Mengapa Kita Harus Belajar dari Pengalaman Mahal Sri Lanka yang Terjebak Proyek Utang China?
Penulis: Muhammad Fatkhurrozi
Belt and Road Initiative (BRI), yang diluncurkan pada 2013 oleh Republik Rakyat China (RRC), memang unik. Sebagai sebuah proyek, BRI tidak mengusung satu bangunan spesifik, apakah itu pelabuhan, jalan, rel, atau bandar udara. Melainkan BRI adalah sebuah klaim terhadap berbagai macam proyek yang dikerjakan di berbagai negara (total 146 negara tercatat) yang disana terdapat campur tangan RRC.[1] BRI sejatinya hanyalah pentas kekuatan ekonomi RRC.
Jika ada satu kisah proyek BRI yang paling menarik, maka itulah Pelabuhan Hambantota. Pelabuhan di ujung selatan Sri Lanka tersebut menjadi selebritas, setelah dianggap proyek gagal dan konsesinya diambil alih RRC selama 99 tahun. Itu terjadi pada 2017. Pelabuhan Hambantota dianggap sebagai kisah nyata “jebakan utang” RRC ke negara ‘korban’ BRI.
Berbekal studi kelayakan dari Ramboll (konsultan Denmark), pemerintah Sri Lanka mencari partner pendanaan. Proposal kerjasama ditawarkan ke India dan Amerika Serikat, namun keduanya menolak ikut-ikutan[2]. Mereka sadar bahwa proyek Pelabuhan Hambantota ini berpotensi besar merugi. China lalu tampil menjadi pahlawan. Fase pertama Hambantota lalu dibangun pada 2008. Bunga dikenakan sebesar 6,3 persen, bunga tetap, dengan periode ikhlas (grace period) empat tahun[3].
Kegilaan dimulai tidak lama setelah fase pertama selesai dibangun. Presiden Sri Lanka saat itu, Mahinda Rajapaksa, memaksa melanjutkan fase kedua pada 2012. Pemerintah menabrak saran dari studi Ramboll, dimana fase kedua hanya dapat dimulai ketika Hambantota telah nampak menghasilkan keuntungan. Sri Lanka lagi-lagi menambah utang. Sumbernya juga dari Bank Exim China. Bunga dikenakan sangat murah, hanya 2 persen[3].
Waktu berjalan dan Hambantota gagal menghasilkan keuntungan. Keramaian yang diharapkan tidak terjadi. Pada 2015-2016 misalnya, terjadi penurunan kunjungan kapal. Sesuatu yang jarang terjadi di pelabuhan pada waktu itu[4].
Sebabnya beragam: pelabuhan tetangga – Pelabuhan Colombo – yang semakin atraktif, kelemahan manajemen, kekurangan industri dan kawasan komersial pendukung, serta fasilitas pelabuhan yang tidak menarik[4]. Hambantota tidak berhasil menggaet mitra strategis di tingkat internasional yang mutlak diperlukan oleh pelabuhan kelas dunia. Utang menggunung di tengah lemahnya kemampuan bayar.
Dalam tekanan finansial yang intens, Hambantota berusaha mencari solusi. Bailout (suntikan dana) diusahakan dan saham Hambantota ditawarkan ke China. Pada akhir 2017, dibentuk 2 perusahaan baru pengelola Hambantota, yakni Hambantota International Port Group (HIPG) dan Hambantota International Port Services Co. Ltd. (HIPS).
Keduanya dimiliki secara mayoritas oleh China Merchant Port (CMPort), perusahaan yang sudah melanglang-buana di dunia pengembangan pelabuhan[5]. HIPG dan HIPS berada dalam perjanjian konsesi kerjasama pemerintah badan usaha (KPBU atau PPP) selama 99 tahun. Perjanjian tersebut bukanlah tukar utang dengan ekuitas (debt-equity swap), namun lebih berupa investasi segar oleh CMPort. Utang kepada China tetap berjalan tanpa perubahan[6].
Jebakan Utang dan Perburuan Rente
Kisah Pelabuhan Hambantota dan BRI lalu menghasilkan apa yang disebut dengan “diplomasi jebakan utang” (debt-trap diplomacy). Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh geostrategis India, Brahma Chellaney, pada 2017. Narasi tersebut mendapat momentum ketika diamini oleh beberapa pemimpin dunia. Misal para senator di Amerika Serikat dalam kajiannya pada Agustus 2018.
Ada semacam ambisi dari China untuk dapat ikut-ikutan dalam pembangunan di banyak negara. Di megaproyek Pelabuhan Hambantota, China terlihat sangat ‘dermawan’. Sri Lanka adalah negara yang tengah didera konflik berkepanjangan. Tidak banyak yang mau memberi utang, apalagi proyek yang tak jelas manfaatnya. Ditambah lagi, utang dari China diberikan dengan bunga yang relatif mini. Sebagai perbandingan, surat utang Sri Lanka di tahun 2007 ditawarkan dengan bunga 8,25 persen[3]. Kemampuan Sri Lanka menghasilkan pendapatan juga tidak besar.
Namun jika kita mau melihat dengan kacamata lain, sebenarnya tidak ada satu negara maju di dunia ini yang tidak menerapkan strategi ekspansionis.
Di banyak kesempatan, penggarapan berbagai megaproyek di banyak negara berkembang seringkali didalangi oleh negara dunia pertama, baik dengan skema G to G atau B to B. Di Indonesia, proyek konstruksi dan konsultasi yang jelimet sudah hampir pasti dipegang sama kontraktor atau konsultan asing. Statistik menunjukkan, dari top 100 perusahaan konstruksi dunia, yang bermain di tingkat internasional, 37 nya berasal dari Eropa, China 27, dan Amerika hanya 7 [3].
Dan di Hambantota, masalah sebenarnya adalah lebih kompleks. Proyek Pelabuhan Hambantota adalah inisiasi pemerintah Sri Lanka, yang studi awalnya dikerjakan oleh konsultan dari Kanada. Peletakan batu pertama Pelabuhan Hambantota bahkan sudah dilaksanakan 7 tahun sebelum BRI diluncurkan.
Huru-hara Hambantota dimulai ketika Rezim Rajapaksa berambisi melaksanakan proyek gurem tersebut, terutama pada fase keduanya. Ibarat “botol bertemu tutup”, China mau hadir memberi utang.
Maka yang dapat dipastikan terjadi di Hambantota adalah perburuan rente. Selama berkuasa, Rajapaksa ditengarai menikmati cuan dari sederet proyek, mulai dari jalan raya, bandara, kota baru, hingga tower: Proyek-proyek akbar yang minim faedah[7]. Beberapa proyek BRI di negara berkembang, kejadiannya juga mirip-mirip[8]. Ada semacam kecocokan, antara rezim korup dengan tawaran modal dari RRC.
Soal studi kelayakan Pelabuhan Hambantota, penulis teringat dengan “formula Machiavelli”, sebuah narasi yang diperkenalkan oleh Flyfbjerg, pakar ekonomi infrastruktur. Formula Machiavelli mengotak-atik studi kelayakan proyek agar didapat hasil yang serba layak [9]. Rumusnya: biaya pembangunan dikecil-kecilkan, pemasukan proyek di-overestimate, dampak sosial dan lingkungan dianggap remeh, dan manfaat ekonomi yang lebih luas dibesar-besarkan.
Flybjerg menyebut, hasil dari formula Machiaveli adalah proyek ‘survival of the unfittest’. Rekayasa tersebut lalu menyingkirkan pengeluaran kapital yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh rakyat. Pada level yang akut, beban utang akan membengkak sedang performa ekonomi melemah.
Kita lalu melihat ke dalam negeri kita dan menghitung persamaan demi persamaan. Rezim infrastruktur dan pinjaman dari China adalah fenomena yang mirip, dengan banyak proyek yang ternyata tidak menghasilkan untung.
Ada bandara gagal dan jalan tol yang realiasi lalu-lintasnya tidak seindah studinya. Ada juga kereta cepat, yang biayanya selangit dan proses konstruksinya syarat masalah. Soal ini, Nikkei Asia berkomentar: ”there was no proper analysis of which infrastructure projects would boost growth and productivity the most” (tidak ada analisis yang tepat mengenai proyek infrastruktur mana yang paling mendorong pertumbuhan dan produktivitas)[10].
Kini, Sri Lanka didera krisis dengan utang yang menggunung. Padahal, beberapa bulan sebelum chaos terjadi, beberapa metrik ekonomi Sri Lanka terlihat lebih bagus daripada India[11]. Artinya, ukuran numerik tidak selalu bisa jadi acuan.
Dari Hambantota kita belajar, bahwa infrastruktur mesti dibangun dengan sehat, yang tidak hanya soal gagah-gagahan. Momen telah menjadi monumen. Hambantota adalah tugu peringatan – yang sangat mahal – soal rezim pemburu rente dan kesejahteraan umum yang dikorbankan. Wallahua’lam.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
[1] https://greenfdc.org/countries-of-the-belt-and-road-initiative-bri/
[2] Neil DeVotta, China’s Influence in Sri Lanka, in RISING CHINA’S INFLUENCE IN DEVELOPING ASIA 129, 134 (Evelyn Goh ed., 2016).
[3] Brautigam, D. & Rithmire, M. (2021) The Chinese ‘Debt Trap’ Is a Myth. The Atlantic.
[4] Grey, Eva (2018) The story of Hambantota Port: a flunking token of political corruption https://www.ship-technology.com/analysis/hambantota-port-china-sri-lanka/
[5] Everything To Know About The Hambantota Port Lease, LANKA NEWS PAPERS (Aug. 9, 2017), https://www.lankanewspapers.com/2017/08/09/everything-to-know-about-the-hambantota-port-lease/
[6] Moramudali, U. (2020) The Hambantota Port Deal: Myths and Realities https://thediplomat.com/2020/01/the-hambantota-port-deal-myths-and-realities/
[7] https://foreignpolicy.com/2022/04/28/sri-lanka-rajapaksa-protests-economy-corruption/
[8] https://www.csis.org/analysis/corruption-flows-along-chinas-belt-and-road
[9] Flybjerg, B. (2005) Machiavellian Megaprojects’, Antipode, 37(1), 18–22.