pertama dari 76 negara bahaya tsunami dan bahaya longsor di antara 162 negara, peringkat ketiga untuk ancaman gempa bumi dari 153 negara, dan keenam untuk banjir dari 162 negara.
Kejadian bencana di Indonesia dalam dua dekade terakhir telah menyebabkan hilangnya nyawa lebih dari 165.708 orang karena tsunami Aceh tahun 2004, 1.300 orang karena gempa bumi Nias tahun 2005, 5.778 orang korban tsunami Pangandaran, Jawa Barat tahun 2006 dan gempa bumi Padang Sumatera Barat tahun 2010 yang menyebabkan 1.117 orang meninggal dunia (UNDP-Indonesia, 2008).
Badan nasional penanggulangan bencana (BNPB) mencatat hamper 75 persen infrastruktur industri dasar dan prasarana pendukungnya dibangun di atas zona rentan bencana. Setiap tahunnya, Indonesia mengalami kerugian ekonomi akibat bencana kurang lebih Rp30 triliun (Republika, 2017).
Bencana didefinisikan sebagai suatu kejadian yang diakibatkan oleh faktor alam atau non-alam yang menyebabkan kematian, kerugian, atau kerusakan komunitas. Kejadian yang tidak menyebabkan kematian atau kerusakan dapat disebut bukan bencana. Sedangkan potensi terjadinya sesuatu yang menyebabkan kematian atau kerusakan disebut ancaman atau bahaya (hazard). Oleh karena itu, dalam diskursus manajemen bencana seringkali dikenal kata-kata seperti bencana (disaster), ancaman/bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), kapasitas (capacity), terdampak (exposure), dan risiko (risk). Terminologi tersebut merupakan konsep yang saling terkait. Secara umum, hubungan antara hazard, vulnerability, capacity, dan risk apabila digambarkan dalam bentuk persamaan seperti berikut: R = (H x V)/C.
Ancaman/bahaya adalah potensi yang sudah dimiliki oleh suatu wilayah terhadap suatu bencana. Sehingga bisa kita sebut bahwa faktor ancaman/bahaya ini adalah suatu kondisi yang tidak dapat diubah. Ia sudah given dari yang maha kuasa. Semakin besar faktor ancaman (hazard) dari suatu wilayah, maka nilai risikonya (risk) akan semakin tinggi.
Adapun faktor kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) ialah faktor yang dipengaruhi oleh manusia yang mendiami suatu wilayah yang memiliki potensi bahaya bencana alam. Kerentanan dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan masyarakat, struktur, pelayanan, atau kondisi geografi wilayah untuk mengurangi dampak kerusakan atau gangguan dari ancaman bahaya. Kerentanan dapak dikelompokkan berdasarkan beberapa jenis, yaitu physical vulnerability, socio vulnerability, economy vulnerability, dan human vulnerability.
Sementara kapasitas dapat didefinisikan sebagai sumber daya atau kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat dan lingkungannya yang memungkinkan untuk mencegah , mempersiapkan, mengatasi, dan memperbaiki dampak suatu bencana dengan cepat. Beberapa jenis kapasitas antara lain kapasitas fisik, kapasitas sosial, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas ekonomi.
Sehingga dapat kita lihat bahwa yang mempengaruhi risiko suatu bencana alam dapat kita bagi menjadi dua aspek. Ada aspek yang murni dipengaruhi kondisi alamiah dan aspek yang dipengaruhi oleh manusia atau masyarakat yang mendiami suatu wilayah yang berpotensi terjadi bencana alam. Atau dalam konsep qadha dan qadar yang dijelaskan oleh An-Nabhani, ada aspek yang berada di luar area yang dikuasai manusia, yaitu faktor ancaman/bahaya dan aspek yang ada di area yang dikuasai manusia, yakni faktor kerentanan dan kapasitas.
Banyak kita dapati beberapa negara yang sama-sama memiliki potensi bahaya yang tinggi, namun kerugian, kerusakan, serta korban jiwa atau harta yang dialami berbeda. Hal itu karena setiap penguasa dari wilayah atau negara tersebut melakukan pengurangan risiko bencana (PRB) dengan meningkatkan kapasitas dan mengurangi tingkat kerentanan dengan cara yang berbeda pula.
Salah satu penyebab tingginya dampak negatif dari bencana alam diyakini berkaitan dengan kerentanan masyarakat yang tergambarkan dari kondisi ekonominya. Potensi rawan bencana di dunia juga dapat dilihat berdasarkan intensitas jumlah bencana yang pernah terjadi di wilayah tersebut. Kejadian bencana yang paling sering terjadi, yaitu di benua Asia. Hal ini diakibatkan oleh letak geografi benua Asia. Sebagai gambaran, penyebaran terjadinya bencana alam di dunia tahun 2007-2017, yaitu 44,4% di Asia, 23,5% di Amerika, 16,7% di Eropa, 12% di Afrika, dan 3,4% di Oseania.
Kejadian bencana alam yang terjadi memang tidak memandang jenis dari negara atau wilayah tertentu. Namun berdasarkan pengalaman kejadian bencana, maka negara berkembang menderita dampak terbesar. Antara tahun 1980 dan 2000, 53% kematian akibat bencana alam terjadi di negara-negara dengan peringkat pembangunan manusia yang rendah. Bahkan, rata-rata 65% dari korban cedera dan korban jiwa akibat bencana terjadi di negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang berada di bawah $760 (sekitar Rp10,4 juta) per tahun.
Meskipun kesiapsiagaan dan mitigasi bencana sudah dianggap penting dan diakui oleh hampir semua negara di dunia serta prinsip-prinsip pengelolaan bencana telah diterapkan, namun negara-negara yang mempunyai indeks pembangunan manusia yang rendah mempunyai manajemen penanggulangan yang kurang baik. Sumber daya manusia nya cenderung hanya difokuskan pada kepentingan sosial seperti pendidikan dan infrastruktur, dan bukan mengarah pada proyek-proyek yang melayani kebutuhan persiapan atau mitigasi terhadap bencana. Dengan demikian, perbedaan bencana alam di negara maju, negara berkembang, dan negara yang miskin sangat signifikan.
Maka, efektivitas Pengurangan Risiko Bencana (PRB) memerlukan dukungan finansial dan penanganan dari pihak-pihak terkait dan disiplin ilmu yang bervariasi. Pemanfaatan riset, pengembangan ilmu pengetahuan, serta pengelolaan data dan informasi tentang kebencanaan bersifat penting dan mendesak.
Pemerintah sebagai pihak yang memiliki power, sumber daya, dan sumber dana adalah pemimpin utama dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pemerintah harus menjamin isu bencana menjadi isu penting dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan. Kekeliruan merumuskan kebijakan manajemen bencana sama artinya menciptakan malapetaka bagi kemanusiaan dan peradaban serta lingkungan.
Seberapa serius pemerintah kita dalam menghadapi bencana alam? Indonesia sebagai negara dengan sebegitu besar ancaman bencana alam kebumian ternyata masih sangat jauh dari kata siap dalam menghadapi bencana alam. Tercermin dari pembatasan anggaran yang disediakan. Menurut data BNPB, pemerintah pusat menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp4 triliun sebagai cadangan penanggulangan bencana. Dana tersebut terbagi atas Rp2 triliun untuk tanggap darurat dan Rp2 triliun lainnya untuk penanganan pascabencana, seperti revitalisasi dan konstruksi ulang. Sementara untuk tahapan mitigasi dan kesiapsiagaan diserahkan kepada BNPB.
Untuk suntikan anggaran ke BNPB, jumlahnya justru menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2016, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp1,6 triliun, namun kemudian dipotong sekitar Rp133 miliar sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 menjadi Rp1,46 triliun. Pada 2017, BNPB hanya mendapat anggaran sebesar Rp839,74 milia, pada 2018 kembali menyusut menjadi Rp749,38 miliar, dan pada tahun 2019, sekitar Rp700 miliar. Padahal, dalam Rencana Strategis (Renstra) BNPB 2015-2019, kebutuhan dana lembaga tersebut mencapai Rp1,94 triliun pada 2016, Rp2,19 triliun pada 2017, Rp2,5 triliun pada 2018, dan 2019 sebesar Rp2,81 triliun.
Mantan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, (Alm.) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan keterbatasan anggaran membuat lembaganya sulit mengupayakan mitigasi dan penanggulangan bencana alam, seperti tsunami yang belum lama ini terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai terkuaknya keminiman mitigasi dari BNPB akibat keterbatasan anggaran menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. “Ini tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia yang berada di ring of fire,“ []
Sumber:
Adiyoso, W. (2018). Manajemen Bencana: Pengantar Dan Isu-Isu Strategis. Bumi Aksara: Jakarta.
An-Nabhani, T. (2007). Peraturan Hidup dalam Islam. HTI Press: Jakarta.
Coppola, D. P. (2006). Introduction to international disaster management. Elsevier: Amsterdam.
Guha-Sapir, D., & Philippe, H. (2015). Annual disaster statistical review 2014: The numbers and trends.
UNISDR, G. (2009). Global assessment report on disaster risk reduction. United Nations International Strategy for Disaster Reduction Secretariat Geneva, Switzerland.