Mengapa Hoaks Masih Terus Bermunculan?
Penulis : Khafidoh Kurniasih
“Pembuat hoaks terbaik, adalah penguasa”
(Rocky Gerung, 2017)
Merujuk pada www.oxfordlearnerdictionaries.com , hoax diartikan sebagai “an act intended to make somebody believe something that is not true, especially something unpleasant” (sebuah aksi yang ditujukan untuk membuat seseorang mempercayai sesuatu yang tidak benar, terutama sesuatu yang tidak menyenangkan). https://dictionary.cambridge.org/ mendefinisikan hoax sebagai “a plan to deceive someone,…. Or a trick” (sebuah rencana untuk menipu seseorang….. atau suatu intrik).
Dalam perkembangannya, berita hoaks tidak hanya berisi sesuatu yang tidak menyenangkan. Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, hoaks juga berisi tentang saran-saran yang terlalu mudah dilakukan untuk menghadapi wabah. Akibatnya, korban hoaks memiliki rasa aman palsu dan menyingkirkan kewaspadaan karena merasa telah melakukan sesuatu yang dapat menjauhkannya dari wabah.
Ada beberapa ciri hoaks yang mudah dikenali, di antaranya:
- Terlalu bombastis, bisa berupa sesuatu yang too good to be true atau sebaliknya too bad to be true
- Tidak mencantumkan nama atau pihak yang bertanggung jawab atas informasi tersebut. Kalau pun mencantumkan nama orang atau institusi, maka nama tersebut fiktif dan tidak bisa dilacak
- Generalisasi atau simplifikasi suatu permasalahan
- Seringkali bertentangan dengan pengetahuan umum dasar
- Seringkali membawa isu konspirasi
Merebaknya hoaks—dan bahkan intensitasnya mengalahkan konten edukatif—terjadi karena beberapa faktor, seperti:
- Paradigma kapitalistik yang mengutamakan kepentingan materi telah begitu merasuk dalam kehidupan, termasuk media. Banyak penyedia konten media yang hanya mengejar viewers, subscribers, likes, dan followers tanpa peduli kualitas konten yang ditayangkannya
- Negara tidak hadir dalam mencegah dan memberantas konten-konten menyesatkan yang beredar melalui media. Bahkan seolah membiarkan media menyuguhkan konten-konten sampah (baik berupa film, sinetron, lirik lagu, narasi, hingga konten iklan) yang menumpulkan daya kritis masyarakat
- Ada gap komunikasi antara kaum cendekia dan masyarakat awam. Masyarakat yang sudah biasa terpapar konten-konten sampah cenderung sulit memahami alur berpikir dan bahasa yang disampaikan oleh kaum cendekia. Pun sebagian kaum cendekia terlalu sibuk dengan dunia akademiknya dan enggan turun gunung ke media sosial, tempat masyarakat awam berkumpul. Meski ada sejumlah kecil kaum cendekia yang berkenan turun gunung mengedukasi masyarakat di media sosial, jumlah dan kekuatan mereka tidak sebanding dengan jumlah dan kekuatan para influencer dan buzzer yang sedemikian serius menggarap media sosial. Sayangnya, kebanyakan influencer dan buzzer ini lebih peduli aliran Rupiah ke rekening mereka daripada nilai edukasi kontennya.
- Era serba cepat modern ini juga membawa ekses ketidaksabaran masyarakat untuk menempuh proses pembelajaran untuk membentuk logika yang terstruktur dan justru menginginkan jawaban instan atas permasalahan yang dihadapinya. Masyarakat cenderung melewatkan informasi kenapa suatu hal terjadi, bagaimana hal tersebut berkembang sehingga menjadi seperti ini, dan langsung melompat pada pertanyaan “apa yang harus saya lakukan?”.
Masifnya penyebaran hoaks di satu sisi dapat kita apresiasi sebagai tingginya rasa kepedulian masyarakat. Mereka tidak segan berbagi informasi yang menurut mereka berguna bagi orang lain. Akan tetapi, di sisi lain fenomena ini menunjukkan lemahnya literasi masyarakat.
Mengutip dari tulisan Wildani Hefni yang dimuat di JawaPos.com (29/09/19), literasi didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup.
Namun, di era banjir informasi seperti saat ini, yang dimaksud illiterate (lawan dari literate [memiliki kemampuan literasi]) adalah ketidakmampuan memilah, memilih, dan mengolah informasi yang berlimpah bersamaan dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Termasuk dalam kemampuan literasi adalah memiliki nalar kritis dan rasional ilmiah. Tanpanya, kemampuan dan kegemaran mengakses informasi justru berpotensi menjerumuskan seseorang pada hoaks dan kesesatan. Kemampuan ini menjadi modal penting untuk membangun peradaban yang unggul. Wallahu a’lam[]
Sumber: