Pengobatan yang Sesuai Sunnah Rasulullah Itu yang Seperti Apa Sih?
Kenapa ramai dan banyak muncul keributan mengenai metode pengobatan? Katanya, ada “pengobatan yang sesuai sunnah” dan ada “pengobatan yang tidak ikut sunnah”.
Dalam menanggapi hal ini, kita harus memahami kembali, apa itu KAIDAH SUNNAH. Sederhananya, sunnah itu adalah segala hal yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun diamnya Nabi. SEGALA HAL.
Lalu, apakah segala hal yang bersumber dari Nabi itu wajib diikuti? Jawabannya adalah TIDAK. Justru ada perbuatan Nabi yang hukumnya MUBAH. Artinya, boleh-boleh saja untuk tidak diikuti.
Perbuatan Nabi itu terdiri dari,
1) AF’AL JIBILLIYYAH, dan
2) SELAIN AF’AL JIBILLIYYAH.
Af’al Jibilliyyah adalah perbuatan yang menunjukkan sifat kemanusiaan Nabi, seperti duduk, berdiri, berjalan, makan, minum, batuk, berkedip, bernapas, dan lain-lain. Hukum hal ini adalah MUBAH.
Selain Af’al Jibilliyyah, perbuatan Nabi terbagi lagi menjadi dua, yaitu
1) Khususiyyat
2) Bukan Khususiyyat
Nah, perbuatan Rasulullah yang terkategori khususiyyat, yaitu perbuatan yang diperuntukkan khusus bagi beliau, maka hukumnya HARAM untuk kita ikuti. Contohnya adalah beristri lebih dari empat, atau puasa tanpa berbuka.
Perbuatan selain af’al jibilliyyah dan khususiyyah, yaitu perbuatan yang berupa penjelasan bagi kita, MAKA ITU ADALAH DALIL.
Seperti perintah Rasulullah, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”
Adalah tugas ulama mujtahid yang menjelaskan status hukum dari berbagai perbuatan Nabi yang berupa dalil, apakah hukumnya wajib, mandub, atau mubah.
Lalu, ada lagi perbuatan Nabi, yang bukan af’al jibilliyyah, bukan khususiyyah, serta tidak ada qorinah (indikasi) yang menjadikannya masuk dalam kategori penjelas.
Dalam hal ini, harus dilihat kembali. Jika perbuatan itu berupa taqarrub ilallah, maka hukumnya MANDUB (sunnah). Jika bukan berupa taqarrub ilallah, maka hukumnya MUBAH.
Nah, ulama-ulama mu’tabar di masa lalu yang paham betul mengenai perkara sunnah, tidak pernah ribut-ribut atas klaim mengenai “pengobatan sunnah”, sebutlah bekam, herbal, dan lain-lain. Karena semua hal itu, hukumnya MUBAH.
Makanya, banyak ulama di masa lalu yang menemukan metode-metode pengobatan baru. Dunia KEDOKTERAN ZAMAN KHILAFAH ITU MAJU, TIDAK JUMUD!
Lantas, adakah metode pengobatan yang seharusnya? Yang sesuai dengan “manhaj salafu sholeh”? Tentu saja ADA!
Caranya, kita harus ikhtiar berobat sesuai dengan hukum syara’, dan yakinlah bahwa Yang Maha Penyembuh adalah Allah. Obat-obatan dan metode pengobatan hanyalah wasilah.
Para aktivis dakwah yang mengemban ideologi Islam sudah selayaknya mendudukkan persoalan ini dengan tepat.
Membedakan mana perkara mubah dan bukan, mana perkara hadlarah dan madaniyah, mana perbuatan yang termasuk di dalam “kekuasaan manusia” dan yang “bukan kekuasaan manusia”, mana perkara yang boleh berijtihad dan tak bisa berijtihad, mana persoalan yang ideologis dan bukan ideologis, mana yang merupakan dampak dari kapitalisme dan mana yang “bebas-nilai”.
Menjadi muslim bukan berarti menolak ilmu kedokteran modern, pun menjadi pengemban ideologi Islam juga bukan berarti anti atas semua yang “berasal dari Barat” tanpa bersikap selektif. Menjadi seorang muslim sejatinya mampu menyikapi dan mengaitkan berbagai fakta dengan hukum syara’. []
Sumber dan Rekomendasi Bacaan: Taqiyuddin an-Nabhani. 2001. Peraturan Hidup Dalam Islam (Cetakan ke-6).
BONUS: FAP (FREQUENTLY ASKED PROBLEMS) TENTANG COVID-19 DAN UMAT ISLAM (BAGIAN 1)
1. Memangnya Boleh Muslim Mengambil Ilmu Pengetahuan dari Peradaban Lain? Bukankah Ini Menimbulkan Kekacauan Berpikir dan Menjauhkan Umat dari al-Qur’an dan Hadits?
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani memecahkan masalah ini dengan konsep Hadlarah-Madaniyah. Singkatnya, tidak ada kemutlakan dalam hal ini, apakah ditolak secara keseluruhan atau diambil mentah-mentah. Pembedanya ialah, apabila yang diambil mengandung pandangan khas yang berbeda asas dengan Islam, maka tidak boleh diadopsi. Sebaliknya, bila sesuatu tersebut tidak mengandung pandangan hidup yang khas, maka boleh untuk diadopsi oleh umat Islam, sekalipun berasal dari peradaban lain.
Sesuatu yang mengandung pandangan hidup yang khas, contohnya ideologi dan ajaran turunannya. Adapun yang bebas nilai dan bersifat universal untuk seluruh manusia, contohnya adalah sains. Siapapun yang melakukan penelitian, baik muslim maupun kafir, baik Cina maupun Amerika, akan menemukan fakta yang sama. Fakta sains tidak mengenal ikhtilaf.
Standar metode ilmiah yang diakui dunia internasional adalah fakta yang dapat dibuktikan berulang kali, melalui metode uji yang sama, meski dilakukan oleh orang yang berbeda. Fakta sains yang bersifat universal dan “mutawattir” ini, bahkan bisa disanggah oleh siapapun, tak peduli agamanya apa, melalui metode ilmiah yang sudah ada.
Tak heran, jika Rasulullah pun mengadopsi teknologi perang dari Persia melalui sahabat Salman al-Farisi. Nabi juga pernah mempersilahkan umat Islam berobat kepada dokter kafir, Al-Harits bin Kaldah. Hal serupa juga dilakukan oleh berbagai ilmuwan muslim seperti az-Zahrawi dan ar-Razi ketika melakukan penelitian hingga menemukan berbagai alat dan obat. Padahal, sumber-sumber rujukan medis saat itu banyak juga yang berasal dari luar dunia Islam.
Maka, yang harus dikritisi sejak awal bukanlah fakta sains nya itu sendiri, melainkan kebijakan yang diambil berdasarkan fakta sains tersebut.
2. Bisakah Testimoni Ahli Dipercaya Sebagai Uji Keampuhan Obat?
Setiap bidang tentu memiliki standar keilmiahan, termasuk penelitian.Dalam dunia kesehatan, dikenal istilah Evidence Based Medicine (EBM), yakni metode pengambilan keputusan dengan membandingan kejadian dan bukti valid yang mengacu pada piramida studi. Piramida ini ibarat alat untuk menghasilkan rekomendasi tindakan yang lebih disarankan.
Piramida ini dibaca dengan “semakin tinggi tingkatan, maka semakin spesifik dan valid buktinya, sehingga semakin akurat dengan kondisi sebenarnya yang terjadi pada tubuh manusia.”
Artinya, bila dalam suatu kasus yang sama terdapat beberapa hasil studi dengan tingkat yang berbeda, maka bentuk studi yang lebih atas otomatis lebih diyakini kebenarannya. Karenanya, hasil studi dengan tingkatan yang lebih tinggi itulah yang harus dijadikan dasar sebuah keputusan, bukan yang lain.
EBM ini juga menjelaskan, jika opini ahli tidak didasari oleh riset dan studi yang dilakukan berdasarkan metode ilmiah, hanya dikategorikan sebagai “expert opinion”, yang dalam piramida studi letaknya berada di bawah dan satu tingkat di atas uji pra klinis (yang menggunakan hewan sebagai subjek uji).
Walhasil, testimoni ahli (expert opinions) tak cukup kuat dijadikan dasar dalam mengklaim keampuhan suatu obat. Hal ini wajar, mengingat penggunaan obat sangat berhubungan dengan nyawa banyak manusia, yang jika gagal maka dampak buruknya tak hanya bagi satu individu saja. Demi keselamatan bersama, maka sebelum sebuah obat dikonsumsi, wajib ada bukti kuat yang “mutawattir” dan “shahih” sebagai pembuktian atas maksimalnya “ikhtiar” manusia dalam menyembuhkan sebuah penyakit.[]