Kapan Kita Punya Kontribusi Sebesar Mereka?
“Orang yang membeli buku mahal harga 100 ribu itu (terasa) mahal. Tapi kalau nongkrong di cafe (menghabiskan) 200 ribu itu (dianggap) murah. Artinya, orientasi perut lebih besar daripada orientasi otak.”
Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasy, M.A.Ed., M.Phil.
Rector, University of Darussalam Gontor
Kontribusi kita hari ini pada umat, sedikit banyak memang dipengaruhi oleh sosok inspiratif dalam hidup kita.
Meski sejarah tak dapat diulang, namun akui saja. Bahwa pembacaan kita pada sosok seperti Sultan Muhammad al-Fatih, Thariq bin Ziyad, dan Shalahuddin al-Ayyubi, berhasil mengubah hidup kita.
Tak hanya mengagumi kisah mereka. Bahkan, kita juga mengagumi para penulisnya sembari bergumam, “kapan kita punya kontribusi sebesar mereka?”
Aneh memang. Padahal, kisah para pahlawan muslim itu hanya memberikan inspirasi. Cerita mereka tidak menawarkan amalan-amalan khusus sebagaimana pembacaan kita pada kitab-kitab hadits, seperti shahih Bukhori-Muslim misalnya.
Tapi, begitulah hidup. Hal-hal aneh seperti itu, nyatanya terus terjadi dan berulang begitu saja.
Mungkin benarlah apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. –Ing Fahmi Amhar dalam bukunya, “TSQ Stories: Kisah-Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam”,
“Dengan kisah-kisah ini (sejarah kejayaan Islam) kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia?
Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam.”
Dan barangkali, inilah yang juga disebut sebagai pahala investasi. Kisah-kisah mereka, yang berhasil menginspirasi kita hari ini, semoga terhitung sebagai pahala kebaikan.
Termasuk juga, bagi kita yang menuliskan kisah mereka, dan menceritakannya pada khalayak. Mungkin, inilah yang disebut dengan “multilevel pahala”.
Karena menulis, memang memiliki kekuatan yang lebih dahsyat dibandingkan peluru.
Jika satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, namun satu tulisan mampu menembus ribuan bahkan jutaan kepala.
___
“Ketika dulu awal-awal kuliah dan sering nongkrong di perpustakaan kampus, entah kenapa, buku-buku sejarah Aceh karya Hasjimi, Mohammad Said, T. Iskandar, sampai Lombard-lah yang pertama kali menarik perhatian. Dan saya langsung dibuat jatuh cinta karenanya.
Sejak itu, tema-tema tentang spirit Islam di Aceh menjadi santapan utama. Menjelajah berbagai literasi tentang itu sampai akhirnya menemukan dwilogi novel Perang Aceh karya Sayf Muhammad Isa.
Takjub, tentu saja. Mas Isa berhasil menuliskan perjalanan jihad Kesultanan Aceh dengan mengambil sosok Teuku Nanta Seutia, ayahanda Cut Nyak Dien sebagai tokoh utama, sampai ke perjuangan Cut Nyak Dien itu sendiri. Novelnya begitu “banjir data”, dan kerennya, disusun begitu kronologis sembari melukiskan suasana Bandar Aceh, Pagaruyung, Batavia, Makkah, İstanbul, sampai Den Haag dan London.
Kecintaan saya terhadap Tanah Rencong makin menjadi-jadi. Sampai dulu hendak membuat novel juga tentang Aceh di era Sumatera Pasai, tapi ngga jadi-jadi, wkwk.
Saat ini, alhamdulillah bisa membuat secuil karya ilmiah tentang “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda“. Tentu saja tema Aceh masih dominan dalam karya ini; thanks to Mas Isa yang dulu telah banyak menginspirasi saya.
Maka ketika Mas Isa sekarang memberi testimoni atas karya receh ini, saya sangat bahagia bisa diapresiasi oleh penulis yang saya kagumi. Tiada yang bisa dihaturkan kepada Mas Isa, kecuali jazakallahu khayran katsiran!”